Anggaran Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung Membengkak, Ini Alasannya

Jum'at, 03/09/2021 11:01 WIB
Foto: lowongan kerja kereta cepat Jakarta-Bandung (Dok KCIC)

Foto: lowongan kerja kereta cepat Jakarta-Bandung (Dok KCIC)

Jakarta, law-justice.co - PT KAI (Persero) menyatakan terjadi pembengkakan biaya (cost overrun) dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang dioperasikan oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).

Direktur Keuangan & Manajemen Risiko KAI Salusra Wijaya mengestimasikan pembengkakan biaya senilai US$1,4 miliar-US$1,9 miliar.

Bila sebelumnya struktur pendanaan proyek senilai US$6,07 miliar atau sekitar Rp86,67 triliun (kurs Rp14.280 per dolar AS), kini proyek diestimasikan membutuhkan pendanaan sekitar US$8 miliar atau setara Rp114,24 triliun.

Menurut Salustra, penyebab utama terjadi pembengkakan ada pada komponen konstruksi (EPC), perkiraannya biaya konstruksi naik US$600 juta-US$1,2 miliar akibat kenaikan harga, relokasi jalur utilitas, fasilitas umum, dan sosial.

Selain itu, juga tercatat pekerjaan tambahan/variasi. "Ini tough (berat) karena jalur yang dilalui sangat banyak dan luas dan melewati daerah komersial, bahkan ada kawasan industri yang digeser dan cukup costly (mahal)," ujarnya saat rapat bersama Komisi VI DPR, Rabu (1/9).

Komponen kedua adalah pembebasan lahan. Pos ini menelan biaya tambahan US$300 juta karena total area lahan yang dibebaskan naik 31 persen menjadi 7,6 juta meter2, sementara total biaya naik 35 persen dari anggaran awal.

Ia menyebutkan terjadi kemoloran pembebasan lahan. EPC proyek dimulai pada Juni 2018, sedangkan pada 2019 belum semua lahan berhasil dibebaskan. Ini menyebabkan keterlambatan penyerahan lahan kepada kontraktor.

Efek domino dari keterlambatan tersebut, financing cost atau biaya bunga dari pinjaman proyek juga naik. Diperkirakan financing cost naik US$200 juta akibat keterlambatan proyek.

Diketahui, 75 persen dari proyek KCIC dibiaya dari pinjaman China Development Bank (CDB). Sedangkan, 25 persen lainnya dibiayai dari ekuitas antara Indonesia dan China. Pembagian ekuitasnya 60 persen Indonesia dan 40 persen China.

Lebih lanjut, Salustra menambahkan bahwa biaya head office dan pra-operasi juga naik US$200 juta. Anggaran ini dipakai untuk membayar konsultan keuangan, pajak, dan hukum. Sementara, anggaran biaya lain-lain terutama digunakan untuk membayar keperluan signaling sebesar US$50 juta.

"Biaya lain ini juga tough ya karena dengan 142 km jalur ini butuh kekuatan signaling yang kuat dan bagus karena ini KA cepat ternyata costly sekali demi menjaga safety dan security," imbuhnya.

Dengan hitungan tersebut, ia menyebut pemerintah RI harus menambah Rp4,1 triliun sebagai pemegang saham. Biaya itu di luar pendanaan awal Rp4,3 triliun yang sampai kini belum disetorkan pemerintah.

"Ini masih banyak asumsi tapi Rp4,1 triliun dari porsi ownership 60 persen dan asumsikan 75 persen dari loan CDB dan 25 persen dari ekuitas China dan Indonesia," jelasnya.

Untuk membiayai cost overrun tersebut, KAI mengusulkan agar dibiayai lewat Penanaman Modal Negara (PMN) 2022.

"Dengan besarnya proyek ini dengan semua proyek kereta di seluruh dunia pinjaman dari bantuan pemerintah mau tidak mau dilakukan karena ukurannya besar sekali," pungkasnya.

(Ade Irmansyah\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar