Ilmuan Iran Dibayar Mahal Israel demi Sabotase Fasilitas Nuklir Natanz

Jum'at, 03/12/2021 18:20 WIB
Presiden Iran Hasan Rouhani tengah berada di Laboratorium Pengayaan Nuklir Iran (BBC)

Presiden Iran Hasan Rouhani tengah berada di Laboratorium Pengayaan Nuklir Iran (BBC)

Iran, law-justice.co - Badan intelijen Israel, Mossad, disebut merekrut ilmuwan Iran dalam operasi sabotase Fasilitas Pengayaan Bahan Bakar Nuklir Natanz di Iran pada April lalu.
Pada 11 April lalu, sebuah ledakan merusak fasilitas Natanz seluas 3.379 kilometer persegi.

Laporan itu dirilis oleh Jewish Chronicle pada Kamis (2/12/2021), yang mengklaim 90 persen centrifuge di Natanz hancur akibat operasi itu. Operasi yang dilakukan kolaborator Iran dan bukan agen yang berkewarganegaraan Israel.

Menurut laporan, sebanyak 10 ilmuwan Iran direkrut oleh Mossad, yang membuat percaya bahwa mereka bertindak atas nama kelompok pembangkang Iran di luar negeri.

"Motivasi para ilmuwan semuanya berbeda. Mossad menemukan apa yang sangat mereka inginkan dalam hidup mereka dan menawarkan kepada mereka," kata sumber dalam laporan surat kabar itu, seperti dikutip Sputnik.

Beberapa bahan peledak dilaporkan telah ditanam pada awal 2019. Bahan itu dijatuhkan ke area sekitar fasilitas nuklir oleh pesawat tak berawak dan diselundupkan ke dalam truk katering.

"Ada lingkaran dalam ilmuwan yang tahu lebih banyak tentang operasi itu, dan lingkaran luar yang membantu, tetapi hanya sedikit informasi," kata laporan itu.

Ledakan itu terjadi saat diplomat Iran dan Eropa bertemu di Wina guna membicarakan cara AS kembali bergabung dengan Kesepakatan Nuklir 2015 (JCPOA).

Di waktu yang sama, Iran melaporkan ledakan itu meluruhkan kekuatan dan hanya merusak Centrifuge sederhana.

Juru bicara Organisasi Energi Atom Iran, Behrouz Kamalvandi, menggambarkan insiden itu sebagai ledakan kecil. Fasilitas yang rusak juga bisa segera diperbaiki.

"Sektor yang rusak [yang] dapat diperbaiki dengan cepat."

Pemerintah Israel tidak secara terbuka mengomentari serangan itu selain mengakui bahwa ledakan itu memang terjadi.


Meskipun intelijen Amerika Serikat dan Israel menyatakan serangan tersebut menyebabkan ledakan, mereka juga berasumsi itu merupakan serangan siber yang sudah berkembang.

Sebelumnya, Natanz juga pernah menargetkan komputer AS-Israel atau yang dikenal dengan Stuxnet pada 2009-2010. Imbas serangan itu, centrifuge pengayaan uranium rusak parah.

Laporan terbaru dari Jewish Chronicle itu muncul saat Israel, sekali lagi, berusaha mengganggu pemulihan hubungan AS-Iran dalam kesepakatan nuklir 2015.

Di masa pemerintahan Donald Trump, Washington menarik diri dari kesepakatan itu.

Usai AS keluar dari kesepakatan itu, Iran lalu menyusul mencederai komitmen yang sudah dibuat berdasarkan kesepakatan Nuklir 2015. Di antaranya memurnikan uranium-235 ke kemurnian yang lebih tinggi dan terus bertambah.

Jika Iran bergabung kembali pada kesepakatan nuklir, sanksi ekonomi yang diberikan AS akan dicabut. Sebagai gantinya, Teheran akan menerima pembatasan ketat soal pengembangan nuklirnya.

Iran mengaku siap mematuhi kesepakatan jika AS bergabung pakta nuklir itu.

Sementara itu, Israel secara konsisten menuduh Iran diam-diam menghindari pembatasan dan terus berupaya mengembangkan senjata nuklir.

Namun, otoritas agama Iran telah menetapkan senjata nuklir bersama dengan semua senjata pemusnah massal, bertentangan dengan hukum Islam.

Merespons keputusan ulama Iran, pihak berwenang Teheran menyatakan uranium itu digunakan untuk pembangkit listrik dan penelitian medis.

November lalu, pemerintah Israel menyetujui anggaran US$1,5 miliar atau Rp21 miliar untuk menyusun dan melatih rencana serangan potensial terhadap fasilitas nuklir Iran seperti Natanz.

Intelijen Israel secara terbuka menolak laporan bahwa Iran tak melakukan pengembangan senjata atau peningkatan uranium.

Awal pekan ini, intelijen Israel dilaporkan memberikan bukti kepada AS bahwa Iran bersiap untuk memurnikan uranium hingga 90 persen U-235, yang merupakan tingkat senjata nuklir. Iran sejauh ini hanya mengaku menyempurnakan hingga 60 persen U-235.

Sumber intelijen mengatakan Iran masih membutuhkan satu hingga dua tahun untuk mengembangkan teknologi senjata yang memadai untuk mengubah uranium dengan kemurnian tinggi menjadi bom yang bisa digunakan.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar