Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

Uang Banyak, SiLPA Rp388 T, Tetapi Tagihan RS Belum Dibayar: Ada Apa?

Jum'at, 02/07/2021 08:51 WIB
Ilustrasi Penanganan Corona. (CNNIndonesia)

Ilustrasi Penanganan Corona. (CNNIndonesia)

Jakarta, law-justice.co - Kasus positif baru covid-19 melonjak tajam. Lebih parah dari tahun lalu. Puncak kasus positif baru sebelumnya 14.518 (30 Januari 2021). Sekarang sudah tembus 20.000. Kasus baru covid-19 cetak rekor terus. Rekor terbaru 24.836, hari ini, 1 Juli 2021. Bukan tidak mungkin, rekor ini masih bisa naik.

Karena mobilitas masyarakat masih cukup tinggi. Efektivitas PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) Darurat yang akan diberlakukan 3 Juli 2021 dalam memutus mata rantai penularan masih diragukan.

Dalam kondisi lonjakan kasus covid seperti ini, kebutuhan dana operasional Rumah Sakit (RS) pasti semakin besar. Karena harus menanggung seluruh biaya perawatan pasien terlebih dahulu. Sebelum dapat penggantian biaya dari pemerintah.

Masalahnya, tagihan penggantian biaya tersebut tidak segera dibayar. Bahkan makan waktu sangat lama sehingga terjadi tunggakan. Menurut berita, jumlah tunggakan tagihan tahun lalu masih tersisa sangat besar. Capai Rp 22 triliun, per Juni 2021.

Bahkan ada salah satu RS di Kota Bekasi terancam bangkrut, akibat tagihannya belum dibayar. Dan mungkin banyak RS yang bernasib sama. Terancam bangkrut.

Pertanyaannya, kenapa tunggakan tagihan RS sampai menumpuk begitu besar? Kalau alasannya masih diperiksa BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan), sepertinya tidak masuk akal. Alasan yang dibuat-buat.

Karena pengawas (BPKP) bukan berarti pemberi persetujuan akhir. Kalau setiap pembayaran harus diperiksa dan disetujui terlebih dahulu oleh BPKP, maka semua proyek pemerintah tidak ada yang jalan. Stagnan.

Semua proyek infrastruktur akan macet. Tetapi, kenapa proyek infrastruktur lancar-lancar saja? Kasihan BPKP dijadikan kambing hitam, menghambat pembayaran tunggakan RS.

Jadi apa sebabnya? Banyak yang mencurigai pemerintah tidak ada uang. Hal ini juga tidak mungkin. Karena sampai akhir 2020, pemerintah mempunyai Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp388,1 triliun. SAL adalah kelebihan tarik utang di atas jumlah yang dibutuhkan.

Istilah SAL ini memang membingungkan. Apa arti “Anggaran Lebih”? Seolah-olah ada surplus anggaran? Padahal SAL dalam konteks ini adalah kelebihan tarik utang dari yang dibutuhkan untuk menutupi defisit anggaran. Lebih tepat dinamakan “Saldo Kelebihan Utang” atau “Saldo Utang Lebih (SUL)”.

Kembali ke SAL. Pemerintah ada uang Rp388,1 triliun per akhir Desember 2020. Tetapi, banyak pihak malah curiga uangnya sudah tidak ada. Sudah menghilang entah ke mana.

Karena, kalau ada, kenapa tidak bayar tunggakan tagihan RS yang sangat dibutuhkan ini? Kecurigaan seperti ini pertanda kepercayaan masyarakat kepada pemerintah sudah sampai titik nadir.

Namun, tentu saja tidak mudah “menghilangkan” uang sebegitu besar. Berdasarkan laporan keuangan pemerintah pusat tahun 2020 yang sudah di-audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), pemerintah memang mempunyai saldo uang cukup besar. Disimpan di Bank Indonesia dan Bank Umum, serta dalam bentuk kas dan setara kas di Kementerian dan Lembaga. Totalnya Rp256,9 triliun.

Perinciannya sebagai berikut. Saldo di Rekening Pemerintah di Bank Indonesia dan Bank Umum mencapai Rp198,51 triliun, dalam rekening rupiah Rp165,36 triliun dan rekening valuta asing Rp33,15 triliun. Dari jumlah rekening rupiah tersebut, saldo di rekening khusus SAL hanya Rp69,1 triliun?

Rekening Pemerintah adalah Rekening Bendahara Umum Negara, artinya di bawah penguasaan Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara.

DI samping itu, ada investasi jangka pendek Rp81 triliun, terdiri dari deposito Rp66,75 triliun dan lainnya Rp14,25 triliun. Deposito ini ditempatkan di 28 bank. Katanya untuk membantu likuiditas bank-bank terseut agar dapat menyalurkan kredit. Untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional.

Penempatan deposito ini sangat aneh. Pertama, menurut data Bank Indonesia, simpanan dana pihak ketiga tahun 2020 naik. Artinya sektor pebankan mempunyai kelebihan likuiditas.

Kedua, penyaluran kredit ternyata turun. Jadi, untuk apa deposito tersebut? Ketiga, penempatan deposito ini menunjukkan bantuan likuiditas ke perbankan, yang ternyata tidak efektif, lebih penting dari pembayaran tagihan RS?

Pemerintah seharusnya paham, penundaan pembayaran tagihan RS, apalagi dalam jumlah besar, mengakibatkan pelayanan RS menjadi tidak maksimal, dan bisa berujung fatal.

Dalam hal ini pemerintah bisa dituding dengan sengaja melakukan kejahatan kemanusiaan. Karena menunda pembayaran yang berakibat fatal bagi pelayanan kesehatan. Bukankah pemerintah mempunyai standar prosedur (SOP) pembayaran (ke RS).

Terakhir, mohon penjelasan Kemenkeu dan BPK kenapa ada selisih antara saldo (seluruh) uang pemerintah dengan jumlah SAL (atau SUL)? Uang pemerintah di “Kas dan setara kas” hanya Rp256,9 triliun dan “investasi (jangka pendek)” Rp81 triliun. Sedangkan SAL Rp 388,1 triliun. Sehingga ada kekurangan Rp50,2 triliun?

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar