Ribuan Perusahaan Tambang Bisa Mati Akibat Batu Bara RI Kiamat

Jum'at, 19/11/2021 16:30 WIB
Ilustrasi lokasi pertambangan Indonesia. (Foto: Minergy).

Ilustrasi lokasi pertambangan Indonesia. (Foto: Minergy).

Jakarta, law-justice.co - Saat ini, pemerintah tengah mengurangi konsumsi batu bara dan memensiunkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Hal itu dilakukan untuk mengejar target netral karbon 2060 mendatang.

Dengan demikian, bila batu bara ini ditinggalkan, maka tentunya ini akan berdampak pada ribuan tambang batu bara yang beroperasi saat ini.

Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian ESDM mencatat, jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) batu bara pada 2021 ini tercatat mencapai 1.162 perizinan.

Perizinan itu terdiri dari 1.157 IUP Operasi Produksi batu bara dan 5 IUP Eksplorasi batu bara. Selain itu, terdapat sekitar 66 pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B).

Ketua Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo mengatakan, pemensiunan PLTU ini juga akan berdampak ke seluruh perusahaan pertambangan batu bara, yang mana jumlahya tidak hanya puluhan saja, sehingga industri pertambangan ini perlu dikelola dengan baik.

"Industri tambang kita gak hanya sepuluh company, ada ratusan perusahaan yang harapkan industri ini akan tumbuh, tambang juga perlu pijakan kepastian jangka panjang," katanya melansir CNBC Indonesia, Jumat(19/11/2021).

Seperti diketahui, tahun ini produksi batu bara ditargetkan mencapai 625 juta ton. Kemudian, secara jangka panjang pemerintah menerapkan batasan produksi batu bara sebesar 600 juta ton.

Namun dari sisi konsumsi dalam negeri, terutama untuk pembangkit listrik, pemerintah memiliki target ambisius untuk mengurangi kapasitas PLTU secara bertahap dari 5,52 Giga Watt (GW) sebelum 2030 hingga nantinya hanya tinggal kurang dari 1 GW pada 2057 mendatang.

"Pemerintah terapkan batasan 600 juta, kalau memang pemerintah mencoba percepatan pensiunkan PLTU, tentu dampak ini gak hanya DMO saja, namun juga pada potensi ekspor," paparnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, sektor pertambangan seharusnya memiliki perencanaan jangka panjang. Namun sayangnya, rencana belanja, batasan produksi atau level produksi ditentukan oleh pemerintah.

"Makanya saya beberapa kali bilang sebaiknya memang rencana kerja belanja atau rencana produksi sebaiknya bukan tahunan, yang paling tepat adalah lima tahun. Setiap tahun dievaluasi mengenai aspek teknik dan lingkungan," jelasnya.

Jika pemerintah serius meninggalkan batu bara, termasuk menghentikan total produksi batu bara nasional, maka artinya Indonesia harus bersiap-siap mengalami lonjakan angka pengangguran.

Pasalnya, batu bara kini masih menjadi komoditas andalan negeri ini, bahkan pada 2020 lalu menduduki peringkat ketiga sebagai produsen batu bara terbesar di dunia, setelah China dan India.

Industri batu bara pun telah menyerap tenaga kerja hingga 150 ribu pada 2019 lalu, berdasarkan data Booklet Batu Bara Kementerian ESDM 2020.

"Industri batu bara menyerap tenaga kerja hingga 150.000 pada tahun 2019. Komposisi tenaga kerja asing sebanyak 0,1%," tulis Booklet Batu Bara Kementerian ESDM 2020 tersebut.

Jumlah tersebut bahkan belum termasuk penyerapan tenaga kerja di bidang operasional PLTU. Bila dimasukkan dengan tenaga kerja di PLTU, maka artinya jumlah tenaga kerja yang harus kehilangan pekerjaan menjadi lebih besar lagi.

Bila pemerintah sepenuhnya menghentikan penggunaan PLTU maupun produksi batu bara, maka artinya harus siap-siap membuka lapangan kerja baru untuk ratusan ribu tenaga kerja RI yang saat ini bekerja di industri pertambangan batu bara maupun pembangkit listrik berbasis batu bara.

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar