Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Menyaksikan Parade Ketidakadilan Penegakan Hukum Kasus Habib Rizieq

Selasa, 22/06/2021 06:07 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond J Mahesa (Ist)

Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond J Mahesa (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Hari Kamis, 24 Juni 2021 ini, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur rencananya akan menggelar sidang putusan majelis hakim atau vonis terkait kasus tes usap di RS Ummi Bogor yang menempatkan Habib Riziek Shihab (HRS) sebagai terdakwanya. Pembacaan vonis ini diperkirakan akan dihadiri oleh ribuan orang pendukungnya baik dari dalam negeri maupun dari mancanegara.

Vonis yang akan dijatuhkan kepada HRS akan melengkapi vonis sebelumnya yang sudah dijatuhkan kepadanya terkait dengan kasus kerumunan Megamendung Bogor dan Petamburan Jakarta.

Untuk kasus kerumunan di Megamendung, HRS divonis denda Rp 20 juta  sementara dalam kasus kerumunan di Petamburan ia diganjar dengan hukuman 8 bulan penjara. Dengan vonis 8 bulan penjara, HRS diperkirakan bisa bebas pada bulan Juli nanti  karena hukuman yang dijatuhkan padanya akan dipotong masa tahanan yang telah dijalaninya.

Sepulang dari Saudi Arabia ditengah pandemi virus corona, HRS memang  harus berhadapan dengan masalah hukum yang menjeratnya. Kasus-kasus yang dituduhkan kepadanya sepertinya akan datang silih berganti menghampirinya.

Kasus-kasus yang menjerat HRS dinilai banyak pihak mengandung aroma ketidakadilan dan terkesan kental nuansa politisinya. Seperti apa  aroma ketidakadilan yang mewarnai perjalanan penegakan hukum atas kasus kasus yang menjeratnya ?. Apakah dengan adany aparade ketidakadilan itu bisa disebut pengadilan kasus yang menimpa HRS adalah peradilan sesat  yang seyogyanya tidak boleh ada ?. Bagaimana seharusnya kita bersikap sebagai warga bangsa ?

Aroma Ketidakadilan

Selama perjalanan penegakan hukum yang menimpa HRS kita telah disuguhi secara gamblang  rangkaian proses pengadilan yang jauh dari nilai-nilai keadilan yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara tanpa ada kecualinya.

Rangkaian ketidakadilan itu dapat di rangkum melalui penelusuran yang terekam melalui pemberitaan baik lewat media elektronik maupun melalui sosial media. Aroma ketidakadilan itu diantaranya:

Pertama, diskriminasi  dalam penerapan hukum pada pelanggar protokol kesehatan.  Sebagaimana  diketahui, terjadinya kerumunan massa menjadi salah satu tuduhan yang dialamatkan kepada  HRS saat menggelar acara  baik di Megamendung Bogor maupun di Petamburan Jakarta. 

Disinilah kemudian kita melihat adanya ketidakadilan dalam penerapan penegakan hukum pelanggaran protokol kesehatan (Prokes) yang seharusnya berlaku untuk semua yang melanggarnya.Karena kalau kerumunan  massa di saat pandemi virus corona  dianggap sebagai pelanggaran hukum maka mengapa fakta-fakta kerumunan yang begitu banyak, termasuk yang melibatkan penguasa, tidak dibawa ke jalur hukum juga.

Ada ribuan kerumunan dengan ribuan pelanggaran Prokes  di Tanah Air sejak awal pandemi hingga kini, bahkan banyak dilakukan oleh tokoh nasional, mulai dari artis hingga pejabat negara  tidak terkecuali Menteri dan Presiden Indonesia.

Paling tidak  ada 5 kasus kerumunan yang tidak mendapat sanksi dan tindak lanjut dari polisi dan kejaksaan yang seharusnya mengusutnya. Sebagai contoh kerumunan Anak dan menantu Jokowi saat pilkada 2020 di Solo dan Medan telah melakukan belasan kali pelanggaran Prokes, tapi tidak diproses hukum sebagaimana mestinya. 

Ada juga kerumunan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)  bersama artis Raffi Ahmad yang menggelar kerumunan usai menghadiri pesta mewah ulang tahun pengusaha dan pembalap, Sean Gelael pada tanggal 13 Januari 2021 di Jakarta.

Selanjutnya pada tanggal 23 Februari 2021, Presiden Jokowi menggelar kerumunan ribuan massa tanpa Prokes di Maumere, Nusa Tenggara Timur  bahkan dibarengi dengan atraksi melempar bingkisan yang sudah direncanakan dan disiapkan sebelumnya.

Termasuk kejadian  Kongres Luar Biasa Partai Demokrat di Medan Sumatera Utara. Aparat penegak hukum seperti tak sudi dan tak berdaya untuk membubarkan acara yang secara terang-terangan melanggar Prokes ditengah pandemi virus corona. 

Pelanggaran Prokes diduga  juga dilakukan oleh Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa ketika memperingati hari ulang tahunnya di Surabaya. Kerumunan juga terjadi pada pernikahan artis Youtuber, Halilintar dengan Aurel Hermansyah yang dihadairi oleh Kepala negara.Dalam kaitannya ini harusnya  hukum diberlakukan sama kepada mereka. 

Anehnya pihak Kepolisian dan Kejaksaan terkesan menutup mata dan membiarkan berbagai kerumunan yang dengan sengaja melanggar prokes, tanpa merasa bersalah apalagi meminta maaf, bahkan dilakukan secara berulang kali  pula ?.Disinilah aroma diskriminasi itu begitu terasa karena penegakan hukum hanya menyasar pihak tertentu saja dalam hal ini HRS dan komunitasnya.

Kedua, Penjatuhan sanksi hukum terhadap HRS dalam kasus kerumunan Megamendung  dan Petamburan dinilai mengada-ada. Sejauh ini pelanggaran terhadap Prokes hanya dikenakan sanksi administratif dan sosial sebagai upaya penjeraan bagi pelakunya. Sehingga sanksi yang sifatnya pidana badan  sebagai ultimum remedium tidak perlu ada. Tetapi sanksi pidana baik berupa kurungan badan maupun denda ternyata diterapkan pada seorang HRS dan kelompoknya.

Sudah barang tentu penjatuhan hukuman berupa hukuman badan dan hukuman denda kepada HRS  dalam hal ini dinilai  sangat tidak adil dan terkesan mengada-ada. Padahal hukum itu esensinya adalah Keadilan untuk semua. Apalagi Indonesia sudah menegaskan diri sebagai negara hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945, yang salah satu aspeknya adalah equality before the law (persamaan di hadapan hukum) tanpa ada pengecualiannya. 

Dalam kasus ini sebenarnya majelis hakim sendiri  mengakui adanya diskriminasi  dalam kasus ini, yang bisa diartikan sebagai adanya ketidakadilan hukum, tetapi tetap saja hakim menjatuhkan sanksi hukum pidana. Dalam konteks ini ada pengamat yang menyatakan bahwa hukuman badan dan denda terpaksa dijatuhkan  kepada HRS oleh hakim karena penguasa tidak ingin kehilangan muka.

Ketiga, pelanggaran kerumunan HRS di Petamburan dan Megamendung  seyogyanya tidak bisa diproses untuk kedua kalinya. Dalam hal ini guru besar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Mudzakir menegaskan bahwa dakwaan atas pelanggaran kerumunan Habib Rizieq Shihab (HRS) di Petamburan dan Megamendung tidak bisa diproses kembali perkaranya. Hal itu, menurut dia, karena melanggar ketentuan dari Pasal 76 KUHPidana.

Pasal 76 KUHPidana menyatakan bahwa seseorang tidak bisa diadili untuk yang kedua kalinya dalam kasus yang sama. Dalam istilah hukum pidana disebut ne bis in idem (penegak hukum dilarang mengadili seseorang untuk kasus yang sama).

Tetapi nyatanya untuk kasus  HRS tetap saja diadili pada hal sebelumnya untuk kasus yan g menjeratnya , ia sudah dikenakan denda administrasi yaitu membayar uang sejumlah Rp. 50 juta. Tapi mengapa hakim dalam hal ini masih memvonis 8 bulan penjara ? Artinya, Habib Rizieq dihukum dua kali atas perbuatan yang sama, sesuatu yang jelas melanggar kaidah hukum tentunya.

Serupa dengan pelanggaran itu, kata Mudzakir, Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim) seharusnya juga tidak bisa melakukan sidang terhap HRS. Menurut Mudzakir seperti dikutip republika.co.id, hal itu melanggar kompetensi relatif pengadilan yang hanya memiliki wewenang mengadili suatu perkara sesuai wilayah hukumnya. "Iya nggak bisa, itu locus delicti. Kalau perkara yang di Petamburan seharusnya sidang di PN Jakpus, kalau yang di Megamendung harusnya PN Bogor," ujar dia.

Keempat, HRS terburu buru ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan tersangka terhadap HRS serta lima orang pengikutnya termasuk Ketua Umum FPI KH. Shobri Lubis dinilai sangat terburu buru seolah olah ada sesuatu yang ditargetnya. Penetapan status tersangka di tengah tuntutan banyak pihak agar dibentuk Komisi Pencari Fakta Independen atas tewasnya enam orang anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) di area jalan tol Jakarta Cikampek Kilometer 50 banyak mengundang tanda tanya.

Penetapan status tersangka sebelum pemeriksaan pribadi HRS dan masih dalam tenggang waktu pemanggilan terkesan sangat aneh  dimana HRS dkk dituduh  melanggar Pasal 160 KUHP Jo Pasal 216 KUHP delik penghasutan melakukan perbuatan pidana. Padahal Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengubah frasa penghasutan dari delik formil menjadi delik materil sehingga  harus ada perbuatan pidana ikutannya. Harus nyata-nyata perbuatan perbuatannya dan bukan hanyasekadar  dugaan dan tuduhan semata. 

Awalnya polisi menyatakan berhubungan dengan Pasal 93 UU tentang Kekarantinaan Kesehatan yaitu terkait dengan  kerumunan saat pernikahan puterinya. Pada hal  untuk kasus ini HRS sendiri sudah membayar “denda kerumunan” sebesar Rp. 50 juta.

Kelima, terbunuhnya 6 laskar FPI yang mengawal HRS tanpa kejelasan penyelesaiannya. Sebagaimana diketahui  tiga kasus yang dituduhkan ke HRS adalah kasus pelanggaran Prokes tetapi persoalan kasus Prokes ini sampai merenggut kematian seseorang/6 anggota laskar FPI yang diduga dibunuh oleh aparat kepolisian yang semestinya melindungi dan mengayomi sampai di adili kasusnya.

Pertanyaannya disini adalah haruskah kasus pelanggaran Prokes yang dilakukan oleh HRS harus dibayar mahal dengan tewasnya 6 laskar FPI tanpa kejelasan penyelesaian kasusnya ?. Kalau memang terjadi baku tembak mengapa kasusnya tidak diadili sehingga jelas siapa pelakunya ?

Keenam, Tuntutan hukum yang tidak masuk akal sehingga sangat kentara nuansa balas dedamnya. Seperti diketahui  dalam perkara swab test RS Ummi Bogor pihak Jaksa telah menuntut  HRS  hukuman enam tahun penjara dan menantunya, Habib Muhammad Hanif Alatas, dituntut pidana dua tahun penjara.

Tuntutan ini dibacakan Jaksa dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, Kamis (3/6/2021). Tuntutan tidak masuk akal ini telah mengundang reaksi banyak pihak termasuk KH Muhyiddin Junaidi Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI ( Majelis Ulama Indonesia).

Muhyidin mengaku kecewa dengan tuntutan Jaks karena menurutnya kasus yang dituduhkan kepada HRS sebetulnya telah dilakukan oleh banyak orang Indonesia yang pernah diswab. “Usai diswab seseorang masih bisa merasakan bahwa ia sehat karena belum ada tanda-tanda ke arah positif,” ujarnya.

Ia menambahkan, bahwa fakta di lapangan menunjukan bahwa hasil test swab tak bisa diketahui secara instan dan butuh waktu. “Jadi sangat wajar jika ia (HRS) merespon jawaban saat ditanya orang jawabannya ‘saya sehat’,” kata Kiai Muhyiddin.

Ia menilai bahwa HRS tidak menutupi hasil swap atau merekayasanya dengan berbagai alasan. “Jadi sangat aneh tuntutan itu dialamatkan kepada HRS.Kebohongan yang dijadikan sebagai alasan utama dengan sendirinya gugur,” jelas Kiai Muhyiddin.

“Kecuali jika ia sudah tahu hasilnya kemudian menyembunyikannya ke publik. Tetapi itu mustahil dilakukan seorang ulama sekelas HRS karena ia paham betul Maqosid Syariah dalam Islam,” tambahnya.

Ketua Bidang Luar Negeri dan Hubungan Internasional PP Muhammadiyah itu mengatakan, di dunia international belum ada undang-undang tentang sanksi seperti itu. “Sanksi pelaku biasanya berupa denda saja,” jelasnya.

Ketujuh, Proses Persidangan HRS  dipersulit dengan berbagai dalih dan cara. Keinginan HRS yang telah ditetapkan sebagai terdaksa untuk hadir dalam sidang secara offline membutuhkan perjuangan kerasdan itupun tidak dikabulkannya.

Padahal kehadiran Terdakwa secara langsung dalam sebuah sidang yang terbuka untuk umum adalah bagian dari ketentuan yang mengikat (imperatif) dalam hukum Acara. Hal mana, diatur secara limitatif dalam ketentuan pasal 146 dan 154 KUHAPidana.

Sehingga Majelis Hakim tak boleh menghalangi hak Terdakwa untuk hadir secara langsung, atau memilih tidak ikut sidang, sebagaimana hakim dan jaksa juga menetapkan sepihak pelaksanaan sidang online tanpa persetujuan Terdakwa dan/atau Penasehat Hukumnya.

Dalam kaitan ini Hakim dan Jaksa tidak bisa menjadikan pandemi corona  untuk menghalangi hak terdakwa yang meminta diperiksa dan/atau dihadirkan secara langsung di pengadilan. Mengingat, dalam ketentuan pasal 2 Perma No. 4 tahun 2020 sebagai pedoman beracara pada situasi pandemi, Kehadiran Terdakwa pada asalnya mengikat, kecuali Terdakwa tidak mau diadili secara langsung atau ingin online saja.

Dalam peristiwa ini nampaknya pandemi dijadikan `sarana” untuk menzalimi HRS  yang sedang berhadapan dengan hukum, dengan membelenggu Terdakwa sehingga tidak bisa dihadirkan langsung di persidangan. Adalah menjadi Hak hukum Terdakwa wajib diberikan, kecuali Terdakwa tidak mau menggunakannya.

Pada hal jika ada kekhawatiran terkait kesehatan terdakwa, cukuplah diterapkan protokol kesehatan seperti menjaga jarak dan menggunakan masker. Ini peradilan macam apa, ada hakim, jaksa, lawyer, dan pengunjung berjubel di pengadilan, tapi mengapa  Terdakwa yang punya urusan tidak dihadirkannya ?

Lucunya dalam kasus ini  hakim menganggap Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2020 lebih tinggi dari undang-undang (UU). Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan, terdakwa wajib dihadirkan dalam persidangan. Sedangkan Perma mengatakan boleh tak menghadirkan. Tapi dalam hal ini Hakim malah memilih Perma yang derajat kekuatannya jauh di bawah UU (KUHAPidana).

Ke delapan, Pengacara HRS tidak diperbolehkan memasuki ruangan sidang sehingga menimbulkan tanda tanya. Pada hal KUHAP sendiri memberikan hak kepada seorang Terdakwa yang didakwa untuk didampingi Penasihat Hukumnya. KUHAP pada dasarnya menjamin hak tersangka/terdakwa untuk didampingi penasihat hukum/advokat dalam setiap tingkat pemeriksaan perkaranya. 

Hal  tersebut  antara lain telah diatur dalam beberapa pasal  Pasal 54 57 (1) ,55 KUHAPidana. Sesungguhnya Jaksa dan Hakim yang  yang menghalang halangi hak terdakwa untuk didampingi penasehatnya hukum sebenarnya dapat diadukan ke Mahkamah Agung (MA).

Ke Sembilan, Perkara HRS adalah perkara  kecil yang dibesar besarkan. Kasus yang menimpa HRS sebenarnya dalah kasus bias asaja. Kasus kerumunan walimahan, pengajian dan test Swab yang didakwakan sebenarnya pidana samar dan tergolong sederhana, akan tetapi diolah menjadi pidana yang terkesan raksasa. HRS seolah olah dianggap sebagai musuh negara yang berbahaya. Ratusan aparat dikerahkan untuk mengaman selama proses persidangannya.

Pada hal yang melakukan kejahatan di Indonesia ini adalah mereka yang rakus, sadis, bengis dalam menggarong  kekayaan negara.  Lalu siapakah mereka  ? Mereka adalah yang menilap dana corona  sampai triliunan rupiah jumlahnya.

Mereka pula yang melakukan korupsi lobster, Jiwasraya, Asabri, e-KTP, , BLBI, Century, Bumiputra, dan Pertamina..Mereka yang membangkrutkan maskapai Garuda Indonesia, PLN, dan BUMN BUMN lainnya. Mereka yang melindungi  Harun Masiku dan Tuan Joko Tjandra (JK)

Mereka yang sedang menumpuk kakayaan secara ilegal alias menghalalkan segala cara.  Mereka pula yang merusak lingkungan dan hutan di mana-mana. Semua itu bukanlah HRS pelakunya.Tapi terkesan orang yang satu ini dikejar kejar permasalahan hukumnya

Bahkan  Jaksa Penutut Umum (JPU)  sampai  meminta penghapusan atau pencabutan hak  politik atas diri HRS karena kasusnya. Meski belum sampai pada tahap penuntutan akan tetapi dakwaan ini berlebihan. Sepertinya ada target atau harapan HRS bukan saja dihukum pidana tetapi juga hukuman tambahan berupa pencabutan hak-hak politiknya.

Pencabutan hak politik baik hak dipilih atau hak untuk menjadi pejabat publik sebagai hukuman tambahan jauh lebih layak bagi para koruptor  penggarong uang rakyat serta para penghianat negara yang menjual kedaulatan negara, bukan untuk yang mengadakan acara walimahan, pengajian, atau sekedar test Swab yang terkesan dicari-cari kesalahannya.

Peradilan Sesat ?

Dengan menyaksikan parade ketidakadilan yang mewarnai perjalanan kasus HRS sebagaimana telah dikemukakan diatas, tidak berlebihan kiranya kalau telah terjadi peradilan sesat terhadapnya. Istilah peradilan sesat sendiri sebenarnya bukannya diksi baru tapi sudah lama dikenal dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Sebuah istilah untuk menyebut kesalahan dalam vonis maupun proses peradilannya. Terutama kesalahan yang membahayakan atau merugikan seorang terdakwa.

Peradilan sesat atau rechterlijke dwaling atau miscarriage of justice harusnya dicegah atau dibedakan, jangan sampai terjadi di Indonesia. Karena peradilan sesat akan menggagalkan maksud dan tujuan peradilan  itu sendiri  yang menurut Gustav Radburg disamping untuk kepastian juga keadilan dan manfaat hukum sebagai tujuan utama.

Dalam peradilan sesat yang tidak sehat seperti dikemukakan diatas , sudah dipastikan  proses peradilan tak akan tercapai tujuannya. Masyarakat justru disuguhi pertunjukan hukum di panggung suka-suka dan penindasan yang diperlihatkan oleh mereka yang mempunyai kuasa. Pengadilan yang bukan untuk mengadili, tetapi sarana untuk  menyingkirkan pihak-pihak yang dirasa mengganggu kekuasaannya.

Selain indikasi telah terjadiny aperadilan sesat, penegakan hukum kasus HRS juga kental sekali nuansa politiknya. Jika memang  persoalan yang terjadi adalah politik, sebagaimana yang dikesankan selama ini, maka semangat untuk menghukum dengan “segala cara” itu justru melanggar prinsip dan asas negara hukum yang menjadi acuan kita bersama dalam berbangsa dan bernegara.

Dalam kaitan ini  HRS sebagai bagian dari tokoh publik telah ditempatkan sebagai lawan politik penguasa. Sehingga segala cara haris dilakukan untuk “menghabisinya”. Jika memang demikian kondisinya maka melencenglah arah kehidupan sehat dalam demokrasi dalam berbangsa dan bernegara.

Untuk itu, sebaiknya segera kembalikan persoalan hukum ke jalur hukum yang sebenarnya. Hukum yang lebih humanis sesuai dengan prinsip negara yang bermoral berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Karena hukum yang dianut bangsa Indonesia harusnya menjadi “tools of social engineering”, bukan hukum yang semata-mata menjadi alat pemaksa. Ketertiban itu memang perlu, akan tetapi keadilan jauh lebih perlu untuk diwujudkan dalam penegakan hukumnya. Ketertiban yang mengabaikan keadilan, sama dengan menginjak-injak pondasi negara hukum dan merubah negara hukum menjadi negara kekuasaan belaka.

Menyikapi kasus yang membelit HRS ini ada catatan menarik yang disampaikan oleh rekan saya  Romo Syafi’i  anggota DPR RI dari Partai Gerindra Dapil  Sumatera Utara. Ia  membuat kesimpulan atas penanganan kasus HRS  yang dinilainya jauh dari prinsip penegakan hukum yang berkeadilan untuk anak anak bangsa.“Saya menilai kasus HRS adalah kasus politik bukan kasus hukum. Penanganan kasus HRS ini bukan penegakan hukum tapi pelanggaran hukum,” katanya seperti dikutip media.

Dia menekankan supaya preseden buruk selama penanganan kasus HRS harus dihentikan segera.“Karena rakyat Indonesia tidak bodoh dan tidak buta hukumnya. Meski ada oknum penegak hukum yang sudah kehilangan hati nurani, tapi masih banyak dari mereka yang memiliki hati nurani sama dengan nurani rakyat yang mendambakan penegakan hukum yang benar, jujur dan adil,” ungkap Romo Syafi’i menutup uraiannya.

Menyikapi kasus penegakan hukum yang terjadi pada sosok HRS  kiranya sudah banyak pihak yang memberikan tanggapan dan opininya. Tapi sebagian besar malah bersikap diam seribu bahasa. Bagi mereka yang diam mungkin saja karena melihat hal itu sebagai peristiwa yang  biasa saja.Mungkin saja karena dianggap sudah harus dimaklumi adanya sehingga komentar tidak diperlukan untuk menyikapinya.

Terkait dengan  masalah  keadilan dalam penegakan hukum ini, saya jadi teringat cerita pada waktu dulu saat menuntut ilmu di Fakultas Hukum yaitu tentang percakapan antara  seorang  dosen dan mahasiswanya.

Disebuah perguruan tinggi ternama, seorang Dosen mata kuliah Hukum Pidana bertanya pada salah seorang mahasiswanya:

"Nama kamu siapa  ?”. Mahasiswa itu menyebutkan namanya,  "Harun Masiku , Pak." Tiba-tiba saja sang Dosen mengusirnya tanpa sebab. Mahasiswa itu berusaha membela diri. 

Tapi sang Dosen malah membentaknya. Akhirnya ia keluar dengan perasaan terdzalimi.  Mahasiswa yang lain hanya diam saja. Setelah itu sang Dosen memulai kuliahnya. 

Ia bertanya kepada para mahasiswanya : "Untuk apa undang-undang dibuat?” Salah seorang mahasiswi menjawab, “Untuk mengontrol perilaku manusia.” Mahasiswa lain menjawab, “Untuk diterapkan !”

Yang lain menjawab, “Agar yang kuat tidak mendzalimi yang lemah.” Sang Dosen berkata,  “Semua jawaban Benar...tapi semua itu tidak cukup!.” Tiba-tiba salah seorang mahasiswi mengacungkan tangan dan berkata, “Untuk mewujudkan keadilan  Pak!”

Dosen berkata,"Benar !, Itulah jawabannya, agar tercipta keadilan !. Tapi pertanyaannya, apa gunanya keadilan?” Seorang mahasiswa menjawab, “Agar hak semua orang terjaga dan tidak ada yang terdzalimi !”

Dosen bertanya,"Sekarang jawab dengan jujur dan tak perlu takut...Apakah saya telah menzalimi  teman kalian ketika saya mengusirnya dari kelas ?” Mereka kompak menjawab, “Iyaa..!”

Dosen bertanya dengan nada tinggi, “Lalu kenapa kalian diam saja dan tidak memberikan pembelaan ?! "Apa guna undang-undang dan hukum kalau kita tidak memiliki keberanian untuk menerapkannya ?!

Ketika kalian diam saja disaat seseorang didzalimi, dan kalian tidak berusaha membela yang benar maka kalian akan kehilangan kemanusiaan kalian !. Dan, kemanusiaan tidak bisa ditawar-tawar..!”

Kemudian sang Dosen memanggil si Harun Masiku, mahasiswa yang diusirnya tadi, lalu meminta maaf padanya di depan seluruh mahasiswa. Kemudian ia berkata, “Ini saja pelajaran untuk hari ini.

Kalian mesti berusaha mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari selama kalian hidup". "Berapa banyak orang yang diam melihat kedzaliman, ketidak adilan bahkan berkawan akrab dengan pelaku kedzaliman hanya karena ingin mendapatkan KENYAMANAN" Pelajaran dari sebuah sikap dan perbuatan jauh lebih berarti daripada pelajaran dari sebuah nasehat.

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar