RUU Otsus Papua Dinilai Perkuat Wewenang Pemerintah Pusat

Kamis, 15/07/2021 15:01 WIB
Aksi Mahasiswa Papua Demo berlangsung di depan Patung Kuda, Jakarta pada Sabtu (19/12). Dalam aksinya para mahasiswa Papua menyatakan tiga tuntutan diantaranya yakni penolakan operasi Blok Wabu bekas PT Freeport Indonesia, penolakan perpanjangan otonomi khusus Papua yang berakhir 2021. Aksi akhirnya membubarkan diri dengan tertib. Robinsar Nainggolan

Aksi Mahasiswa Papua Demo berlangsung di depan Patung Kuda, Jakarta pada Sabtu (19/12). Dalam aksinya para mahasiswa Papua menyatakan tiga tuntutan diantaranya yakni penolakan operasi Blok Wabu bekas PT Freeport Indonesia, penolakan perpanjangan otonomi khusus Papua yang berakhir 2021. Aksi akhirnya membubarkan diri dengan tertib. Robinsar Nainggolan

law-justice.co -
Rancangan Undang-undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Pansus RUU Otsus) Papua akan segera disahkan oleh DPR RI. Amnesty International Indonesia menilai, ada beberapa substansi yang bermaslah karena semakin memperkuat wewenang pemerintah pusat di Papua.

Pansus RUU Otsus Papua sudah menyetujui untuk mengesahkan menjadi Undang-undang baru. Semua fraksi di komite I DPD RI telah menyetujuan 143 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, pembahasan RUU Otsus Papua belum melibatkan masyarakat Papua sehingga hasilnya pun tidak merepresentasikan kepentingan masyarakat Papua dan Papua Barat. Dia meminta pengesahan RUU Otsus Papua sebaiknya ditunda.

“Substansi dalam naskah final RUU Otsus juga bermasalah. Pasal 76 jelas melanggar undang-undang sebelumnya, melemahkan wewenang Majelis Rakyat Papua sebagai representasi kultural orang asli Papua dan memperkuat wewenang pemerintah pusat di Papua, termasuk melalui pembentukan badan khusus Otsus yang diketuai Wapres. Ke depan, jaminan perlindungan hak-hak orang asli Papua berpotensi semakin terancam,” kata Usman dalam pernyataan resmi pada Kamis (15/7/2021).

UU Otsus Papua pertama kali disahkan pada tahun 2001 sebagai tanggapan atas seruan untuk penentuan nasib sendiri Papua yang menguat setelah jatuhnya rezim Orde Baru. Undang-undang itu dimaksudkan untuk memberi orang Papua lebih banyak ruang untuk mengatur diri mereka sendiri sementara masih menjadi bagian dari Indonesia. Salah satu fokus utama dari undang-undang tersebut adalah tentang perlindungan hak-hak orang asli Papua, yakni masyarakat adat. Istilah “masyarakat adat” dan “masyarakat hukum adat” muncul 62 kali dalam teks undang-undang tersebut.

Amnesty International Indonesia menilai, dalam praktiknya perlindungan-perlindungan itu tidak berjalan. Pengelolaan sumber daya alam seringkali diabaikan oleh peraturan yang bertentangan. Hal ini dapat dilihat dengan berlanjutnya deforestasi di wilayah tersebut. Menurut data Forest Watch Indonesia, antara tahun 2000 dan 2009, laju deforestasi di Papua sekitar 60.300 hektar per tahun. Antara tahun 2013 dan 2017, angka ini meningkat lebih dari tiga kali lipat menjadi 189.300 hektar per tahun.

Implementasi undang-undang yang tidak konsisten telah mengakibatkan ketidakpuasan yang meluas terhadap otonomi khusus, yang menyebabkan sejumlah protes di Papua dan daerah lain merebak di Indonesia selama setahun terakhir.

"Amnesty menyesalkan bahwa protes-protes ini seringkali ditanggapi dengan kekerasan dan penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat keamanan Indonesia. Amnesty mendesak agar para pelaku diproses hukum sesuai standar peradilan yang adil," ujar Usman.

Dalam demonstrasi yang baru terjadi pada tanggal 14 Juli 2021 di Universitas Cendrawasih, Jayapura, ada setidaknya empat mahasiswa yang terluka setelah terjadi bentrokan dengan aparat keamanan. Setidaknya 23 mahasiswa lainnya ditangkap. Pada pagi 15 Juli, pengunjuk rasa yang melakukan demonstrasi di depan gedung DPR RI dibubarkan oleh aparat, dan setidaknya 40 orang dari massa aksi ditangkap dan dibawa ke kantor Polda Metro Jaya.

Sebelumnya, dalam aksi unjuk rasa lainnya di Universitas Cendrawasih pada September 2020, dua pengunjuk rasa diduga terluka akibat pukulan petugas polisi di bagian belakang kepala dan dada. Dalam demonstrasi lain di Kendari, Sulawesi Tenggara, polisi menggunakan helikopter yang terbang rendah untuk memaksa pengunjuk rasa membubarkan diri.

Bahkan diskusi publik tentang otonomi khusus disambut dengan represi. Ketika Majelis Rakyat Papua (MRP), lembaga negara resmi yang dibentuk oleh undang-undang otonomi khusus, berusaha mengadakan pertemuan publik tentang implementasi otonomi khusus di Merauke pada November 2020, dua anggota MRP dan stafnya ditangkap atas tuduhan makar. Mereka akhirnya dibebaskan tanpa dituntut.

“Pemerintah Indonesia harus memastikan bahwa masyarakat adat Papua diberikan keterlibatan yang berarti dalam undang-undang otonomi khusus,” kata Usman.

Pasal 25 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) mewajibkan negara agar membuka partisipasi publik, menjamin hak masing-masing warga negaranya untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan atas suatu aturan, langsung maupun melalui wakil yang dipilih. Paragraf 5 Komentar Umum ICCPR Nomor 25 Tahun 1996 lebih lanjut menjelaskan ketentuan ini dengan memperluas partisipasi publik ke ranah pembuatan dan implementasi kebijakan di tingkat internasional, nasional, dan lokal.

“Ini hanya bisa terjadi jika pemerintah menjunjung tinggi hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai untuk semua orang Papua dan berhenti menggunakan pasal makar untuk mengadili pengunjuk rasa damai," imbuh Usman.

(Januardi Husin\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar