Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Rangkaian Hasil Uji UU Itu Memunculkan Aroma Rusaknya MK?

Senin, 19/07/2021 08:50 WIB
H.Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Ist)

H.Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Awal bulan ini tersiar berita tidak mengenakkan dari gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Berita itu mengecewakan itu khususnya bagi kalangan buruh, mahasiswa dan elemen bangsa lainnya. Pasalnya MK memutuskan untuk menolak uji materi Undang Undang  (UU)  Cipta kerja yang diajukan oleh kalangan buruh, mahasiswa dan kawan kawannya.

Rangkaian unjukrasa dan penolakan yang disuarakan oleh ribuan buruh, mahasiswa dan elemen bangsa lainnya akhir kandas di tangan MK. Harapan mereka agar supaya UU omnibuslaw cipta kerja klaster ketenagakerjaan  yang dinilai merugikan mereka dibatalkan oleh MK menguap begitu saja.

Pada hal sebelum uji materi dan formil terhadap UU Cipta Kerja itu diputuskan oleh MK, sangar besar harapan mereka untuk supaya dikabulkannya permohonannya. Tapi harapan memang tinggal harapan, pada akhirnya berakhir dengan kecewa.

Keputusan MK  yang menolak uji formil dan materiil UU cipta kerja ini menambah daftar panjang kekecewaan publik terhadap hasil uji UU yang dimajukan ke MK.  Sebelumnya beberapa Undang UU yang dimohonkan pengujiannya ke MK juga berakhir dengan kekecewaan mereka yang mengajukannya.

UU apa sajakah yang akhir akhir ini diajukan pengujiannya ke MK dan berakhir dengan kabar duka bagi pemohonnya ?, Apakah ketidakberpihakan MK terhadap para pemohon uji  materil dan formil suatu UU itu mengindikasikan MK telah masuk angin sehingga diragukan netralitasnya ?, Apa kira kira yang menjadi indikatornya ?

Berakhir Duka

MK yang lahir tanggal 13 Agustus 2003 adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung (MA). Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan di Indonesia

Hal ini mengandung makna bahwa MK adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945.

UUD 1945 memberikan otoritas kepada MK untuk menjadi pengawal konstitusi negara. Mengawal konstitusi berarti menegakkan konstitusi yang sama artinya dengan “menegakkan hukum dan keadilan” di Indonesia.

Oleh karena  UUD 1945 adalah hukum dasar yang melandasi sistem hukum yang berlaku di negara kita. Dalam hal ini MK memiliki kedudukan, kewenangan serta kewajiban konstitusional menjaga atau menjamin terselenggaranya konstitusionalitas hukum di negara kesatuan republik Indonesia.

Dalam rangka menjaga konstitusi, fungsi pengujian undang-undang itu tidak dapat lagi dihindari penerapannya dalam ketatanegaraan Indonesia sesuai ketentuan yang termuat di UUD 1945. Dalam hal ini ada dua jenis gugatan yang diakui MK yaitu uji formil dan uji materiil. Uji formil terkait proses pembuatan UU itu: mekanisme, transparansi, hingga keterlibatan warga di dalamnya. Jika uji formil dikabulkan MK, otomatis UU yang digugat akan batal semuanya.

Sedangkan uji materiil adalah gugatan mengenai pasal-pasal di UU yang dianggap bermasalah dan bertentangan dengan konstitusi negara. Jika uji materiil dikabulkan MK, hanya pasal tertentu di dalam UU yang digugat saja yang akan dibatalkannya.

Dengan demikian MK dibentuk dengan fungsi untuk menjamin tidak akan ada lagi produk hukum yang keluar dari koridor konstitusi sehingga hak-hak konstitusional warga terjaga dan konstitusi itu sendiri terkawal konstitusionalitasnya.

Dengan sendirinya MK harus menjadi lembaga kredibel dan terpercaya untuk  secara konsisten adil mengawal setiap judicial review tanpa ada pengecualiannya. Mengingat MK hadir  untuk memperkokoh benteng peradilan melalui proses judicial review yang dilakukannya.

Sejak berdiri sampai sekarang, MK telah berulangkali melakukan pengujian terhadap Undang Undang yangdimohonkan oleh para pemohonnya. Permohonan itu semakin meningkat akhir akhir ini sebagai akibatnya maraknya kasus revisi UU yang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR sebagai pembuatnya.

Itulah sebabnya tahun 2021 ini disebut sebut sebagai tahun pertaruhan bagi kredibilitas MK setelah sekian lama kehadirannya di negara kita. Sejauh ini ada serangkain hasil uji UU di MK yang berakhir dengan kabar duka bagi pemohonnya itu diantaranya adalah :

1. Undang Undang Mineral dan Batu bara (Minerba)

Sebagaimana diketahui, DPR secara resmi telah mengesahkan RUU Minerba menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/5/2020). Pengesahan UU ini telah memunculkan protes dari beberapa elemen masyarakat diantaranya YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia).

 YLBHI  menganggap DPR telah mengkhianati konstitusi sehubungan dengan pengesahan UU tentang Minerba. "Ini menunjukkan mereka (DPR) pengkhianat masyarakat, pengkhianat tujuan berbangsa yang sudah ada di konstitusi," kata Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI Siti Rahma Mary dalam diskusi "LBH-YLBHI Bedah RUU Cipta Kerja", Rabu (13/5/2020) seperti dikutip media.

Protes juga disampaikan oleh Senator DPD Ali Ridho Azhari yang mengaku pihak DPD tidak dilibatkan dalam pembahasan revisi UU Minerba. Secara kelembagaan ia mengatakan bahwa DPD sudah jelas menolak adanya revisi UU minerba ini “DPD RI jelas menolak UU minerba ini karena pada dasarnya DPD RI sendiri tidak diajak untuk membahas UU Minerba ini," pungkasnya.

Buntut dari pengesahan UU Minerba ini beberapa elemen masyarakat kemudian mengajukan permohonan uji formil dan materiil ke MK. Diantaranya diajukan oleh  perseorangan bernama Kurniawan, kemudian Asosiasi Advokat Konstitusi (AAK) yang mengajukan permohon uji materi terhadap Pasal 35 ayat (1) dan (4) UU Minerba yang dinilai berlawanan dengan nilai desentralisasi serta bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1), (2) dan (5) UUD NRI 1945.

Selain itu gugatan yudicial review juga disampaikan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) serta Gubernur Bangka Belitung, Erzaldi Rosman yang menilai UU Minerba tersebut bersifat sentralistik dan merenggut otonomi daerah sehingga berdampak pada pendapatan daerahnya.

Permohonan uji UU tersebut pada akhirnya ditolak oleh MK. Hakim Konstitusi menilai pokok-pokok permohonan tidak jelas atau kabur substansinya. Menurut hakim MK, kedudukan hukum para pemohon dan pokok permohonan tidak dipertimbangkan,demikian konklusi yang dirilis dalam situs resmi MK, Selasa (29/9/2020).

2. UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)

UU ITE selama dikenal sebagai UU yang paling banyak mengantar orang masuk ke penjara karena ada pasal karet didalammya. UU ITE ini dinilai ampuh untuk membungkam suara suara yang berseberangan dengan penguasa atau orang orang yang tidak disukainya.

Itulah sebabnya UU ITE ini panen gugatan ke MK.Bila kita menilik ke belakang, UU ITE itu sedikitnya pernah digugat 10 kali ke MK namun tidak ada satu pun yang dikabulkan MK.

Sebagaimana dikutip detikcom dari website MK, Jumat (19/2/2021), gugatan UU ITE pertama kali diajukan oleh Narliswandi Piliang alias Iwan Piliang disusul kemudian oleh elemen masyarakat lainnya.Termasuk diantaranya Waketum Partai Gerindra Habiburokhman juga pernah menggugat UU ITE itu ke MK, meskipun kandas pada akhirnya.

MK menegaskan kebebasan berekspresi, berbicara, mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagai perwujudan kedaulatan rakyat di Indonesia adalah berdasarkan prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Hal ini berarti bahwa kebebasan a quo tidak dapat dilaksanakan hanya demi kepentingan dan selera atau hanya milik para blogger, tetapi adalah milik seluruh rakyat Indonesia.

"Oleh karenanya, para blogger di dalam berinteraksi di blog mereka tetap tunduk dan harus menundukkan diri pada prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Dengan kata lain, kebebasan a quo tidak dapat berjalan tanpa menghormati proses demokrasi maupun tanpa mengindahkan aspek keadilan dan penegakan supremasi hukum," ujar MK.

3. UU Pemilu terkait ambang batas perolehan suara bagi pemilihan presiden (parlementary threshold dan presidential threshold).

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) telah mengajukan gugatan ke MK terkait dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu khususnya Pasal 414 Ayat (1) mengenai ambang batas parlemen (parliamentary threshold).

Melalui permohonan ini, Perludem bukan meminta peniadaan ambang batas parlemen, melainkan menyoal besarannya. Ambang batas parlemen merupakan syarat minimal perolehan suara yang harus dipenuhi oleh partai politik untuk mendapatkan kursi legislatif.

Menurut Perludem, penentuan angka ambang batas parlemen itu tidak pernah didasarkan pada basis perhitungan yang transparan dan terbuka. Padahal, sebagai negara yang menerapkan sistem pemilu proporsional di pemilu legislatif, sudah sepatutnya proporsionalitas harus terpenuhi secara baik.

Penentuan besaran ambang batas parlemen mengabaikan prinsip pemilu proporsional dan tiap pemilu cenderung mengalami peningkatan tanpa akuntabilitas metode penentuan yang rasional.

Namun MK menolak permohonan yang diajukan Perludem. Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai bahwa yang berhak mewakili Perludem dalam mengajukan uji materi di MK adalah ketua umum bersama salah seorang pengurus, ketua lain dengan sekretaris umum, atau ketua lain bersama sekretaris lain.

Hal tersebut  sesuai dengan hasil pencermatan Mahkamah terhadap bunyi salah satu pasal Akta Pendirian Yayasan Perludem. Namun demikian, dalam perkara ini, yang mewakili Perludem mengajukan uji materi ialah bendahara dan sekretaris bukan Ketumnya.

Oleh karena itu MK berpendapat bahwa pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan. Maka dengan sendirinya Mahkamah tidak memeprtimbangkan pokok permohonan substansi perkaranya.

Gugatan ke MK juga diajukan oleh  Ekonom senior Rizal Ramli (Pemohon I) dan Abdulrachim Kresno (Pemohon II). Permohonan gugatan itu teregistrasi dengan Nomor 74/PUU-XVIII/2020

Selaku pemohon Rizal Ramli menjelaskan bahwa dirinya hendak mencalonkan diri sebagai presiden dalam Pemilu 2024. Namun keberadaan Pasal 222 UU Pemilu dinilai telah menghambat proses pencalonannya.Namun MK menolak permohonan uji materi UU Pemilu terkait ambang batas perolehan suara bagi pemilihan presiden (presidential threshold) tersebut.

Atas penolakan MK, Rizal Ramli mengaku kecewa dengan putusan MK yang menolak legal standing dirinya terkait gugatan penghapusan ambang batas presiden atau presidential treshold.

“MK lebih mendengarkan suara kekuasaan. MK ketakutan membiarkan kami hadir di pembahasan substansi perkara. Para hakim di MK tidak memiliki bobot intelektual, kedewasaan akademik, dan argumen hukum yang memadai untuk mengalahkan pandangan kami,” kata Rizal seperti dikutip media pada Minggu (17/1/2021).

4. UU KPK Hasil Revisi

Revisi Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau revisi UU KPK resmi disahkan menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna ke-9 DPR Selasa, 17 September 2019.

Pengesahan UU tersebut telah memantik demo besar dimana mana khususnya dilakukan oleh mahasiswa, pegiat anti korupsi dan beberapa elemen masyarakat lainnya. Mereka menentang revisi UU KPK karena dinilai akan melemahkan keberadaan KPK.

Pasca pengesahan UU KPK hasil revisi itu, gugatan formil dan materiil banyak dilayang kan ke MK.Untuk gugatan yang sifatnya materiil, ada sebagian gugatan yang dikabulkan oleh MK terutama yang terkait dengan soal penyadapan yang awalnya harus mendapatkan persetujuan dan dilaporkan ke Dewan Pengawas KPK.

Terkait dengan tindakan penyadapan yang dilakukan KPK tidak boleh dipergunakan tanpa adanya kontrol atau pengawasan meskipun bukan dalam bentuk izin yang berkonotasi ada intervensi dalam penegakan hukum oleh dewan pengawas kepada pimpinan KPK.

"Oleh karena itu Mahkamah MK menyatakan tindakan penyadapan yang dilakukan pimpinan KPK tidak memerlukan izin dari dewan pengawas," kata Aswanto salah seorang hakim MK sebagaimana dikutip oleh media.

Dia melanjutkan, pimpinan KPK cukup memberitahukan kepada dewan pengawas yang mekanismenya akan dipertimbangkan bersama-sama dengan pertimbangan hukum. Hal ini berkaitan dengan izin atas tindakan penggeledahan dan/atau penyitaan oleh KPK pada pertimbangan hukum selanjutnya.

Dikabulkannya sala satu gugatan materill UU revisi KPK ini dinilai hanya kemenangan yang sifatnya hiburan belaka sementara gugatan lainnya terkait dengan materi tetap ditolak oleh MK.

Sementara itu untuk uji formil terhadap UU KPK hasil revisi diajukan oleh banyak kalangan yang terdiri dari pimpinan KPK periode 2015-2019, akademisi, aktivis penggiat anti korupsi, advokat dan elemen bangsa lainnya.Untuk uji formil ini  MK memutuskan untuk menolak seluruhnya permohonan uji formil terhadap revisi UU KPK.

Dari sembilan hakim konstitusi, delapan hakim konstitusi satu suara untuk menolak permohonan uji formil revisi UU KPK, sedangkan satu hakim, yaitu Wahiduddin Adams, memiliki pendapat yang berbeda.

Dalam pertimbangan putusannya, delapan hakim MK mementahkan semua dalil pemohon dan menyatakan bahwa revisi UU KPK sudah sesuai prosedur yang seharusnya. Banyak yang menyayangkan pertimbangan hakim MK karena hakim MK dianggap hanya menilai prosedur di permukaan saja dengan hanya berlandaskan pada keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan presiden tanpa mengkaji lebih mendalam terhadap nilai-nilai yang ada di Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Hakim Wahiduddin juga menyatakan bahwa seluruh tahapan prosedural pembentukan UU secara kasat mata memang telah ditempuh oleh pembentuk UU.Namun, hampir pada setiap tahapan prosedur pembentukan Revisi UU KPK terdapat berbagai persoalan terkait konstitusi dan moral yang serius.

Guru Besar Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Hukum (FH) Universitas Padjajaran, Prof Susi Dwi Harijanti mengaku shock mendegar putusan MK atas uji formil terhadap UU 19/2019. Menurutnya putusan MK tersebut menunjukan matinya keadilan prosedural. Dia menilai pendeknya proses revisi UU 30/2020 di DPR yang dibahas bersama pemerintah pertengahan 2019 lalu, hingga menjadi UU. “Saya selalu mengatakan pentingnya prosedur sebagai ‘jantungnya’ hukum,” ujarnya seperti dikutip media.

5. UU Omnibuslaw Cipta Kerja

Undang-Undang Cipta Kerja atau Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja  adalah undang-undang di Indonesia yang telah disahkan pada tanggal 5 Oktober 2020 oleh DPR RI dan diundangkan pada 2 November 2020 dengan tujuan untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan investasi dari mancanegara.

Pengesahan UU ini ditengah pandemi virus corona telah mendapatkan perlawanan dari para buruh, mahasiswa dan elemen bangsa lainnya. Pasca pengesahan UU Cipta kerja, beberapa elemen masyarakat kemudian mengajukan gugatan  materil ke MK diantaranya oleh Herman Dambea dan  DPP-K-SBSI (Dewan Pimpinan Pusat Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia)

MK  memutuskan menolak dua permohonan uji materi atas UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Kedua permohonan uji materi tersebut dianggap tidak memenuhi syarat dan ketentuan sebagaimana permohonan a quo.

Mahkamah telah menolak perkara pengujian materi pertama Nomor 9/PUU-XIX/2021 oleh Herman Dambea dengan alasan pada sidang panel 25 Mei 2021, hakim panel telah memberikan nasihat berkenaan dengan permohonan pemohon.

Senada dengan perkara yang diajukan Herman Dambea, untuk perkara Nomor 109/PUU-XVIII/2020 yang diajukan oleh Dewan Pimpinan Pusat Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (DPP-K-SBSI) juga ditolak oleh majelis hakim MK.

Dengan dasar alasan, karena Ketua DPP (K)SBSI Prof. Dr. Muchtar Pakpahan selaku pihak yang mengajukan pengujian materi telah meninggal dunia. Walaupun dalam kuasanya turut menyertakan nama Vindra Whindalis selaku Sekretaris Jendral Organisasi, namun setelah dicermati majelis hakim tidak menemukan nama Vindra selaku Sekretaris Jendral malah justru tercantum nama Bambang Hermanto sebagai sekretaris jendral pemohon.

Di samping fakta tersebut, mahkamah juga tidak menemukan alat bukti lain yang dapat membuktikan bahwa memang benar nama Vindra Whindalis merupakan Sekretaris jendral K SBSI periode 2018-2022 sebagaimana yang tercantum dalam permohonan pemohon.

Terlebih berdasarkan ketentuan anggaran dasar K SBSI, posisi Sekretaris Jendral hanya berwenang untuk urusan administrasi internal organisasi. Sehingga menurut Mahkamah posisi pemohon tidak diwakili oleh pihak yang berhak bertindak untuk dan atas nama pemohon selaku organisasi berbadan hukum.

Demikian sekurang kurangnya lima Undang Undang yang dinilai bermasalah kemudian diajukan yucial review ke MK. Namun seperti kita ketahui bersama, hakim MK menolak permohonan tersebut dengan alasan yang menimbulkan tanda tanya.

Ada Campur Tangan  Penguasa?

Ditolaknya uji materil dan formil UU tersebut diatas meskipun mendapatkan perlawanan luas dari masyarakat memang memunculkan suatu tanda tanya. Pada hal hal hukum itu seyogyanya mempertimbangkan aspek sosiologis karena hukum akan diberlakukan pada masyarakat yang menjadi targetnya.

Tetapi nyatanya demo besar dan perlawanan dari mahasiswa, buruh dan elemen bangsa lainnya rupanya dianggap sepi sepi saja oleh jajaran MK. Seolah olah aspirasi mereka tidak perlu dipertimbangkan sebagai bagian dari upaya mencari solusi yang berkeadilan bagi seluruh warga bangsa.

Fenomena tersebut tentunya saja telah memunculkan rasa curiga, ada apakah kiranya ?. Dalam hal ini sekurang kurangnya ada 3 aspek yang perlu dicermati terkait dengan independensi hakim MK dan dugaan adanya intervensi penguasa:

1. Ada Barter Politik ?

Ada indikasi kecenderungan keputusan hakim MK untuk memenangkan kepentingan penguasa karena berkaitan dengan masa jabatan hakim MK.  Sebagai bentuk “terima kasih” para hakim MK karena RUU  tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK sudah disahkan berlakunya. Sebagaimana diketahui dalam UU tersebut  masa jabatan hakim MK diperpanjang selama 15 tahun atau hingga usia 70 tahun.

Sinyalemen tersebut diungkap oleh Mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Maruarar Siahaan yang menilai RUU  tentang perubahan ketiga atas UU  Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK  yang baru saja disahkan merupakan sebuah barter politik.

"Jabatan 15 tahun diberi ke generasi yang sekarang, maka itu adalah suatu barter politik. Kalau baiknya untuk generasi mendatang, bukan sekarang," ujar Maruarar Siahaan dalam diskusi daring "Menguji Revisi UU Mahkamah Konstitusi di Mahkamah Konstitusi", Senin (7/9/20) seperti dikutip republika.

Ia mengkhawatirkan hal itu mempengaruhi independensi para hakim konstitusi yang tengah menjabat yaitu dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai penjaga konstitusi negara.Menurutnya, perpanjangan masa jabatan hakim MK seharusnya dibarengi dengan penguatan penegakan kode etik hakim. Namun, hal itu justru tidak diatur dalam revisi UU MK.

Sementara itu Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menilai pengesahan revisi UU MK hanya akan menjadi hadiah untuk para hakim yang sedang menjabat saat ini.“Revisi ini bisa dibaca hanya untuk menguntungkan hakim-hakim yang sedang menjabat,” kata peneliti PSHK Agil Oktaryal seperti dikutip tempo.co Selasa, 1 September 2020.

Agil menilai revisi UU MK sama sekali tidak menyentuh kebutuhan dasar MK secara kelembagaan, tidak menguatkan kewenangan MK, ataupun sama sekali tidak menata hukum acara di pengadilan konstitusi itu agar lebih baik.

Apalagi ada isu kurang sedap dimana revisi UU MK  dinilai cacat formil karena sejak awal tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan tidak memenuhi syarat carry over, naskah akademik buruk, dan pembahasannya dilakukan secara tertutup dan tidak partisipatif dengan waktu sangat singkat, yakni tiga hari saja.

2. Presiden Minta MK Tolak Permohonan Uji Formil UU Cipta Kerja

Ketika sedang ramai ramainya orang berunjuk rasa menentang UU Cipta Kerja, Presiden pernah menyatakan agar mereka yang merasa tidak puas melakukan langkah konstitusional yaitu menggugat ke MK.

Tapi rupanya arahan untuk mengajukan gugatan itu seperti hanya basa basi belaka. Nyatanya Presiden telah meminta MK supaya menolak uji coba formil UU Cipta kerja. Permintaan tersebut disampaikan melalui Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.

Sebagai perwakilan Presiden, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan keterangan pendahuluan atas permohonan pengujian UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap UUD 1945. Permohonan ditujukan untuk perkara nomor 91, 103, 105 serta 107/PUU-XVIII/2020 dan nomor 4 serta 6/PUU-XIX/2021.

Airlangga mengungkapkan, pembukaan UUD 1945 mengamanatkan tujuan pembentukan negara RI adalah mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata baik material maupun spiritual. Hal itu sejalan dengan tujuan tersebut Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 yang menentukan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan layak bagi kemanusian.

"Oleh karena itu, negara wajib menetapkan kebijakan dan melakukan tindakan untuk memenuhi hak-hak warga negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak," ujar Airlangga seperti dikutip CNBC Indonesia 17/6/21.

Menurut dia, pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak pada prisnsipnya salah satu aspek penting dalam pembangunan nasional yang dilakukan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.

Airlangga juga mengungkapkan pemerintah telah menyerahkan 148 alat bukti yang telah diserahkan ke MK. Oleh karena itu, pemerintah memohon kepada yang mulia majelis hakim MK untuk dapat memberikan putusan sebagai berikut:

  1. Menerima keterangan presiden secara keseluruhan
  2. Menyatakan pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum atau legal standing
  3. Menolak permohonan pengujian formil UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja para pemohon untuk seluruhnya
  4. Menyatakan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Ciptaker tidak bertentangan dengan UUD RI 1945

Keterangan Airlangga diatas sesungguhnya sejalan dengan pernyataan presiden sendiri terkait dengan UU Cipta kerja.Dalam sebuah kesempatan, Presiden Jokowi secara tidak langsung pernah menyatakan meminta dukungan MK dalam pembentukan UU Omnibus Law saat menyampaikan pidatonya di Gedung MK pada Januari 2020 lalu.

"Pada kesempatan ini saya mengharapkan dukungan berbagai pihak untuk bersama-sama dengan pemerintah berada dalam satu visi besar untuk menciptakan hukum yang fleksibel, sederhana, kompetitif dan responsif demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana amanat konstitusi kita," kata Presiden Joko Widodo di gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Selasa (28/1/2020) lalu.

Pernyataan itu disampaikan dalam acara "Penyampaian Laporan Tahunan Mahkamah Konstitusi Tahun 2019" yang dihadiri Ketua MK Anwar Usman beserta para hakim konstitusi; Ketua DPR Puan Maharani, dan Ketua Mahkamah Agung M. Hatta Ali serta para pejabat terkait lainnya.

Dari rangkaian fenomena diatas apakah berlebihan kalau kemudian publik menduga bahwa penguasa telah mengkondisikan agar MK dalam memutuskan perkara mempertimbangkan arahan/ himbauan penguasa sehingga menjadi diragukan netralitasnya ?

3. Komposisi Hakim MK

Pemilihan anggota MK yang berasal dari 3 (tiga) lembaga Negara melambangkan mekanisme representasi dari 3 (tiga) cabang utama kekuasaan negara yang berbeda. Sehingga ada 3 hakim konstitusi yang dipilih oleh presiden, 3 hakim konstitusi dipilih DPR, dan 3 hakim konstitusi dipilih MA.

Meskipun komposisi hakim MK berasal dari tiga cabang utama kekuasaan yang berbeda namun diharapkan posisi hakim tersebut tidak  mengintervensi keberadaan MK karena setelah diangkat menjadi hakim konstitusi maka setiap hakim konstitusi harus menampilkan dirinya sebagai hakim MK yang tidak lagi terpengaruh oleh mekanisme pemilihan dari mana dan oleh siapa diangkatnya.

Oleh karena itu  pemilihan hakim konstitusi oleh masing-masing lembaga negara harus dilaksanakan secara  obyektif dan akuntabel agar hakim yang terlipilih terjaga kredibilitas dan netralitasnya.

Namun hal tersebut nampaknya baru sampai kepada tahapan wacana belaka karena prakteknya bisa berbeda. Mengingat kondisi politik saat ini dimana antara Pemerintah dan DPR termasuk MA suah seiring sejalan sehingga bisa saja main mata dalam pengambilan keputusannya. Prinsip chek and balances tidak berjalan sebagaimana harapan kita bersama.

Berdasarkan kondisi tersebut sangat terbuka peluang adanya gangguan independensi para hakim MK dalam memutuskan suatu perkara khususnya terkait dengan perkara perkara yudisial review yang akhir akhir ini banyak di ajukan ke MK sehubungan dengan maraknya revisi UU yang dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada.

Menurut penilaian Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar  sejau ini belum pernah satupun ada putusan MK yang bisa berhadapan dengan gagah ketika harus berhadapan dengan kepentingan politik penguasa. “Yang terajdi selalu berantakan," ucapnya seperti dikutip kompas, 4/5/21.

Pada akhirnya MK akan mengambil jalan tengah alias jalan yang aman ketika memutuskan perkaranya. Sebagai contoh dalam pengujian UU KPK, MK hanya  memutus putusan materil tertentu dalam pengujian UU KPK..

"Paling MK nanti akan ngambil jalan tengah, jadi saya bilang jangan pernah membayangkan MK akan berani memutus putusan formil, paling putusan meteril dan itu dipilih nanti mana yang tidak menyakiti secara politik," katanya.

Perkiraan dari Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar  ini terbukti benar adanya karena belakangan kita ketahui bersama, dalam hal uji materi UU KPK, MK hanya mengabulkan soal penyadapan yang dinilai hanya keputusan yang sifatnya menghibur pemohonnya.

Dari rangkaian fenomena sebagaimana disebut diatas apakah benar eksisten MK sendiri sebenarnya sudah terancam rusak karena adanya indikasi campur dari tangan penguasa ? Apakah nasib MK sama dengan KPK yang sudah mati suri akibat direvisi Undang Undangnya ?

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar