Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Mencium Aroma Penyelesaian RUU yang Sarat Tekanan dan Kepentingan

Rabu, 26/01/2022 08:58 WIB
Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Gerindra Desmond J Mahesa (Ist)

Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Gerindra Desmond J Mahesa (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Banyak yang merasa heran dan takjub ketika DPR RI berhasil menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) Ibu Kota Negara  (IKN) dalam waktu sangat singkat alias tidak lama. Pembahasan super kilat yang hanya memakan waktu 43 hari terhitung sejak DPR RI membentuk Panitia Khusus (Pansus) IKN itu karuan saja memunculkan banyak tanda tanya.

Singkatnya waktu pembahasan RUU tersebut pada akhirnya memunculkan dugaan adanya cacat formil dalam proses pembahasan maupun terkait dengan materiil (isinya). Pada sisi lain banyak juga RUU yang tak kelar kelar dibahas sehingga terkatung katung nasibnya karena tak kunjung disahkan meskipun sudah belangsung begitu lama.

Seperti apa sebenarnya ketentuan dan proses  proses pembuatan Undang Undang sebagaimana diatur dalam ketentuan yang ada ?. RUU apa saja yang tercatat begitu cepat pembahasannya dan RUU apa saja yang  begitu lambat pengesahannya ?. Apa kira kira yang sangat mempengaruhi kecepatan atau keterlambatan pembahasan suatu RUU untuk disahkan berlakunya ?

Ketentuan dan Proses Pembahasan RUU

Kekuasaan untuk membentuk Undang Undang  (UU) ada di Dewan Perwakilan Rakyat, begitu bunyi pasal 20 ayat 1 Undang-undang Dasar 1945. Kemudian di pasal 20 ayat 2 disebutkan bahwa setiap RUU  dibahas oleh DPR bersama Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.

Keberadaan UU di suatu negara mempunyai kedudukan strategis dan penting, baik di lihat dari konsepsi negara hukum, hierarki norma hukum, maupun dilihat dari fungsi UU  pada umumnya.

Dalam konsepsi negara hukum, UU  merupakan salah satu bentuk formulasi norma hukum dalam kehidupan bernegara. Keberadaan peraturan perundang-undangan dan kegiatan pembentukan UU  (legislasi) mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis sebagai pendukung utama dalam penyelanggaran pemerintahan suatu negara.

Oleh karena itu agar perundang-undangan yang dihasilkan dapat mencerminkan kualitas yang baik sebagai produk hukum, maka dalam pembuatan UU  perlu memahami beberapa dasar landasan dari ketentuan pembentukannya. Artinya pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik seperti : jelas tujuan pembentukannya, dibuat oleh Lembaga yang berwenang, tidak bertentangan dengan ketentuan lainnya, dapat dilaksanakan,punya kedayagunaan dan kehasilgunaan, jelas rumusan normanya dan dibuat secara partisipatif serta terbuka.

Jika suatu RUU yang dibuat mengabaikan asas pembentukan peraturan perundang undangan maka maka RUU tersebut potensial menjadi ketentuan yang cacat formil sehingga bisa dinilai tidak valid atau tidak legitimate kalau dipaksakan berlakunya.

Pihak yang berwenang membuat UU  dalam hal ini Pemerintah dan DPR juga tidak boleh sembarang membuat UU melainkan harus jelas urgensinya. Supaya nanti tidak dipertanyakan UU itu dibuat untuk siapa ?. Supaya UU yang dibuat tidak menjadi cacat materiil pada saat disahkan nantinya.

Oleh karena itu berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, alasan dibuatnya UU harus merupakan : pengaturan lebih lanjut dari ketentuan yang ada di UUD 1945, perintah suatu UU untuk diatur dengan UU,merupakan pengesahan perjanjian Internasional, merupakan tindaklanjut dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), atau untuk memenuhi kebutuhan hukum dalam masyarakat yang memang membutuhkan pengaturannya.

Manakala sebuah UU dibuat ternyata tidak ada kaitannya dengan alasan sebagaimana dikemukakan dalam  Pasal 10 ayat (1) UU 12/2011 tersebut maka patut dipertanyakan UU itu dibuat atas pesanan siapa dan untuk kepentingan siapa. Ketidakjelasan alasan ini biasanya akan memantik terjadinya aksi unjuk rasa.

Selanjutnya  untuk proses pembentukan UU  juga diatur dalam UU nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pasal 16 sampai 23, pasal 43 sampai 51 dan pasal 65 sampai 74.

Berdasar ketentuan tersebut secara ringkas dapat disimpulkan bahwa sebuah RUU bisa berasal dari usulan Presiden, DPR atau DPD. Kalau RUU itu diajukan oleh Presiden maka materinya disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga terkait sesuai dengan bidangnya.

RUU kemudian dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) oleh Badan Legislasi DPR untuk jangka waktu 5 tahun lamanya. RUU yang diajukan ini harus dilengkapi dengan Naskah Akademik kecuali untuk RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), RUU penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) menjadi UU, serta RUU pencabutan UU atau pencabutan Perpu, tidak perlu ada naskah akademiknya.

Selanjutnya Pimpinan DPR mengumumkan adanya usulan RUU yang masuk dan membagikan ke seluruh anggota dewan dalam sebuah rapat paripurna.Di rapat paripurna berikutnya diputuskan apakah sebuah RUU disetujui, disetujui dengan perubahan atau ditolak untuk pembahasan tahap selanjutnya.

Jika suatu RUU  disetujui untuk dibahas, maka RUU akan ditindaklanjuti dengan dua tingkat pembicaraan. Pembicaraan tingkat pertama dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus yang dibentuk untuk pembahasannya.

Pembicaraan tingkat II dilakukan di rapat paripurna yang berisi: penyampaian laporan tentang proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil Pembicaraan Tingkat I; pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya.

Apabila tidak tercapai kata sepakat melalui musyawarah mufakat, keputusan diambil dengan suara terbanyak melalui mekanisme voting untuk mengetahui pihak yang setuju dan yang menolaknya. Bila suatu RUU mendapat persetujuan bersama DPR dan wakil pemerintah, maka kemudian diserahkan ke Presiden untuk dibubuhkan tanda tangannya. Dalam UU ditambahkan kalimat pengesahan serta diundangkan dalam lembaga Negara Republik Indonesia.

Dalam hal RUU tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak RUU disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan melalui lembaran negara.

Yang Cepat dan Yang Lambat

Suatu RUU bisa ditetapkan menjadi sebuah UU apabila telah rampung pembahasannya dan dinyatakan lengkap sempurna, serta disetujui oleh fraksi-fraksi yang ada di Parlemen dan Pemerintah yang sedang berkuasa.

Sejauh ini memang tidak ada tenggang waktu yang ditetapkan secara pasti yang bisa dijadikan sebagai alat ukur untuk menetapkan kapan UU harus diselesiakan pembahasannya . Alat ukur yang digunakan Badan Legislasi DPR RI dalam menentukan cepat atau lambatnya penetapan suatu undang-undang tergantung kapan selesai dan sempurnanya UU  tersebut serta dinyatakan lengkap dan baik oleh yang membuatnya.

Apabila diperlukan suatu aturan perundang-undangan di inginkan  cepat penyelesaiannya maka mekanismenya adalah menggunakan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti UU) dimana presiden yang lebih punya kuasa mengeluarkannya.Hanya saja Perlu itu secara yuridis formal harus mendapatkan persetujuan DPR pada sidang berikutnya.

Meskipun tidak ada ketentuan kapan suatu UU harus diselesaikan pembahasannya, namun akhir akhir ini publik membaca ada beberapa UU yang superkilat pembahasannya namun ada pula UU yang terkesan terhuyung huyung penyelesaiannnya. Ada UU yang sudah sangat lama dibahas namun tidak kelar kelar juga.

Beberapa RUU yang begitu cepat pembahasannya sehingga cepat pula proses pemberlakuannya, diantaranya adalah sebagai berikut :

  1. RUU Ibu Kota Negara (IKN). RUU ini menjadi salah satu rancangan regulasi yang proses pembahasannya.Proses pembahasan RUU IKN di DPR RI hanya membutuhkan waktu 111 hari, sejak Jokowi resmi mengirimkan surat presiden (surpres) soal perundangan tersebut, 29 September 2021.Bahkan, pembahasan RUU IKN secara resmi hanya memakan waktu 43 hari, bila dihitung dari langkah DPR RI membentuk Panitia Khusus (Pansus) RUU IKN untuk membahas pemindahan IKN dari Jakarta ke “Nusantara”.
  2. RUU Omnibuslaw Cipta Kerja. RUU ini disahkan oleh DPR pada 5 Oktober 2020 dalam waktu yang cukup singkat alias tidak lama. Padahal, proses pembahasan regulasi yang berjumlah 11 klaster dengan tebal lebih dari 800 halaman tersebut baru dimulai pembahasannya di DPR pada April 2020. Dengan tingkat ketebalan dan kerumitan substansi yang diaturnya semestinya RUU ini dibahas dengan waktu yang cukup lama tapi nyatanya UU Cipta Kerja hanya diselesaikan dalam waktu 167 hari saja.
  3. RUU Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pengesahan revisi UU KPK dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR pada 16 September 2019, tanpa penolakan fraksi dan interupsi dari anggota dewan yang menghadirinya. Proses pembahasan revisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga pengesahan berlangsung begitu  cepat tidak pakai lama. Sejak rancangan regulasi itu ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna DPR pada 6 September 2019 hingga disahkan pada 16 September 2019 hanya perlu waktu 12 hari saja untuk pembahasannya.
  4. RUU Mineral dan Batubara (Minerba).Pengesahan revisi UU No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) menjadi UU di tengah pandemi Virus Corona begitu cepat prosesnya.Pemerintah dan DPR membentuk Panitia Kerja (Panja) pembahasan revisi UU Nomor 4 Tahun 2009 pada 13 Februari 2020 lalu. Kemudian dalam waktu 10 hari, Panja selesai membahas 938 daftar inventarisasi Masalah (DIM) yang sebelumnya telah disepakati bersama. Pada 10 Juni 2020 Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun mengesahkan UU No.3 tahun 2020 ini dan akhirnya UU Minerba.
  5. RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).Pembahasan RUU HPP ini kurang dari sebulan lamanya hingga disahkan pada pada tanggal 29 Oktober 2021.UU HPP telah diundangkan menjadi UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dengan tercatat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246
  6. RUU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD).RUU ini telah disahkan oleh DPR menjadi UU pada Selasa (7/12) saat Rapat Paripurna DPR ke-10 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2021-2022.
  7. RUU Tax Amnesty. RUU No. 11 tahun 2016 tentang Tax Amnesty atau pengampunan pajak telah disahkan menjadi UU dalam Sidang Paripurna DPR pada Selasa (28/0616) di Jakarta.Pembahasan sampai pengesahan UU ini terbilang singkat hanya memakan waktu kurang lebih satu setengah bulan saja.

Itulah beberapa RUU yang terbilang cepat pembahasannya, tidak sampai setahun sudah kelar sehingga bisa di undangkan untuk berlaku segera.Cepatnya pembahasan dan pengesahan RUU tersebut mengesankan bahwa Pemerintah dan DPR telah bekerja secara  baik sehingga bisa menyelesaikan kewajibannya dibidang legislasi sebagai bagian dari tugas pokoknya. Tetapi apakah memang demikian kenyataannya ? Cepatnya proses pembahasan dan pengesahan cermin dari meningkatnya fungsi legislasi yang diamanatkan kepada mereka ?

Dibaliknya cepatnya proses pembahasan dan pengesahan RUU, ternyata ada beberapa RUU yang belum kelar kelar juga pembahasannya meskipun telah berlangsung sangat lama. Anggota DPR yang membahas RUU ini juga sudah berkali kali berganti orangnya. Tetapi RUU yang dibahas tidak kelar kelar juga. Beberapa RUU sangat lama pembahasannya hingga lebih dari lima kali masa sidang dan tak kunjung disahkan diantaranya adalah :

  1. RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol
  2. RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
  3. RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak
  4. RUU tentang Wawasan Nusantara
  5. RUU tentang Perubahan Kelima Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
  6. RUU tentang Kewirausahaan Nasional
  7. RUU tentang Ekonomi Kreatif
  8. RUU tentang Pertanahan
  9. RUU tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan;
  10. RUU tentang Perkoperasian
  11. RUU tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah;
  12. RUU tentang Jabatan Hakim;
  13. RUU tentang Pertembakauan;
  14. RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
  15. RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
  16. RUU Penyiaran
  17. RUU BUMDES

Itulah beberapa RUU yang masih belum kelar kelar juga pembahasannya meskipun sudah lama masuk ke Program Legislasi Nasional cukup lama. Berlarutnya pembahasan RUU tersebut menimbulkan polemik di masyarakat terkait dengan kinerja fungsi legislasi DPR dan Pemerintah yang berkuasa.

Disinilah uniknya, pembahasan RUU terlalu lambat menimbulkan polemik tetapi terlalu cepat penyelesaiannya juga menimbulkan tanda tanya. Karena muncul kecurigaan ada apa apanya. Lalu bagaimanakah sebaiknya ?

Faktor Penentu

Banyak faktor yang bisa mempengaruhi perjalanan pembahasan suatu RUU hingga menjadi UU agar dapat berlaku sebagaimana mestinya. Faktor faktor tersebut bisa bersifat dominan tapi bisa juga biasa biasa saja. Semuanya akan mempengaruhi kinerja pembuat UU dalam menyelesaikan tugasnya.

Namun akhir akhir ini sepertinya terjadi sesuatu yang tidak biasa. Tiba tiba saja DPR bersama Pemerintah begitu produktif dan semangat menghasilkan UU ditengah pademi virus corona. Orang awam banyak yang bertanya tanya ada apakah kiranya, pembuat UU yang biasa santai santai saja menjalankan fungsi legislasi kini terkesan sangat bersemangat menyelesaikan kewajibannya.

Diantara faktor yang menjadi variable cepat atau lambatnya pembahasan suatu RUU adalah karena adanya tekanan dan kepentingan yang mempengaruhinya. Sebagai contoh cepatnya pembahasan RUU Omnibuslaw cipta kerja karena memang ada “titah” dari penguasa agar pembuat UU segera merampungkan tugasnya.

Presiden Jokowi berharap, DPR dapat menyelesaikannya dalam waktu 100 hari saja."Kita harapkan sudah saya sampaikan pada DPR mohon agar ini diselesaikan maksimal 100 hari," kata Jokowi di Ritz-Carlton, Sudirman, Jakarta, Kamis (16/1/20) seperti dikutip merdeka.com.

Dibalik pembahasan yang begitu cepat dari UU Cipta Kerja di duga ada tekanan dan kepentingan disana. Terdapat kepentingan besar para pebisnis tambang, guna mendapat jaminan hukum untuk keberlanjutan dan keamanan bisnisnya. Melalui sejumlah elite politik dan pebisnis di Satgas dan Panja Omnibus, kepentingan itu dikejar, dan berhasil diperoleh dengan disahkannya RUU Omnibus Law Cipta kerja. Berdasarkan analisis profil para satgas dan anggota Panja Omnibus Law DPR, terungkap 12 aktor penting yang memiliki hubungan dengan bisnis tambang terutama batu bara.

"Terdapat 12 aktor intelektual yang tersebar dan memiliki peran serta fungsi berbeda di Satgas dan Panja DPR UU Cipta Kerja. 12 orang itu, antara lain Airlangga Hartarto, Rosan Roeslani, Pandu Patria Sjahrir, Puan Maharani, Arteria Dahlan, Benny sutrisno, Azis Syamsudin, Erwin Aksa, Raden Pardede, M Arsjad Rasjid, Bobby Gafur Umar, dan Lamhot Sinaga," ungkap Merah Johansyah, Juru Bicara #BersihkanIndonesia dari JATAM

Johan menilai pengesahan RUU Ciptaker yang terburu buru ini seperti kado kecil dari dewan dan eksekutif kepada para pengusaha. Pengesahan yang terburu buru ini sarat dengan politik terima kasih kepada mereka.

Tidak jauh berbeda dengan UU Cipta Kerja, revisi UU KPK dan UU Minerba yang begitu cepat diselesaikan juga karena diduga ada kepentingan dan tekanan politik disana. Revisi UU KPK dan UU Minerba yang mendapatkan banyak penolakan dan berujung pada gugatgan ke MK, diwarnai oleh dugaan adanya tekanan kuat untuk menggolkannya.

Tekanan karena adanya kepentingan itu antara lain dikemukakan oleh JATAM.  Menurutnya pembahasan buru-buru RUU KPK dan RUU Minerba tidak lebih dari upaya untuk habis-habisan menyalakan lonceng kompensasi setelah pilpres usai pelaksanannya. “RUU cepat-cepat dibahas diselesaikan sehingga semua kepentingan masuk dan masyarakat jadi korban karena korupsi sumber daya alam," kata Koordinator Jatam, Merah Johansyah, di Jakarta, Ahad, 15 September 2019 seperti dikutip Tempo.co

Menurut Merah, pembahasan RUU KPK dan RUU Minerba sangat berkaitan satu dengan lainnya. Karena lima tahun ke belakang, kata dia, KPK akan mulai masuk dalam penindakan korupsi sumber daya alam (SDA),salah satunya lewat Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (SDA). Sehingga eksistensi KPK harus dikondisikan sedemikian rupa supaya menjadi “ramah” terhadap penjarah SDA. Apakah memang demikian salah satu misinya ?

Selain RUU revisi KPK dan RUU Minerba,yang lagi hangat diberitakan adalah soal cepatnya pengesahan RUU IKN, karena diduga ada kepentingan dan tekanan juga disana. Ada kepentingan oligarki di balik pengesahan RUU IKN (Ibu Kota Negara). Para pemilik modal dan pemberi utang baik asing dan aseng akan mencengkeram Indonesia melalui pembangunan Ibu Kota Negara. “Anggota DPR lebih mementingkan oligarki daripada suara rakyat yang menolak RUU IKN,” kata Presidium Aliansi Rakyat Menggugat (ARM) Ida Nurhaida seperti dikutip  suaranasional.com, Jumat (19/1/22).

Dugaan adanya kepentingan dan tekanan dalam pembahasan suatu RUU sehingga mempengaruhi kecepatan dan keterlambatan penyelesaiannya kiranya bisa dirasakan namun sulit untuk pembuktiannya. Yang jelas lambat atau cepatnya pembahasan suatu RUU karena memang banyak faktor yang mempengaruhinya. Faktor faktor itu diantaranya terakait dengan siapa sponsornya, apa kepentingannnya, sejauhmana supportnya untuk penyelesaiannya, seberapa besar RUU itu mengandung nilai finansial tertentu yang menguntungkan bagi para pembuatnya dan sebagainya.

Berdasarkan faktor faktor tersebut maka ketika pembahasan suatu RUU, hitung hitungan siapa mendapatkan apa dan berapa nilainya bukan suatu hal yang tabu terdengar di telinga. Lagi lagi hal ini sulit dibuktikan tetapi sering tercium baunya. Mungkin karena faktor ini pula yang menyebabkan RUU yang bersinggungan dengan kepentingan publik sering terkatung katung penyelesaiannya. Sebutlah misalnya RUU tentang Pertembakauan, RUU Koperasi, RUU Pertanahan, RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan sebagainya.

Untuk RUU Pertembakauan, kuatnya intervensi asing dan kegandrungan Indonesia meratifikasi aturan internasional terkait perdagangan komoditas yang merugikan petani tembakau, telah membuat RUU Pertembakauan sulit untuk disahkan menjadi UU . Demikian disimpulkan dalam diskusi bertajuk “Menakar Urgensi RUU Pertembakauan dengan menampilkan nara sumber Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Pertembakauan DPR Firman Soebagyo dan Anggota Pansus Cucun Ahmad Syamsurijal serta pengamat ekonomi politik Salamuddin Daeng di Gedung DPR, Selasa (28/9/21). Benarkah karena adanya tekanan asing itu sehingga membuat RUU Tembakau tak kunjung disahkan berlakunya ?

Lalu bagaimana dengan UU Lain yang begitu lambat penyelesaiannya, apakah karena tidak ada “sponsor” yang bisa mendorong percepatan untuk penyelesaiannya ?. Apakah karena RUU itu tidak berkaitan (baca: tidak menguntungkan)  secara langsung  bagi pembuatnya ?

Dengan melihat gambaran penyelesaian suatu RUU sebagaimana dikemukakan diatas, kira kira faktor apa yang menurut Anda begitu menentukan cepat lambatnya suatu RUU diselesaikan oleh mereka yang berwenang membuatnya ? Benarkah memang tergantung pada adanya kepentingan dan tekanan disana ?

 

 

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar