PDIP Inkonsisten Sikapi RKUHP Era SBY dan Jokowi, Ada Jejak Digitalnya

Selasa, 05/07/2022 18:56 WIB
Sejumlah mahasiswa mendatangi Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (28/6) untuk melakukan aksi demontrasi menuntut draf  Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dibuka. Mereka membentangkan spanduk besar menandakan Gedung DPR RI disita hingga ada perbaikan reformasi. Mahasiswa menuntut pemerintah dan DPR untuk membuka draft RKUHP ke publik dan hapus pasal-pasal yang bermasalah. Robinsar Nainggolan

Sejumlah mahasiswa mendatangi Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (28/6) untuk melakukan aksi demontrasi menuntut draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dibuka. Mereka membentangkan spanduk besar menandakan Gedung DPR RI disita hingga ada perbaikan reformasi. Mahasiswa menuntut pemerintah dan DPR untuk membuka draft RKUHP ke publik dan hapus pasal-pasal yang bermasalah. Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Jejak digital sejumlah politisi tanah air terkait polemik pasal penghinaan presiden dalam RKUHP menunjukkan inkonsistensi.

Contohnya ialah sejumlah Politisi PDI Perjuangan (PDIP).

Sebagai informasi, PDIP yang dulu getol menolak pasal tersebut di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kini justru mendukung pasal penghinaan presiden pada era Joko Widodo.

Sebut saja politisi dan mantan aktivis Budiman Sudjatmiko. Tangkapan layar pemberitaan berisi penolakan pasal penghinaan presiden yang disampaikan Budiman kini kembali beredar.

Dalam isinya, Budiman menilai usulan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam RKUHP merupakan bukti pemerintah tidak siap dikritik.

Pernyataan Budiman tersebut termuat dalam pemberitaan republika.co.id 3 April 2013, atau di masa pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Pernyataan serupa juga disampaikan politisi PDIP, Eva Kusuma Sundari. Bahkan ia mengkritik keras pasal penghinaan presiden akan memunculkan politisi penjilat dengan menghidupkan kembali kebiasaan Orde Baru.

Masih dalam tangkapan layar yang kembali beredar, ada pula pernyataan mantan Jurubicara Presiden Joko Widodo, Fadjroel Rachman. mantan aktivis ini menyinggung pasal penghinaan presiden yang sempat dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).

Pada tahun 2006, MK membatalkan pasal tersebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan putusan bernomor 013-022/PUU-IV/2006.

"Pasal penghinaan presiden atau pemerintah sudah dibatalkan MK. Jadi tidak bisa dipakai lagi. Nebis in idem!," tutur Fadjroel dalam tulisannya di Twitter, tertanggal 6 Agustus 2015.

Namun kini, sikap kritis para politisi PDIP dan orang dekat Presiden Joko Widodo itu seakan berbeda 180 derajat. PDIP, sebagai pengusung utama pemerintahan Jokowi justru mlempem dan bahkan mendukung dimasukkannya pasal penghinaan presiden pada RKUHP.

Terbaru, politisi PDIP yang juga Ketua Komisi III DPR, Babang Wuryanto memastikan pasal penghinaan presiden masuk di draf RUU KUHP yang menjadi inisiatif pemerintah.

Pria yang akrab disapa Bambang Pacul bahkan “menantang” orang-orang yang menolak pasal penghinaan presiden agar menuntut ke Mahkamah Konstitusi.

Bambang Pacul, sapaannya, berdalih bahwa presiden juga manusia yang mempunyai hak melapor kepada aparat hukum atas penghinaan terhadapnya.

“Kalau dihina kemudian beliau tidak terima boleh tidak menuntut? Ya tentu boleh, bisa pakai kuasa hukum, atau dirinya sendiri juga boleh,” kata Bambang Wuryanto, Rabu (29/6).

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar