Penyekatan PPKM, Gerindra Minta Legislator dan Advokat Dikecualikan

Sabtu, 14/08/2021 22:00 WIB
Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Habiburokhman (Bimata)

Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Habiburokhman (Bimata)

Jakarta, law-justice.co - Wakil Ketua Umum Gerindra, Habiburokhman, mengkritisi penyekatan yang dilakukan selama kebijakan PPKM Level 4. Menurutnya, selama kebijakan penyekatan dilakukan, banyak terjadi adu argumentasi masyarakat dengan petugas di lapangan.


Ia mencontohkan kejadian yang dialami anggota DPRD Fraksi PSI, Viani Limardi pada 12 Agustus. Ketika itu, Viani sempat menjadi sorotan lantaran adu mulut dengan petugas penyekatan ganjil genap di Jalan Raya Gatot Subroto, Jakarta Selatan.


Menurut anggota Komisi III DPR itu, seharusnya anggota dewan dikecualikan dalam penyekatan untuk menjalankan tugas. "Penyekatan Anda lihat orang berantem di tiap perbatasan kota karena petugas di bawah. Di level bawah itu membabi buta kaya penyekatan, saya bukannya mendukung teman PSI kemarin, ya. Dia mau mengunjungi konstituen tapi enggak boleh lolos penyekatan, ini kan membabi buta," kata Habiburokhman dalam diskusi Polemik Trijaya, Sabtu (14/8/2021).


"Harusnya kalau pejabat, anggota dewan, memang perlu mobilitas menjalankan tugas konstitusionalnya mengunjungi konstituen atau ke kantor untuk memastikan berjalannya pengawasan terhadap pengendalian COVID-19 ini, itu harus dikecualikan dari penyekatan," lanjutnya.


Habiburokhman juga mengaku banyak menerima keluhan dari para advokat yang tak bisa mendampingi klien saat sidang karena tertahan penyekatan. "Kita lihat banyak keluhan dari teman-teman advokat tiap hari nelepon saya, saya mau dampingi klien bersidang enggak bisa. Padahal dalam melaksanakan profesinya dia bisa mematuhi prokes gitu lho," ucapnya.


Ia pun membandingkan dengan masih masuknya TKA ke Indonesia di tengah pembatasan mobilitas masyarakat. Ia menyebut masuknya TKA bukan merupakan pengecualian, sehingga seharusnya tidak diizinkan. "Saya sendiri melihat regulasi pandemi ini kadang-kadang sangat toleransi di level atas tetapi membabi buta di level penerapan seperti contoh halnya soal 34 TKA asal China dikatakan bisa masuk karena ada pengecualian. Jadi enak banget, ya, kan kalau seperti itu ada pengecualian," kata dia.


"TKA bisa masuk karena mempunyai KITAS. Nah kalau pengecualiannya punya KITAS, itu berarti yang enggak boleh masuk dalam pandangan saya hanya turis, ya enggak? TKA masih bisa masuk bukan pengecualian itu namanya," lanjutnya.


Untuk itu, ia berharap pemerintah dapat membuat kebijakan yang lebih menyerap aspirasi masyarakat, bukan hanya sekadar unsur kedaruratan. "Harus melibatkan semaksimal mungkin aspirasi publik, kaya ya itu penyekatan siapa yang boleh lolos dan tidak, kemudian ibadah ya di tempat ibadah, kita libatkan ketua-ketua pemuka agama untuk merumuskan ibadah seperti apa yang paling pas di masa pandemi," tutupnya.

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar