Aneh, Tokoh Besar Soeharto Diinjak, Jokowi Dinaikkan Setinggi Langit

Kamis, 10/03/2022 06:07 WIB
Hardjuno Wiwoho. (Isitimewa).

Hardjuno Wiwoho. (Isitimewa).

Jakarta, law-justice.co - Hingga kini, kecaman terhadap naskah akademik Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara belum juga mereda.

Menanggapi hal itu, Ketua Umum Hidupkan Masyarakat Sejahtera atau HMS Center, Hardjuno Wiwoho menyayangkan naskah akademik Keppres Nomor 2 Tahun 2022 sangat kental dengan nuansa memutarbalikkan sejarah. Hal ini sangat mencederai martabat sejarawan nasional.

“Jujur, saya hanya mengelus dada kalau intelektual, sejarawan dipakai untuk kepentingan politis begini. Rusak negara kita kalau intelektual kampus, sejarawan, main-main politik. Hancur negara ini,” kata Hardjuno dalam siaran pers pada Rabu (9/3).

Seperti diketahui, Keppres Nomor 2 tahun 2022, yang memuat tentang Serangan Umum 1 Maret 1949 diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Jakarta pada 24 Februari 2022 itu.

Namun, Keppres tersebut menuai polemik karena tidak menyebut nama Soeharto sebagai tokoh sentral di dalam Serangan Umum 1 Maret 1949.

Padahal, Soeharto yang kala itu berpangkat Letkol memiliki peran yang sangat besar saat peristiwa tersebut.

Hardjuno menilai naskah akademik dari Kepres tersebut sebagai produk murahan yang jauh dari nuansa intelektual.

Bahkan, kata dia, Keppres ini sangat kental dengan nuansa menjilat pemerintahan Jokowi.

Pada sisi lain, Keppres ini justru jahat sekali pada mantan presiden Jenderal Besar Soeharto.

Padahal, peran Soeharto dalam sejarah perjalanan bangsa ini sangat besar sekali. Bahkan di tangan Soeharto, Indonesia terbebaskan dari ancaman perang saudara dan juga kesusahan ekonomi.

Namun, menurut Hardjuno, anehnya tidak satu pun jasa Presiden Soeharto yang dibanggakan dan justru yang dikampanyekan seolah-olah penuh kejahatan.

“Ini kan kebangetan. Ingat, Indonesia seperti sekarang ini juga karena jasa dan hasil keringat Pak Harto. Jangan lupakan itu,” tegas Hardjuno.

Berbeda dengan Soeharto, Jokowi yang memiliki banyak sekali kritik di masa pemerintahannya selalu dipuja.

“Seolah-olah di zaman pemerintahan Jokowi semuanya berisi kebaikan. Dan, bahkan ditulis sanggup membawa bangsa ini keluar dari neo-imperialisme,” ujar Hardjuno.

Dia menilai pujian terhadap Jokowi ini terlalu berlebihan. Sebab nyatanya, mantan gubernur DKI Jakarta itu tidak terlalu sukses seperti yang diklaim oleh para penjilatnya itu.

Salah satu contohnya soal tumpukan utang luar negeri yang kian menggunung.

“Apa lupa berapa utang luar negeri kita di masa Jokowi? Apa lupa minyak goreng sampai enggak ada, padahal negara kita kaya sawit? Apa lupa berapa hutan yang dijual ke imperialis?” ujar Hardjuno dengan nada tanya.

Sebagai naskah akademik, lanjut Hardjuno, produk ini sangat tidak berkualitas. Apalagi, hasil kajian akademisnya berisikan politik.

Menurut Hardjuno, kebijakan tidak bisa ditulis sebagai naskah akademik sebuah keputusan presiden.

Kebijakan selalu memunculkan banyak pandangan tergantung cara pandangnya.

“Semestinya para penyusun naskah akademik yang berasal dari universitas terkemuka Indonesia, UGM, tahu mengenai hal itu,” tuturnya.

Lebih lanjut, Hardjuno menegaskan naskah akademik ini disusun oleh sejumlah akademisi yang berasal dari UGM di antaranya adalah Sri Margana, Julianto Ibrahim, Siti Utami Dewi Ningrum, Satrio Dwicahyo serta Ahmad Faisol tidak mencermikan sebuah produk intelektual.

Justru yang mengemuka di ruang publik, menurut Hardjuno, naskah akademis ini sebuah pesanan untuk menyenangkan kelompok tertentu.

“Di sisi lain katanya mau menempatkan tokoh ke posisi semestinya. Ini kok malah sebaliknya. Aneh, mantan presiden kita, tokoh besar Soeharto diinjak-injak, sementara Jokowi dinaikkan setinggi langit,” pungkas Hardjuno.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar