Terbongkar! Dosen UI Ditawari Jadi Profesor Asalkan Cabut Gugatan

Rabu, 12/01/2022 11:24 WIB
Dosen UI ditawari jadi profesor asalkan cabut gugatan terhadap Kemendikbud di PTUN (kompas)

Dosen UI ditawari jadi profesor asalkan cabut gugatan terhadap Kemendikbud di PTUN (kompas)

Jakarta, law-justice.co - Carut marut dunia pendidikan Indonesia kembali terungkap. Kali ini dibongkar oleh Dosen Departemen Matematika Fakultas MIPA Universitas Indonesia (UI) Dr Sri Mardiyati. Dia buka-bukaan di sidang Mahkamah Konstitusi (MK).

Melalui kuasa hukumnya, Maqdir Ismail, Sri membeberkan dirinya ditawari lulus jadi profesor asalkan mencabut gugatan ke Kemendikbud di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Sri merupakan calon profesor yang sudah direstui UI. Namun namanya tiba-tiba tidak lulus di Kemendikbud Ristekdikti. Sri kemudian menggugat ke PTUN Jakarta. Namun di tengah proses gugatan itu, ia diajak berdamai.

"Pertanyaan saya juga yang ingin saya tanya kepada Pak Sofwan, sebelum perkara ini bergulir ke PTUN, apakah Saudara mendengar ada pembicaraan atau pesan yang disampaikan oleh Sekjen Kementerian melalui Dekan FMIPA UI agar supaya klien kami ini tidak meneruskan perkara ini ke PTUN, akan tetapi dia akan diberikan gelar melalui NITK (Nomor Induk Tenaga Kependidikan-red)?" tanya Maqdir yang tertuang dalam risalah sidang MK sebagaimana dilansir di websitenya, Rabu (12/1/2022).

Atas apa yang dia alami, Sri menggugat UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ke MK dan menuding ada kartel gelar profesor di Kemendikbud-Ristek sehingga peraturan yang `menjegalnya` harus dihapuskan.

"Kemudian, apakah Saudara juga mengetahui bahwa pada tanggal 31 Januari, juga kepada klien kami ini ditawarkan kembali untuk menjadi guru besar, sepanjang tidak mempersoalkan persoalan ini melalui proses hukum dan harus melalui NITK?" tanya Maqdir tegas.

Menjawab Direktur Sumber Daya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknolog (Kemendikbud Ristek Dikti) Muhammad Sofwan Effendi menyatakan pengusulan Sri sebagai guru besar oleh Universitas Indonesia diajukan 27 hari menjelang pensiun. Dirjen Dikti telah melakukan penilaian dalam waktu 16 hari saja dari target maksimal 55 hari kerja dari sejak usulan diterima.

"Akan tetapi, hasil penilaian karya ilmiah Pemohon dinyatakan oleh tim penilai, baik reviewer 1, reviewer 2, maupun reviewer 3 menyatakan perlu perbaikan atau dalam laman disebutkan ditolak. Sehingga terhadap hasil penilaian angka kredit Pemohon yang telah dilakukan oleh 3 orang reviewer menyatakan bahwa karya ilmiah belum memenuhi kriteria jurnal internasional dan harus diperbaiki," kata Sofwan.

Jawaban-jawaban dari kubu Kemendikbud memancing hakim konstitusi untuk bertanya lebih lanjut. Salah satunya hakim konstutusi Aswanto. Sebagai mantan Dekan FH Universitas Hasanuddin Makassar, Aswanto cukup paham proses pengajuan profesor. Salah satunya ia menduga ada unsur kedekatan dengan pejabat di Kemendikbud biar cepat lolos seleksi.

"Kalau ada yang dikenal di dalam, cepat banget. Tapi kalau ndak dikenal, itu bisa bertahun‐tahun. Nah, ini yang menurut saya harus dilakukan di sana. Kalau perlu, jangan ada diskresi. Harus konsisten saja dengan aturan. Untuk apa Bapak menerima permohonan yang sudah jelas‐jelas tidak memenuhi persyaratan masa pensiun tadi? Lalu kemudian diproses dan kemudian juga itu kan memberikan harapan- harapan-harapan palsu saja, PHP saja," beber Aswanto.

Karena permasalahan masih banyak, Ketua MK Anwar Usman akhirnya memberikan kesempatan lagi untuk sidang pembuktian.

"Jadi, nanti Kepaniteraan akan memberitahu kapan sidang selanjutnya, apakah Pihak Terkait mengajukan tetap mengajukan dua saksi dan 1 ahli," kata Anwar.

 

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar