Desmond J.Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Sudah Lama Diburu, Tapi Mengapa Harun Masiku Belum Juga Ketemu?

Kamis, 02/06/2022 08:59 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPRRI Desmond Junaidi Mahesa (istimewa).

Wakil Ketua Komisi III DPRRI Desmond Junaidi Mahesa (istimewa).

Jakarta, law-justice.co - Perburuan terhadap tersangka kasus dugaan suap pergantian antar waktu (PAW) Anggota DPR RI Periode 2019-2024 Harun Masiku terbilang sudah cukup lama. KPK diketahui sudah menetapkan mantan politikus PDIP itu sebagai tersangka pada 9 Januari 2020 yang hingga kini belum tertangkap juga. Artinya, tahun ini perburuan Harun Masiku sudah memasuki tahun ketiga.

Karena belum juga tertangkap maka Harun Masiku masih dianggap mengangkangi hukum Indonesia. Dia yang bukan siapa-siapa seakan menjadi lebih hebat dibanding M. Nazarudin yang berhasil ditangkap di Kolombia saat dalam pelariannya, atau lebih hebat dari buronan KPK lainnya Anggoro Widjojo yang ditangkap di China.

Sepertinya kasus Harun Masiku tersimpan begitu rapat di dalam kotak pandora. Kotak itu tersegel kuncinya oleh banyak pihak sejak awal kasus ini bergulir hingga memasuki tahun ketiga. Bagaimana sebenarnya duduk perkara yang menempatkan Harun Masiku sebagai tersangka ?, Kejanggalan kejanggalan seperti apa yang mewarnai perjalanan kasusnya ?, Mengapa sampai sekarang Harun Masiku masih belum bisa ditangkap juga ? Siapa kira kira dalang yang membuat Masiku sulit ditangkap oleh KPK?

Duduk Perkara
Duduk perkara yang melibatkan Harun Masiku bermula saat calon legislatif PDIP daerah pemilihan (Dapil) Sumatera Selatan (Sumsel) I yang bernama Nazaruddin Kiemas meninggal dunia. Pria yang meninggal pada tahun 2019 ini diketahui masih merupakan saudara Megawati Soekarnoputri dari jalur almarhum suaminya.

Karena meninggal dunia maka sesuai dengan ketentuan Komisi Pemilihan Umum (KPU), penggantinya adalah suara kedua terbanyak yakni Riezky Aprilia.Akan tetapi, PDIP melalui rapat pleno ternyata menginginkan Harun Masiku yang dipilih menggantikan Nazarudin dan bukan Aprilia.

Pada hal secara aturan yang berlaku, sangat sulit bagi Harun Masiku mendapatkan suara dari Nazaruddin Kiemas, karena dirinya berada di urutan keenam, sedangkan suara terbanyak akan diprioritaskan untuk dilaokasikan kepada caleg dengan suara terbanyak di bawahnya, yakni urutan kedua, ketiga, dan seterusnya.
Alasan mengapa PDIP melakukan pelimpahan suara dari Bapak Nazarudin Kiemas ke Harun Masiku karena mempertimbangkan potensi yang ada padanya.

“Mempertimbangkan bahwa yang bersangkutan punya latar belakang profesi yang dibutuhkan oleh partai yaitu lulusan `internasional ekonomic law` dan dapat beasiswa dari Inggris dan dalam rekam jejak yang bersangkutan pada tahun 2000 ada dalam kongres pertama juga terlibat dalam penyusunan AD/ART partai," kata Sekretaris Jenderal PDI-Perjuangan Hasto Kristiyanto saat memberi keterangan sebagai saksi dalam persidangan dari kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI-P di Jakarta, seperti dikutip media.

Pengungkapan kasus berawal saat tim KPK menggelar operasi tangkap tangan pada 8 Januari 2020. Dalam operasi senyap itu, Tim KPK menangkap delapan orang dan menetapkan empat sebagai tersangka. Para tersangka itu ialah Harun Masiku, eks Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan, eks Anggota Bawaslu, kader PDIP Saeful Bahri dan Agustiani Tio Fridelina.

Sayangnya, dalam penyergapan itu Harun Masiku yang sudah diintai tim pemburu berhasil lolos dari kejaran KPK. Sementara tersangka yang lain sudah menikmati akibat perbuatannya dengan adanya vonis penjara. Mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan divonis enam tahun penja, sedangkan Agustiani Tio divonis empat tahun penjara. Sementara itu, Saeful Bahri telah divonis satu tahun dan delapan bulan penjara.Saeful Bahri terbukti bersama-sama Harun Masiku menyuap Wahyu Setiawan melalui mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina. Ketiganya telah dijebloskan ke Lapas untuk menjalankan hukuman pidana.

Sementara itu sejak Harun Masiku lolos dari operasi tangkap tangan itu seluruh upaya pengejaran telah dilakukan untuk bisa menangkapnya. Namun sudah sampai dengan memasuki tahun ketiga, keberadaan buronan yang satu ini tetap menjadi misteri karena aparat yang berwenang tak berhasil menemukannya.

Kejanggalan Kejanggalan Itu
Sejak awal mula perburuan tersangka suap Masiku memang sudah tercium aroma tidak sedapnya. Banyak kejanggalan kejanggalan terjadi mewarnai perjalanan kasusnya. Beberapa kejanggalan itu diantaranya adalah:

Pertama, Pembiasan Informasi dan upaya menghalangi. Misalnya ketika KPK mendatangi kantor DPP PDIP, ada upaya untuk membiaskan informasi yang beredar di media. PDIP menyebut kedatangan tim KPK adalah bagian dari upaya penggeledahan semata. Sementara itu, KPK menegaskan bahwa itu adalah upaya penyegelan salah satu ruangan yang berada di Kantor DPP PDIP pada Kamis, 9 Januari 2020.

Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar memastikan petugas KPK dilengkapi dengan surat surat lengkap dalam menjalankan tugasnya. Namun, satuan pengamanan di kantor PDIP tak mengizinkan tim penindakan untuk melakukan tugasnya."Surat tugasnya lengkap, tapi sekuriti harus pamit ke atasannya," kata Lili di kantor KPK, Kamis, 9 Januari 2020 seperti dikutip Temp.co.

Menurut Lili, petugas keamanan di kantor PDIP harus mendapatkan izin dari atasannya. Namun, ketika ditelepon, si atasan itu tak mengangkatnya. Karena itu, tim KPK meninggalkan kantor PDIP dengan tangan hampa.

Kejanggalan lainnya juga tampak ketika ada simpang siur informasi perihal pengajuan izin menggeledah kantor DPP PDIP. Kala itu pimpinan KPK menuding dewan pengawas belum memberikan izin untuk melakukan penggeledahan tempat perkara. Padahal, diduga keras yang terjadi justru sebaliknya, yakni pimpinan KPK tidak pernah mengirimkan permohonan izin penggeledahan ke dewan pengawas KPK.

Kedua, Keaktifan Pimpinan Teras PDIP dalam Mengurus PAW untuk Harun Masiku. Dalam hal ini PDIP terlihat begitu aktif mengupayakan agar Harun Masiku bisa menggantikan anggota DPRI RI Dapil Sumsel yang meninggal dunia. Sampai sampai Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Sekjend PDIP Hasto Kristiyanto berkenan untuk turun tangan menandatangani surat kuasa untuk pengajuan judicial review ke MA.

Fenomena tersebut menunjukkan begitu canggihnya lobi dari Harun Masiku ke elite PDIP sampai mereka mau menuruti kemauannya. Bukan hanya itu saja, PDIP juga begitu aktif berkirim surat ke KPU untuk mengurus kepentingannya.

Berdasarkan informasi dari Ketua KPU Arief Budiman, PDIP telah mengirimkan surat sebanyak tiga kali ke lembaganya. Surat pertama yang dilayangkan PDIP kepada KPU ada pada tanggal 26 Agustus 2019. PDIP mengirimkan surat terkait hasil Judicial Review (JR) PKPU Nomor 3 Tahun 2019 di mana permohonan PDIP dikabulkan sebagian oleh MA. Sehingga PDIP pada pokoknya meminta calon yang telah meninggal dunia atas nama Nazarudin Kiemas, nomor urut 1, dapil Sumatera Selatan I, suara sahnya dialihkan kepada calon atas nama Harun Masiku

Pada 27 September 2019, Arief menyebut PDIP kembali mengirimkan surat kedua kepada KPU. Di mana surat itu berisi tembusan fatwa MA. Dalam suratnya kali ini pada pokoknya PDIP meminta fatwa kepada MA agar KPU bersedia melaksanakan permintaan PDIP. Namun surat itu tidak dibalas oleh KPU karena surat itu ditujukan kepada MA.Selanjutnya pada tanggal 18 Desember 2019 KPU kembali menerima surat permohonan PAW dari PDIP. Surat tersebut adalah surat ketiga yang diterima oleh KPU. Surat yang ketiga ini dibalas oleh KPU. Arief menyebut KPU tidak bisa mengabulkan permohonan PDIP karena Harun Masiku tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi PAW anggota DPR Republik Indonesia.

Ketiga, Kejanggalan Proses Putusan Mahkamah Agung (MA).Putusan MA yang menjadi landasan Harun Masiku untuk bersurat ke KPU dalam pergantian antar waktu (PAW) caleg PDIP terasa janggal proses dan subtansinya. Dari sisi proses, MA terkesan begitu aktif menyampaikan surat kepada KPU, suatu hal yang tidak biasa.
Sementara dari subtansinya, putusan uji materi yang diajukan oleh PDIP itu seyogyanya hanya bisa dilakukan maksimal 30 hari setelah Peratutan KPU (PKPU) ditetapkan.Tetapi MA mengatakan 30 hari dimaknai lain yaitu terkait dengan ketika implementasi dari PKPU itu diterapkan. Padahal sebenarnya tidak begitu bahasa undang-undangnya.

Demikian pula soal pengganti anggota DPR RI yang meninggal dunia itu yang seharusnya digantikan oleh caleg yang suara terbanyak kedua sesuai dengan ketentuan yang ada. Namun MA sampai perlu harus menjelaskan dalam putusannya yang menekankan bahwa suara itu bisa dialihkan kepada calon yang merupakan kader terbaik sesuai dengan keinginan pemohonnya, ada apakah kiranya dengan itu semua ?

Keempat, Dugaan pelanggaran etika bernegara. Simpang siur informasi tentang keberadaan Harun Masiku pada saat operasi tangkap tangan (OTT) KPK telah melibatkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly sebagai pejabat negara.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly di ketahui ikut memberikan keterangan tentang keberadaan Harun Masiku yang menurutnya tidak ada di Indonesia. Dalam hal ini patut dipertanyakan apa kapasitas Yasonna melalui pernyataannya.Jika keterangan tersebut disampaikan untuk memperjelas silang sengkarut keberadaan Harun, selayaknya informasi itu disampaikan Dirjen Imigrasi saja. Anenhnya lagi, Menkum HAM ikut dalam konferensi pers PDIP untuk menanggapi OTT KPK. Bahkan, dalam konferensi pers itu, Yasonna mengumumkan tim hukum yang dibentuk PDIP untuk kepentingan pembelaan kadernya.

Kelima, keanehan sikap pimpinan KPK. Ketika terjadi sengkarut mengenai dimana Masiku berada: apakah masih di dalam negeri atau sudah dimanca negara, sikap pimpinan KPK malah membuat publik bertanya tanya. Alih-alih mencari bukti keberadaan buronanya, yang terjadi malah menerima mentah-mentah keterangan petinggi partai dan terkesan mengamininya. Padahal, penyidik atau proses penyidikan tidak bisa menerima keterangan orang begitu saja. Apalagi dari orang yang memiliki konflik kepentingan dalam perkara yang ditanganinya.

Keenam, Tim hukum PDIP Bertemu dengan Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Dengan alasan menyerahkan surat berisi aduan soal petugas KPK yang mendatangi Kantor DPP-nya, Tim hukum PDIP mendatangi Dewan Pengawas KPK. Tim hukum PDIP menyebut petugas itu ingin menggeledah ruangan di PDIP tanpa surat izin dari Dewan Pengawas KPK. Dalam UU KPK hasil revisi, penggeledahan memang harus dilakukan atas izin Dewas KPK.

Menurut Peneliti Indonesia Corruption Watch Donal Fariz menilai pertemuan antara Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi atau Dewas KPK dan tim hukum PDIP adalah langkah yang keliru karena pertemuan seperti itu berpotensi menimbulkan benturan kepentingan di tengah polemik izin penggeledahan KPK terhadap Kantor DPP PDIP. Pertemuan itu, kata dia, justru menimbulkan prasangka buruk terhadap Dewas KPK.

Hal itu sekali lagi menjadi bukti bahwa revisi UU KPK memang melemahkan pemberantasan korupsi di Indonesia . Pada hal dalam Undang Undang yang lama terdapat larangan untuk pimpinan dan pegawai KPK bertemu dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lainnya. Tapi, tentu saja aturan tersebut tidak dapat menjangkau dewas yang baru ada setelah revisi Undang Undang KPK.

Ketujuh, Harun Masiku Kere tapi kok bisa menyuap ratusan juta rupiah ?. Harun Masiku mampu menyediakan uang suap Rp 900 juta kepada Wahyu Setiawan yang disuapnya. Tapi diluar dugaan terkuak fakta bahwa sebenarnya dia itu termasuk orang kere alias tidak banyak uangnya.

Bukti tersebut diutarakan oleh MAKI (Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia) dalam sidang gugatan praperadilan lanjutan ke KPK di sidang Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Kamis, 13 Februari 2020. Bukti itu berupa print dari foto screenshot komunikasi WhatsApp antara Harun Masiku dengan orang yang bernama Budi yang menjadi temannya.

Secara garis besar, Harun Masiku minta dibelikan tiket pesawat kepada Budi karena Harun mengaku sedang tidak punya uang untuk membelinya.
MAKI memperlihatkan data itu, sabagai bukti Harun Masiku adalah sosok biasa dari sisi keuangan dikarenakan untuk sekedar kebutuhan tiket pesawat meminta kepada temannya.

"Sehingga sangat muskil apabila Harun Masiku mampu menyediakan uang suap Rp 900 juta kepada Wahyu Setiawan," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman seperti dikutip Tagar.id, 23/05/22.Dari bukti ini, Boyamin menduga uang yang dipakai Harun Masiku untuk menyuap Wahyu Setiawan berasal dari orang lain sehingga perlu diungkap siapa orang yang dimaksudkannya.

Mengapa Belum Ketemu ?
Berbagai kejanggalan kejanggalan sebagaimana dikemukakan diatas rasanya mempunyai korelasi dengan faka belum ditemukannya Harun Masiku meskipun kini sudah memasuki tahun ketiga pencariannya. Belum bisa ditangkapnya Harun Masiku pada akhirnya memunculkan penilaian negatif terhadap KPK.

Menurut Peneliti Indonesia Corruption Watch ( ICW) Kurnia Ramadhana, ada faktor yaitu faktor internal dan eksternal yang menjadi penyebab mengapa Harun Masiku masih belum bisa ditangkap juga. Faktor internal, ICW meragukan komitmen Ketua KPK Firli Bahuri karena yang bersangkutan dinilai sering membuat kontroversi dalam penanganan kasus Masiku mulai dari memilih diam dan mendiamkan terkait adanya dukaan penyekapan saat tim KPK memburu para tersangka di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), sampai dugaan dia berupaya mengganti tim penyidik yang menangani perkaranya.Untuk diketahui, penyidik KPK yang menangani perkara tersebut yaitu Rossa Purbo Bekti oleh Firli dikembalikan ke Polri yang merupakan instansi asalnya.

Kemudian, Firli juga terlihat enggan untuk menggeledah kantor PDI-P dan adanya ide dari Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron yang ingin mengadili Harun Masiku secara in absentia atau mengadili tanpa kehadiran terdakwa.

Sedangkan faktor eksternal, lanjut Kurnia, adalah dugaan Harun Masiku dilindungi penguasa berpengaruh yang dapat mengkontrol Firli Bahuri selaku Ketua KPK. "Sehingga, upaya untuk menangkap Harun Masiku selalu terganjal," ujar dia seperti dikutip Tribunews.com 22/05/20. Atas dasar kondisi ini, ICW berpendapat bahwa

Harun Masiku tak akan bisa ditangkap selama Firli Bahuri menjadi Ketua KPK.
Keyakinan bahwa Harun Masiku tak bakalan bisa ditangkap selama Firli Bahuri menjabat sebagai Ketua KPK juga di sampaikan oleh Novel Baswedan yang notabene mantan penyidik senior KPK. Senada dengan ICW, Novel mengatakan bahwa gerak lambat KPK meringkus Harun bersinggungan dengan petinggi partai politik tertentu yang diduga terkait dengan kasus dugaan suap pergantian antarwaktu (PAW).

“ Pencarian terhadap Harun Masiku saya yakin tidak dilakukan kecuali hanya sekadarnya saja. Apakah ada kaitannya? Hanya Firli dkk yang tahu,” cuit Novel dalam akun Twitter @nazaqistsha, Senin (23/5/22).

Novel membeberkan tiga permasalahan utama mengapa Harun belum ditangkap KPK. Pertama, ia menyoroti sikap diam Firli Cs ketika tim KPK yang melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) kasus tersebut diintimidasi oleh oknum kepolisian republik Indonesia.Kedua, tim tersebut dilarang melakukan penyidikan. “Barangkali karena dianggap tidak bisa dikendalikan. Sekarang orang-orang tersebut telah sukses disingkirkan oleh Firli dkk,” katanya.

Kasus dugaan suap ini ditangani oleh Satuan Tugas (Satgas) yang dipimpin oleh Rizka Anungnata. Seperti Novel, Rizka kini telah menjadi ASN Polri usai dipecat Firli Cs dengan alasan tak lolos asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).

Ketiga, Novel menyoroti upaya Firli Cs mengembalikan anggota tim penyidik kasus tersebut ke instansi asalnya. Penyidik Rossa Purbo Bekti sempat dipulangkan ke Mabes Polri. Akan tetapi, Mabes Polri menolak karena Rossa belum habis waktu dinas di KPK.

Sementara jaksa Yadyn Palebangan yang masuk ke dalam Tim Analisis ditarik Kejaksaan Agung. Yadyn ditarik untuk kemudian dilibatkan ke dalam tim yang menangani kasus korupsi di tubuh PT Asuransi Jiwasraya.“Itu tiga indikator kenapa saya yakin bahwa HM (Harun Masiku) memang tidak akan ditangkap selama Firli di KPK,” imbuhnya.

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh ICW dan informasi dari Novel Baswedan tersebut diatas kiranya dapat disimpulkan bahwa alasan mengapa Harun Masiku sampai sekarang belum bisa ditangkap juga karena keengganan dari pimpinan KPK sendiri untuk menangkap buronannya. Rendahnya komitmen dari pimpinan KPK untuk menangkap sang buron terlihat jelas misalnya saat pimpinan KPK memilih bungkam ketika dicecar pertanyaan terkait dugaan penyekapan yang dialami penyidik KPK saat ingin memburu Harun di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).

Rendahnya komitmen pimpinan KPK untuk menangkap buronannya diduga karena adanya kekuatan besar yang sedang melindungi Harun Masiku supaya tidak ditangkap oleh KPK. Analisis ini tentu saja ada dasarnya. Karena Masiku merupakan saksi kunci penting yang bisa mengungkap duduk perkara yang sebenarnya.
Harun Masiku menyimpan dugaan keterlibatan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto termasuk mungkin pimpinan diatasnya yaitu Megawati Soekarno Putri yang membubuhkan tanda tangannya untuk pengajuan yudicial review ke MA. Sementara itu Hasto disebut sebut menerima laporan perjalanan duit suap Masiku sebesar Rp 900 juta dari Saeful Bahri anak buahnya. Begitu juga kader PDIP Donny Tri Istiqomah, yang diduga terlibat dalam kasus yang sama.

Kegagalan KPK menangkap sang buronan dikuatirkan akan semakin menurunkan kepercayaan masyarakat kepada KPK yang selama ini menaruh harapannya. Tentu saja kondisi ini tidak boleh dibiarkan berlarut larut karena bisa menimbulkan ketidakpastian hukum dan kecurigaan dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia.

Jika pimpinan KPK tidak mau dibilang rendah komitmennya untuk menangkap Harun Masiku maka secepatnya ia perlu segera mengevaluasi kerja kerja yang dilakukan oleh Tim Satgas yang dibentuknya. Tim Satgas yang diberi tugas menangkap Masiku sudah terlalu lama bekerja namun tidak ada hasilnya makanya perlu dibubarkan saja untuk kemudian dibentuk tim baru dengan diberikan target kerja dan alokasi waktu untuk mencapainya.

Sementara itu kepada Dewan Pengawas KPK perlu segera memanggil dan mengevaluasi pimpinan KPK untuk dimintai keteranganya. Mengapa Harun Masiku yang sudah lama menghilang tidak juga bisa ditemukan keberadaannya, apa kendalanya dan benarkah ada intervensi dari pihak lain untuk bisa menangkapnya.Kalau pimpinan KPK tidak benar kerjanya atau target kerja tidak tercapai sebagaimana mestinya maka menjadi kewajiban dari Dewas KPK untuk mengontrol dan mengevaluasi mereka sebagaimana amanat dari pasal 37B Undang Undang KPK.

Kalau langkah langkah tersebut tidak segera dilakukan oleh Dewas KPK, maka publik tentu akan semakin bertanya tanya, ada apakah kiranya ?. Apakah memang sudah “masuk angin” semuanya ?. Apakah masih menunggu habisnya masa kedaluwarsa penuntutan sebagaimana diatur dalam (pasal 78 ayat (1) KUHPidana ) ?. Sehingga dengan begitu penyidikannya bisa dihentikan sesuai (pasal 40 ayat (1) Undang Undang KPK) ?. Atau mungkin pihak yang terkait sengaja mengulur ulur waktu supaya rakyat melupakannya?.

Kalau memang benar langkah langkah tersebut yang menjadi tujuannya maka rakyat tentunya hanya bisa mengelus dada. Bahwa ternyata penegakan hukum untuk pemberantasan korupsi di Indonesia memang harus kalah dengan kepentingan politik pihak yang punya kuasa. Apakah memang demikian faktanya?

(Tim Liputan News\Editor)

Share:
Tags:




Berita Terkait

Komentar