Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Salah Kaprah Perburuan Pembuat Mural "Jokowi 404: Not Found"

Rabu, 18/08/2021 05:50 WIB
Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (ist)

Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (ist)

Jakarta, law-justice.co - Sebuah mural  bertajuk "Jokowi 404: Not Found" di Batuceper, Tangerang, Banten, sempat viral di sosial media sehingga mendapatkan banyak perhatian masyarakat Indonesia. Mural yang kemudian dihapus oleh pihak kepolisian itu tepatnya berada  di terowongan inspeksi Tol Kunciran-Bandara Soekarno Hatta.

Bukan hanya dihapus, pembuat mural itu  pada akhirnya juga diburu oleh aparat untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. "Tetap diselidiki itu perbuatan siapa. Karena bagaimanapun itu kan lambang negara, harus dihormati," kata Kasubbag Humas Polres Tangerang Kota, Kompol Abdul Rachim seperti dikutip tribunJakarta.com Jumat (13/8/2021).

Penghapusan sekaligus perburuan terhadap pelaku pembuat mural telah memunculkan banyak tanda tanya seputar kebebasan berekspresi di Indonesia. Mengapa sampai muncul mural yang “menyerang” penguasa ?,  Apakah mural seperti itu baru terjadi kali ini saja terjadinya ? Mengapa soal mural ini menimbulkan pro dan kontra ?. Sudah benarkah aparat kepolisian memburu para pelakunya ?

Mengapa Muncul Mural ?

Akhir akhir  ini mural mendapatkan perhatian dan apresiasi dari masyarakat umum di Indonesia, yang biasanya awam terhadap praktik-praktik seni rupa. Munculnya perhatian itu seiring dengan banyaknya  mural yang dapat ditemukan keberadaannya di ruang-ruang publik terutama pinggir jalan raya. Mulai dari mural yang sarat akan kepentingan kapitalisme (media beriklan) hingga yang mengandung pesan-pesan atau kritik sosial untuk kepentingan bersama.

Mural merupakan salah satu bentuk seni rupa, atau lebih tepatnya seni lukis, yang biasanya menggunakan dinding atau tembok sebagai medianya, atau dapat juga menggunakan media besar dan datar lainnya seperti, langit-langit, papan besi, maupun kain, baik eksterior maupun interiornya.

Mural berasal dari kata “murus”, berasal dari bahasa Latin yang berarti dinding sehingga mural tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan unsur pembentuk ruang yaitu dinding sebagai medianya. Merujuk pada aktivitas menggambar pada media dinding tersebut sebenarnya sudah ada di Indonesia sejak lama . Manusia jaman Mesolitikum  biasa menulis atau mengambar di dinding-dinding gua tempat mereka tinggal dengan tujuan menyampaikan pesan bahwa mereka pernah tinggal dan melangsungkan kehidupan di sana.

Mural di Indonesia juga dapat ditelusuri eksistensinya ketika terjadi perang melawan para penjajah dalam rangka meraih kemerdekaan  Indonesia.  Masyarakat Indonesia pada saat itu menggunakan mural sebagai media penyampai pesan penyemangat melawan penjajah, seperti mural “Merdeka ataoe Mati” , “Oesir Penjajah Belanda” dan sebagainya. Dalam hal ini, mural memiliki makna dan pesan dalam setiap keberadaaannya yang mencitrakan kondisi sosial dan budaya di sekelilingnya, dan tentunya juga citra estetiknya.

Di era perkembangan teknologi saat ini, mural masih dapat ditemui eksistensinya. Di saat manusia dengan segala sesuatu pemenuhan kebutuhannya memerlukan campur tangan teknologi, termasuk dalam kebutuhan memproduksi karya seni maupun desain, eksistensi mural tetap ada.

Tidak seperti karya seni rupa atau desain yang lain (seperti misalnya karya seni cetak grafis, seni lukis, atau bahkan animasi) yang saat ini sudah membutuhkan kehadiran teknologi untuk memudahkan proses produksinya, mural masih tetap menggunakan cara konvensional, yaitu menggambar manual dalam proses produksinya.

Saat ini Mural  diproduksi memiliki banyak tujuan, mulai dari kepentingan pribadi untuk memenuhi hasrat estetis seniman, kepentingan menyuarakan kritik politik dan sosial budaya, kepentingan patrone politik maupun ideologi, hingga kepentingan sebuah brand tertentu dalam melakukan branding dan promosi menawarkan produknya.

Mural sangat penting dalam dunia seni dan dunia kontemporer karena mural bisa membawa seni ke ruang publik untuk bisa dinikmati bersama. Karya ini juga bisa membuat orang lebih sadar akan seni dan budaya. Selain itu, mural juga bisa menjadi alat komunikasi antar sesama. Pelukis dapat menyampaikan aspirasi dan ekspresinya pada publik melaliu lukisan di dinding yang jadi medianya. Ukuran lukisan yang besar akan menarik perhatian publik yang membuatnya jadi cara yang efektif untuk mengkomunikasikan pesan yang ingin disampaikannya.

Secara tak langsung, mural juga bisa mempengaruhi sikap orang-orang yang melihatnya. Terlepas dari apakah publik setuju atau tidak, mural membuktikan bahwa kekuatan seni rupa bisa jadi sarana ekspresi sosial, bahkan ekspresi politik yang dianutnya.

Mural kini lebih di kenal sebagai seni publik karena lokasi keberadaannya ,maupun penyampaiannya yang melibatkan langsung interaksi maupun opini masyarakat membuat mural menjadin seni visual baik atau buruknya itu di kembalikan pada interaksi dan pertanggung jawaban sang seniman dan masyarakat yang menjadi targetnya.

Mural pada perkembangannya telah menjadi bagian dari seni publik yang melibatkan komunikasi dua arah dimana seniman mural melakukan komunikasi secara visual kepada audiens terhadap apa yang ingin di curahkannya.

Oleh karena itu karya seni mural dapat digunakan untuk sarana nmengekspresikan pendapat,kritik maupun saran atas permasalahan sosial dan ekonomi yang di alami masyarakat dengan tujuan agar suatu permasalahan dapat diselesaikan atau setidaknya permasalahan yang ada dapat berkurang, dan juga untuk mengekspresikan saran maupun kritik kepada pemerintah yang sedang berkuasa.

Sebagai sarana untuk menyampaikan pendapat atau kritik, mural tentu saja perlu dihormati eksistensinya. Hal ini sejalan dengan adanya kebebasan menyampaikan pendapat di Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang undangan yang ada. Bahwa setiap orang berhak mengemukakan pendapat, gagasan, kritikan kepada pemerintah yang sedang berkuasa.

Mengingat Indonesia adalah sebuah negara demokrasi, dan rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi  maka masyarakat memiliki hak untuk menyalurkan apa yang menjadi keinginan dan aspirasi mereka untuk di proses dan di realisasikan oleh pemerintah yang berkuasa.

Adapun salah satu cara termudah diantaranya adalah  dengan memberikan opini melalui mural atau yang sejenisnya. Akhir akhir ini dengan semakin massifnya karya seni jalanan lewat mural menunjukkan adanya  tanda-tanda bahwa kritik melalui saluran lain banyak  yang dibungkam dan tidak lagi didengar oleh penguasa.

Bukan Yang Pertama

Aksi kritik terhadap pemerintah melalui mural atau cara melukis di atas media dinding atau tembok kini tak bisa lagi dilakukan dengan leluasa. Karena mural itu akan segera dihapus oleh aparat dengan alasan mengganggu ketertiban atau melanggar etika.

Ramainya pemberitaan soal mural yang diduga mirip wajah Presiden Joko Widodo (Jokowi) bernuansa hitam putih di terowongan inspeksi Tol Kunciran-Bandara Soekarno Hatta, Batuceper, Tangerang Banten ternyata bukan yang pertama.

Kejadian serupa juga terjadi di Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur dengan tulisanmural berjudul “Dipaksa Seat di Negara yang Sait”.  Seperti diberitakan Kompas.com, Kamis (13/8/2021), mural yang tergambar di dinding salah satu rumah dihapus pemerintah setempat.

Pada mural itu terlihat gambar dua karakter dengan tulisan, `Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit`. Kepala Satpol PP Kabupaten Pasuruan Bakti Jati Permana mengatakan, penghapusan mural itu sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 2 Tahun 2017 tentang ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.

Dalam Pasal 19 Perda Kabupaten Pasuruan Nomor 2 Tahun 2017 tercantum larangan mencoret dinding atau tembok sarana umum. "Memang ada laporan ke kami terkait masalah mural itu. Kalau kami menghubungkan dengan masalah Perda . Yang pasti kalau Perda kita Perda Nomor 2 Tahun 2017, memang ada mengatur tentang tertib lingkungan, setiap orang dilarang mencorat-coret yang mengarah pada sarana umum," kata Bakti seperti dikutip media Jumat (13/8/2021).

Ia mengatakan, dinding rumah yang menjadi tempat mural itu merupakan sarana umum karena berada di pinggir jalan raya utama. Adapun mural itu terletak di rumah kosong yang belum diketahui pemiliknya. Rumah itu tepat berada di pojok jalan raya. Selain itu, Bakti menilai, mural itu bernada provokatif. Alasan ini pula yang membuat pihaknya memutuskan untuk menghapus mural tersebut.

Kejadian serupa juga terjadi di  Jalan Aria Wangsakara, Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, Banten yang juga sempat jadi perbincangan di sosial media. Mural yang berbentuk tulisan “Tuhan Aku Lapar !!” itu juga  sempat ditangani oleh aparat setempat.Seperti diberitakan Tribun News, Minggu (25/7/2021), Kapolresta Tangerang, Kombes Pol Wahyu Sri Bintoro pun menelusuri pembuat mural tersebut. Pihaknya mendatangi dia warga Tangerang yang merupakan pemuat mural tersebut, kemudian menanyakan motif mereka.

Setelah diselidiki, pihaknya menyimpulkan, aksi itu hanya sebagai aspirasi dalam berkesenian. Komunitas street art movement membuat mural tersebut. "Bukan, hanya sebagai aspirasi dan menyalurkan seni. Kalau butuh bantuan segara lapor. Kami sebagai pelayan masyarakat siap hadir," kata Wahyu, Sabtu (24/7/2021).

Upaya pembuatan mural itu, kata dia, tidak ada kaitan dengan aksi nasional menolak perpanjangan PPKM yang tengah ramai di sosial media. Maka dari itu, pihaknya tidak memproses hukum para pelaku pembuatan mural tersebut. "Negara harus hadir di tengah-tengah masyarakat memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan. Sekaligus mengecek kondisi ekonomi pelaku pembuat mural," imbuhnya.

Menuai Pro dan Kontra

Munculnya mural yang mengkritisi penguasa  telah memunculkan pro dan kontra. Ada yang mendukung supaya pembuat mural di usut kasusnya bahkan dipidana karena dinilai telah mengganggu ketertiban dan melecehkan lambang negara. Tetapi ada juga yang mendukung mural itu sebagai bagian dari bentuk kritik sosial yang merupakan perwujudan dari pelaksanaan hak menyatakan pendapat warga negara.

Pengamat hukum pidana dan mantan hakim, Asep Iwan Iriawan seperti  ditayangkan di kompas TV 21/08/ 21, mengatakan dalam kasus itu pembuat mural dapat dikenakan jerat pidana.Jika orang yang dalam gambar tersebut merasa terhina dan melaporkan kasus ke polisi maka pelakunya bisa dipidana.

Menurut Asep, dalam kasus mural mirip Jokowi dengan tulisan 404 Not Found, yang dapat mengajukan aduan adalah pihak yang wajahnya tergambar dalam mural dan merasa dicemarkan harga dirinya.

Sementara itu Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara (Stafsus Mensesneg) Bidang Komunikasi dan Media, Faldo Maldini  berpendapat bahwa mural tidak salah jika ada izinnya, kalau tidak berizin berarti melawan hukum dan sewenang-wenang itu namanya.

Faldo mengatakan bahwa ada hak orang lain yang dicederai, maka orang yang mendukung kesewenang-wenangan harus segera diingatkan kesalahannya."Jadi, mural itu, ga salah. Kalau ada ijinnya. Kalau tidak, berarti melawan hukum, berarti sewenang-wenang. Makanya, kami keras. Ada hak orang lain yang dicederai, bayangkan itu kalau tembok kita, yang tanpa ijin kita. orang yang mendukung kesewenang-wenangan, harus diingatkan," katanya seperti dikutip media.

Kritik keras dari Faldo Maldini ini ditanggapi oleh dokter sekaligus relawan Covid-19, dokter Tirta.Menurutnya, sebuah gambar mural memiliki makna yang dalam. Ia menegaskan bahwa seni tidak bisa di atur. Dokter Tirta pun mengaku memiliki teman yang karyanya sekarang mendunia.

"Sebuah gambar, mural, graffiti memilik makna dalam. Seni tidak bisa di atur. Saya memiliki banyak kawan, yg lahir dari "bomber" dan karyanya skrng mendunia," ujar Dokter Tirta, seperti dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari Twitter @tirta_hudhi.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa hampir semua toko miliknya saat ini ada muralnya. Ia menegaskan bahwa jangan pernah takut dengan sebuah gambar."Bahkan hampir semua toko saya ada muralnya. Jangan pernah takut dengan sebuah gambar. Mari Ngopi @FaldoMaldini," kata Dokter Tirta.*

Sementara itu sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun menilai mural adalah ekspresi jiwa, perasaan, aspirasi atau kritik simbolik melalui melukis di atas dinding, tembok atau permukaan luas dan biasanya bersifat permanen. Sehingga, mural merupakan karya seni. Sebagai karya seni, kata Ubed, mural hanya bisa dinilai dan diperdebatkan. "Apalagi jika mural mengandung kritik sosial maka tidak bisa dihakimi apalagi dihapus tanpa diskusi," katanya seperti dikutip cnn Indonesia 14/08/21.

Senada diungkapkan Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Damar Juniarto. Menurutnya ruang berpendapat yang kian sempit kemudian membuat warga memilih mural sebagai medium untuk menyampaikan protes, ujarnya.

"Karena ini bukan soal estetika, bukan soal tertib hukum, tetapi kita harus melihatnya sebagai ruang ekspresi warga kemudian semakin mengecil dan terbatas kalau modelnya kayak gini," terang Damar seperti dikutip BBC News Indonesia.

Salah Kaprah

Mural sebagaimana dikemukakan diatas merupakan bentuk erekspresi  yang merupakan karya seni dan dapat dijadikan sarana untuk menyampaikan opini atau pendapat bagi pembuatnya. Sebagai karya seni maka karya mural seharusnya dihormati seperti halnya penghormatan terhadap seorang seniman ketika menyampaikan ide ide dan gagasannya.

Oleh karena itu  penghapusan mural itu merupakan bentuk baru represi dan pembungkaman yang dilakukan oleh seorang penguasa. Tindakan aparat menghapus mural kritik sosial itu dalam perspektif demokrasi merupakan  bentuk baru represi dan pembungkaman yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang berlaku di Indonesia.

Represi dan pembungkaman itu bisa saja dilakukan karena penguasa merasa terancam kekuasaannya atau tercemari kredibilitasnya. Dalam hal ini seorang penguasa yang takut dengan hilangnya kredibilitas ataupun kekuasaannya memang cenderung akan melakukan tindakan tindakan yang yang pada akhirnya bertentangan dengan logika.

Para penguasa dizaman dulu bisa melakukan berbagai cara untuk mempertahankan kekuasaan atau melindunginya. Sebagai contoh  ketika Fir’aun berkuasa maka saat ketakutannya memuncak, mulailah dia melakukan sweeping pada setiap wanita hamil di negerinya. Rakyatnya disensus untuk mengetahui kapan prediksi mereka akan melahirkan anaknya.

Sejak itu, seluruh wanita hamil di Mesir selalu di awasi oleh pasukan keamanan raja, sebab Fir`aun ingin tiap anak laki-laki yang lahir harus diakhiri hidupnya. Baginya membiarkan kelahiran bayi laki-laki adalah sama saja menggali kuburan kekuasaannya.

Fir`aun mencurigai setiap gerak gerik  rakyatnya. Ia selalu gelisah jika melihat pasangan yang menikah karena  jangan-jangan dari mereka kelak akan lahir anak laki laki yang akan menjadi musuhnya. Kekhawatiran itu membuat hidupnya tidak tenang sehingga selalu memandang rakyatnya dengan penuh rasa curiga.

Di zaman modern saat  ini sifat sifat pemimpin yang mirip mirip Fir’aun itu ternyata tetap ada. Pemimpin demikian juga selalu mencurigai rakyatnya yang dianggap akan mengganggu kekuasannya. Sampai sampai tiap suara aspirasi rakyat dinilai sebagai ancaman baginya. Bukan hanya itu, tembokpun bisa dijadikan musuh jika ada tulisan atau gambar yang menyinggung harga dirinya.

Mungkin karena pertimbanga  itu pula sehingga pada akhirnya tulisan atau gambar ditembok atau dinding itu kemudian buru buru dihapusnya.  Soalnya kalau memang merasa tidak terganggu lalu mengapa harus dihapusnya ?.

Pada hal jika  Indonesia memang benar-benar  konsisten menganut sistem demokrasi, seharusnya pemerintah membuka ruang dialog dengan masyarakat untuk mengupas pesan dari mural tersebut dan tidak buru buru menghapusnya. Apa yang sebenarnya yang ingin disampaikan oleh masyarakat pembuat mural tersebut. Sebab mural adalah salah satu media dari masyarakat untuk berekspresi, untuk menyampaikan pendapat atau kritikannya.

Tapi alih alih menyikapi substansi kritik itu dengan bijaksana, melainkan justru mencurigai pembuatnya sebagai pelaku kriminal  yang  harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bahkan mereka diburu untuk diperkarakan kasusnya agar bisa dipidana. Mereka diburu dengan tuduhan pembuat mural telah menghina kepala negara sebagai simbol atau lembang negara.

Apakah betul presiden atau kepala negafra  merupakan lambang atau simbol negara? Apakah pembuat mural `Jokowi 404: Not Found` bisa dipidana?. Seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 pasal 2 disebutkan bahwa  yang termasuk dalam simbol negara yakni bendera, bahasa, lambang negara dan lagu kebangsaan, yang merupakan wujud eksistensi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Dengan demikian jelas bahwa  Presiden bukanlah  simbol negara, meskipun secara kehidupan berbangsa bernegara sebagai orang timur  kita wajib menghormati dan menempatkannya  sebagai pemimpin negara yang sepantasnya.

Kalau kemudian Presiden merasa dihina atau dicemarkan nama baiknya maka seyogyanya dia sendiri harus melaporkan kasusnya ke pihak aparat seperti dulu pernah dilakukan oleh mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat merasa dicemarkan nama baiknya. Jadi bukan aparat yang kemudian langsung bertindak memburu pelakunya.

Selain itu dalam kaitan dengan mural yang ada di Tol Kunciran-Bandara Soekarno Hatta, Batuceper, Tangerang Banten itu  ada kejanggalan  kejanggalan yang memunculkan tanda tanya. Pertanyaannya adalah kenapa pemerintah pusat harus turun tangan menangani permasalah mural tersebut seolah olah menjadi persoalan serius yang harus ada penyelesaianya ?.

Pahadal seharusnya hal itu cukup ditangani oleh pemerintah daerah setempat karena terkait dengan penegakan hukum peraturan daerah (Perda).  Karena sejauh ini memang ada beberapa daerah yang memang menerapkan Perda ketertiban umum yang secara spesifik melarang adanya gambar, stiker atau gambar semacamnya di pohon, jembatan, tiang, tembok atau fasilitas publik lainnya.

Oleh karena itu  kalau mural tersebut  dianggap sebagai melanggar, mestinya melanggar Perda pada soal larangan tempat-tempat umum itu dijadikan sebagai tempat untuk aksi vandalism bukan yang  lainnya. Pembuat mural ini bukan melanggar hukum pidana, tetapi melanggar Perda ketertiban umum sehingga tidak perlu melibatkan polisi segala melainkan cukup Satpol PP yang menanganinya.

Sementara itu bila masyarakat menggambar mural di fasilitas pribadi yang tidak diperuntukkan bagi publik, maka tidak boleh dianggap melakukan pelanggaran apalagi disanksi pidana. Lagi pula kalau kita cermati isi/ substansi mural yang kemudian dihapus dan menjadi viral di sosial media, sepertinya tidak ada yang perlu permasalahkannya.

Sebagai contoh mural di Pasuruan Jawa Timur yang berbunyi “Dipaksa Sehat di Negara yang Sait” atau mural di  mural Jalan Aria Wangsakara, Tigaraksa, Kabupaten Tangerang yang berbunyi : “Tuhan Aku Lapar !!”, apa yang salah dengan bunyi mural ini sehingga harus dihapus dan dipermasalahkannya ?.

Termasuk mural di  Batuceper Tangerang yang memuat gambar  mirip presiden Jokowi dengan tulisan 404 Not Found, rasanya biasa biasa saja sehingga aparat tidak perlu begitu sigap mengusutnya dengan alasan lambang negara pada hal sebenarnya bukan lambang negara.  Karena pada hakekatnya presiden atau kepala negara itu adalah pelayan rakyat yang harus siap sedia dikoreksi dan dikritik kinerjanya. Rakyat yang mempunyai kedaulatan memiliki hak untuk mengoreksi pemimpinnya. Lalu apa yang salah dengan itu semua ?, bukankah ada kata pepatah yang menyatakan  : “ raja alim raja disembah, raja lalim raja disanggah ?”, nah !.

 

(Editor\Warta Wartawati)

Share:




Berita Terkait

Komentar