Perhatian! Ini Ancaman Pidana Jika Memviralkan Utang Orang Lain

Minggu, 22/08/2021 13:54 WIB
Kartun Wajah Media Sosial dan Berita Hoax (Ist)

Kartun Wajah Media Sosial dan Berita Hoax (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Tentu sangat menyebalkan jika utang tidak kunjung dibayarkan hingga lewat waktu yang ditentukan.

Bagi sebagian orang, berbagai cara dilakukan agar sipenghutang mau segera meluanasi kewajibannya tersebut.

Termasuk memviralkan sipenghutang lewat media sosial. Lalu, apakah cara ini melanggar hukum?

Berikut penjelasannya seperti melansir hukumonline.com:

Postingan yang Viral

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, viral berarti bersifat menyebar luas dan cepat seperti virus. Terminologi ini dipakai di dunia maya. Berdasarkan definisi tersebut, berarti memviralkan adalah upaya agar suatu informasi menyebar dengan luas dan cepat.

Sesuatu yang viral bisa bersifat positif. Misalnya, ada kejadian kecelakaan lalu lintas yang diviralkan, sehingga petugas keselamatan dan lalu lintas segera meluncur dan datang untuk memberikan pertolongan.

Namun hal yang viral bisa juga bersifat negatif, seperti dalam kasus Anda. Akibat adanya utang yang diposting dan menyebar dengan cepat, pihak yang berutang menjadi malu dan tercemar namanya.

Untuk viral yang positif, masyarakat atau individu yang terlibat umumnya menerima saja. Yang menjadi masalah adalah jika postingan itu membuat nama tercemar dan yang bersangkutan tidak menerimanya karena sangat malu. Lantas, apakah perbuatan tersebut dapat dijerat hukum?

Hukumnya Memviralkan Utang di Media Sosial

Terkait perbuatan pencemaran nama baik dan/atau penghinaan merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) beserta perubahannya.

Secara umum, perbuatan mencemarkan nama baik dan/atau penghinaan dapat dijerat Pasal 310 KUHP:

1. Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
2. Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
3. Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

Jika perbuatan tersebut dilakukan melalui media internet, maka pelaku dapat dijerat Pasal 27 ayat (3) UU ITE:

"Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."

Patut digarisbawahi, untuk mengetahui apakah perbuatan memviralkan utang dapat dijerat UU ITE atau tidak, aparat penegak hukum dapat merujuk sebagai berikut:[1]

a. Bukan delik pidana yang melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE, jika muatan atau konten yang ditransmisikan, didistribusikan, dan/atau dibuat dapat diaksesnya tersebut adalah berupa penghinaan yang kategorinya cacian, ejekan, dan/atau kata-kata tidak pantas. Adapun perbuatan tersebut dapat menggunakan kualifikasi delik penghinaan ringan sebagaimana dimaksud Pasal 315 KUHP.

b. Bukan delik pidana yang melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE, jika muatan yang ditransmisikan, didistribusikan, dan/atau dibuat dapat diakses tersebut berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi, atau sebuah kenyataan.

Merujuk di atas, maka perbuatan memviralkan utang orang lain tidak dapat dijerat menggunakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, mengingat muatan yang disebarkan tersebut merupakan sebuah kenyataan.

Meski demikian, patut diperhatikan, disarikan dari SKB UU ITE Tak Bisa Mengikat Penafsiran Hakim, Apakah Berfaedah?, meskipun SKB UU ITE bisa mengontrol kesamaan pandangan aparat penegak hukum menerapkan UU ITE sebelum maju ke pengadilan, namun SKB UU ITE tidak bisa mengikat penafsiran hakim.

Sehingga, meskipun SKB UU ITE telah menegaskan muatan berupa suatu kenyataan yang disebarkan tidak dapat dijerat Pasal 27 ayat (3) UU ITE, tapi majelis hakim bisa saja memutuskan lain.

Selain itu, jika muatan mengandung kata-kata berupa penghinaan yang kategorinya cacian, ejekan, dan/atau kata-kata tidak pantas, si pelaku dapat dijerat Pasal 315 KUHP atas penghinaan ringan:

"Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis, yang dilakukan terhadap seorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan, dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."

Terhadap besaran denda tersebut, Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP (“Perma 2/2012”) mengatur:

"Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 kali."

Oleh karenanya, pelaku penghinaan ringan dalam Pasal 315 KUHP dapat diancam pidana penjara maksimal 4 bulan 2 minggu atau denda maksimal Rp4,5 juta.

Hukumnya Klausul Pemviralan Utang

Terkait masalah yang Anda tanyakan, memviralkan suatu utang biasanya bertujuan mempermalukan si pemilik utang. Hal ini sekalipun ada perjanjian dan persetujuan untuk memviralkan utang lewat SMS, WA, dan berbagai media lain.

Menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), syarat sahnya perjanjian adalah:

a. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. suatu pokok persoalan tertentu;
d. suatu sebab yang tidak terlarang.

Patut diperhatikan, suatu perjanjian yang dibuat berdasarkan suatu sebab terlarang, yakni dilarang oleh undang-undang, bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum, tidak mempunyai kekuatan.[2]

Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian (hal. 17) menggolongkan “sebab yang halal” sebagai syarat objektif. Syarat ini berkaitan dengan objek perbuatan hukum yang dilakukan. Apabila syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan (hal. 20).

Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, secara umum, pencemaran nama baik merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, sehingga jika dikaitkan dengan Pasal 1320, Pasal 1335, dan Pasal 1337 KUH Perdata, perjanjian memviralkan utang dapat dikatakan tidak memenuhi syarat sah perjanjian berupa “sebab yang halal”, sehingga perjanjian tersebut batal demi hukum.

Maka, upaya untuk memviralkan tunggakan utang sebaiknya tidak dilakukan, mengingat si pelaku berpotensi dipidana atas aduan dari si pengutang yang merasa nama baiknya tercemar.

Utang memang merupakan kewajiban yang harus dibayar. Sebaiknya, upayakan semaksimal mungkin agar si pengutang membayar utangnya, baik dengan mencicil atau memberikan jaminan guna memastikan pembayaran utang.

Dasar Hukum:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
2. Kitab Undang-Usndang Hukum Pidana;
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
4. Surat Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 219, 154, dan KB/2/VI/2021 Tahun 2021 tentang Pedoman Impelementasi Atas Pasal Tertentu dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Referensi:

1. Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses pada Selasa, 7 Januari 2020, pukul 13.20 WIB;
2. Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 2014.

[1] Lampiran Surat Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 219, 154, dan KB/2/VI/2021 Tahun 2021 tentang Pedoman Impelementasi Atas Pasal Tertentu dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“SKB UU ITE”), hal. 9 - 14

[2] Pasal 1335 dan Pasal 1337 KUH Perdata

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar