AJI dan LBH Pers Desak Polisi SP3-kan Kasus UU ITE Jurnalis Aceh

Jum'at, 26/11/2021 22:25 WIB
Kampanye Kebebasan Pers. (Foto: Ist)

Kampanye Kebebasan Pers. (Foto: Ist)

Jakarta, law-justice.co - Kasus pencemaran nama baik yang melibatkan jurnalis Metro Aceh, Bahrul Walidin menajdi keresahan bagi kebebasan pers, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan LBH Pers desak kepolisian menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)

Ketua Umum AJI Indonesia, Sasmito Madrim menyebutkan kasus tersebut harusnya disetop karena telah diterbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang pedoman kriteria implementasi UU ITE yang turut ditandatangani Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

"Jadi kasus ini tidak layak dilanjutkan dan Polda Aceh harus menerbitkan SPPP, bukan malah meminta maaf kepada pelapor," kata Sasmito dalam keterangan tertulis, Jumat (26/11/2021).

Merujuk pada pedoman tersebut, karya jurnalistik seharusnya dikecualikan dalam pengenaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE sebagaimana yang dituduhkan kepada penulis berita tersebut.

Pasal tersebut menegaskan bahwa hasil kerja jurnalistik yang sesuai dengan UU 40 Tahun 1999 tentang Pers, diberlakukan mekanisme sesuai dengan UU Pers sebagai lex specialis, bukan Pasal 27 ayat (3) UU ITE.

Sasmito menyatakan pihaknya tak setuju apabila Polda Aceh mendorong agar proses restorative justice dilakukan dengan syarat jurnalis tersebut meminta maaf.

Padahal, upaya tersebut nantinya dapat menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers lantaran mengabaikan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

"Penggunaan Pasal 27 ayat (3) (pencemaran nama baik) UU ITE Jo Pasal 45 ayat (3) tidak bisa dikenakan pada karya jurnalistik yang memuat kepentingan publik," ujarnya.

Selain bertentangan dengan aturan perundang-undangan, jerat kasus terhadap Bahrul dinilai juga mengabaikan Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Polri Nomor 2/DP/15/II/2017 tentang Koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers.

Ia mengingatkan bahwa seharusnya keberatan-keberatan berkaitan dengan pemberitaan seharusnya melakukan komplain dalam mekanisme hak jawab, hak koreksi atau bahkan mengadukan ke Dewan Pers. Sehingga bukan melalui diproses pidana.

"Kami menyayangkan sikap kepolisian yang hingga saat ini tidak menghentikan proses hukum," kata Sasmito.

Sebagai informasi, Bahrul dilaporkan oleh Direktur Utama PT Imza Rizky Jaya Rizayati melalui beberapa waktu lalu. Bahrul dilaporkan atas pemberitaan yang dimuat Metro Aceh dengan judul `Hj Rizayati Dituding Wanita Penipu Ulung`.

Berita itu berisi terkait dugaan penipuan yang dilakukan Rizayati di sejumlah wilayah Indonesia. Pemberitaan itu bersumber dari sejumlah keterangan korban.

Polisi mengusut kasus ini karena mendapat surat dari Dewan Pers pada 2 November 2020 yang menyatakan bahwa media online tersebut tak terdata di Dewan Pers hingga tanggal surat itu dikeluarkan.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar