Siapa Bakal Bayar Proyek Kereta Cepat Plus Utang Rp 65 T ke China?

Selasa, 07/12/2021 22:20 WIB
Ilustrasi kereta cepat (Foto.KCIC)

Ilustrasi kereta cepat (Foto.KCIC)

Jakarta, law-justice.co - Beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo kembali menjadi perhatian setelah keluar peraturan baru yang memperbolehkan pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung menggunakan dana APBN. Padahal, sebelumnya, Jokowi berjanji pembangunan megaproyek itu tak bakal menggunakan duit negara.

Revisi aturan terbaru itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021 yang merupakan perubahan atas Perpres Nomor 107 Tahun 2015, tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta Bandung.


Perpres tersebut ditandatangani oleh Jokowi. Akibatnya, Jokowi mendapatkan banyak kritik karena dianggap tidak konsisten.

Meski menuai banjir kritik dan dinilai melanggar janji, pemerintahan Jokowi bergeming dan tetap mengucurkan uang negara untuk menambal pembengkakan biaya investasi Kereta Cepat Jakarta Bandung.

Proyek KCJB yang membutuhkan dana Rp113 triliun, dikerjakan oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) yang merupakan perusahaan patungan konsorsium BUMN Indonesia dengan konsorsium BUMN China.

Konsorsium BUMN Indonesia bernama PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), terdiri dari PT Wijaya Karya Tbk. dengan kepemilikan saham 38 persen, PT KAI dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII dengan kepemilikan saham masing-masing 25 persen, dan PT Jasa Marga Tbk dengan kepemilikan saham 12 persen.

Konsorsium PSBI memiliki saham sebesar 60 persen di KCIC. Sedangkan sisanya 40 persen dimiliki oleh konsorsium BUMN China yaitu Beijing Yawan HSR Co.Ltd.

Pada Kamis (4/11) lalu, Direktur Utama PT KCIC Dwiyana Slamet Riyadi menyampaikan struktur pembiayaan KCJB adalah, 75 persen dari nilai proyek dibiayai oleh CDB dan 25 persen dibiayai dari ekuitas atau dana yang dimiliki konsorsium.

Dari 25 persen ekuitas tersebut, sebesar 60 persen berasal dari konsorsium PSBI karena menjadi pemegang saham mayoritas.


Sehingga pendanaan dari konsorsium Indonesia ini sekitar 15 persen dari proyek, sedangkan sisanya sebesar 85 persen dibiayai dari ekuitas dan pinjaman pihak China, tanpa jaminan dari Pemerintah Indonesia.

Dalam perjalanannya, biaya pembangunan proyek tersebut ternyata membengkak 1,9 miliar dollar AS atau Rp27 triliun rupiah (asumsi kurs Rp14.300). Sehingga, dana yang diperlukan meningkat, dari 6,07 miliar dollar AS atau Rp85 triliun, menjadi 7,97 miliar dollar AS atau Rp113 triliun.

Dari total kebutuhan Rp113 triliun, pinjaman CBD diperkirakan mencapai 4,55 miliar dolar AS atau setara Rp 64,9 triliun.

Kemudian base equity capital atau kewajiban modal dasar dari konsorsium Indonesia sebesar Rp4,3 triliun. Sedangkan jumlah kewajiban dasar dari konsorsium China belum ada informasi resminya.

Nah, Rp4,3 triliun itulah harusnya yang menjadi kewajiban Wijaya Karya dkk. Rinciannya, KAI Rp440 miliar, Wijaya Karya Rp240 miliar, Jasa Marga Rp540 miliar dan PTPN VIII senilai Rp3,1 triliun.

Namun karena alasan keuangan perusahaan sedang minim akibat pandemi, jadilah uang APBN keluar juga.

Padahal sebelumnya sudah ada klausul, `tanpa jaminan dari pemerintah Indonesia`.

Pasalnya proyek KCJB ini adalah proyek business to business, dimana biaya investasi sepenuhnya berasal dari modal anggota konsorsium dan pinjaman dari China. Dana juga bisa berasal dari penerbitan obligasi perusahaan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani beralasan, pemerintah harus membantu pendanaan KCJB, agar pinjaman untuk KCIC dari CDB bisa segera dicairkan.

"Sebetulnya proyek ini jalan berdasarkan pinjaman dari CDB (China Development Bank) dan dia mencairkan. Sampai suatu titik tertentu enggak bisa dicairkan karena tidak ada ekuitas yang mendukungnya atau ekuitasnya sudah habis. Jadi sekarang ini proyek enggak mungkin bisa jalan either melalui pinjaman," ungkap Sri Mulyani pada Kamis (11/11).

Lantas utang sebesar hampir Rp65 triliun kepada China Development Bank nanti siapa yang bayar?

Pemerintah Indonesia atau para perusahaan plat merah tersebut?

Pengamat BUMN Universitas Indonesia Toto Pranoto menjelaskan, PT KCIC adalah pihak yang akan bertanggung jawab terhadap utang kepada CDB, bukan Pemerintah Indonesia.

Karena, yang mengajukan pinjaman adalah KCIC sebagai pelaksana proyek KCJB.

"Sepanjang yang saya pahami dari kontrak ini, mereka (KCIC) sebagai korporasi yang bertanggung jawab atas utang yg dibuat. Jadi semestinya tidak (ada) jaminan pemerintah terhadap utang tersebut," jelas Toto, dikutip dari Kompas TV, Selasa (7/12/2021)

"Fasilitas yang diberikan pemerintah terbatas pada masa konsesi pengelolaan kereta api cepat sampai dengan 50 tahun ke depan," ujarnya.

 

PKS minta ada audit

Sementara itu, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera mengkritisi soal membengkaknya anggaran proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.

PKS mendesak dilaksanakannya investigasi penyebab meningkatnya anggaran hingga 27 triliun rupiah.

Pernyataan tersebut disampaikan politisi PKS, Mardani Ali Sera, kepada KompasTV, Sabtu (11/9/2021).

"Aneh terkait kereta cepat Jakarta-Bandung. Sudah ada tol, sudah ada kereta biasa, ada juga kereta cepat, dan sekarang membengkak. Perlu investigasi serius, ada apa dengan kereta cepat Jakarta-Bandung," ucap Mardani.

Mardani mengingatkan agar seluruh proyek strategis termasuk kereta cepat, harus mengedepankan kepentingan rakyat.

"Semua keputusan harus buat rakyat. Jangan sampai rakyat nanti menanggung karena kebijakan yang salah. Terkait dengan masuknya investor China, semua harus dikaji berbasis national interest. Kepentingan masyarakat utamanya," lanjutnya.

Terakhir, Mardani berpesan agar kereta cepat tidak jadi proyek korupsi baru.

"Jangan sampai ada pihak yang bermain. Apalagi mengambil kesempatan dalam kesempitan. Bongkar apa yang terjadi. Kenapa anggaran bengkak di kereta cepat Jakarta-Bandung," pungkasnya.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar