China Dianggap `Salah Langkah` di Eropa Tengah Dan Timur, Kok Bisa?

Sabtu, 12/06/2021 19:20 WIB
Bendera China. (Foto: Antara/Wikimedia Commons)

Bendera China. (Foto: Antara/Wikimedia Commons)

Jakarta, law-justice.co - Platform kerjasama 17+1 antara China dan Negara-negara Eropa Tengah dan Timur belum menunjukkan manfaat yang signifikan selain hanya sebagai alat bagi China untuk berfokus pada para pemimpin yang berkuasa.

Uni Eropa (UE) telah melihatnya sebagai ancaman untuk menciptakan lingkup pengaruh di Eropa Tengah dan Timur, sementara bagi China sendiri mekanisme 17+1 ini lebih merupakan forum yang memungkinkannya untuk menjalin hubungan tingkat tinggi kepada 17 negara.

China dan negara-negara Eropa Tengah dan Timur pertama kali mengadakan pertemuan puncak mereka di Polandia pada 2012, meluncurkan platform 16 + 1 untuk meningkatkan kerja sama dan perdagangan. Ketika Yunani bergabung dengan platform tersebut pada tahun 2019, namanya diubah menjadi 17 + 1 dan menjadi suplemen penting untuk hubungan China dengan UE.

Pada kenyataannya, mekanisme 17+1 dan keterlibatan China di kawasan justru menimbulkan frustasi, kekecewaan dan kesalahan. Andreea Brînza, analis geopolitik dan geoekonomi dari Institut Rumania menilai China membangun hubungan dengan negara-negara Eropa Tengah dan Timur dengan hanya berfokus pada para pemimpin yang berkuasa, bukan pada masing-masing negara secara keseluruhan. "Dengan demikian, perubahan kepemimpinan menentukan perubahan persepsi negara-negara tersebut tentang China dan (mekanisme) 17+1," tulis Andreea Brînza dala opininya yang ditayangkan di SCMP.

Negara-negara Baltik juga telah menolak pertemuan puncak 17+1 yang dipimpin oleh Presiden China Xi Jinping, dengan mengirim menteri, bukan kepala negara. Beijing telah berjanji untuk berinvestasi dalam infrastruktur lokal, termasuk pelabuhan, jalan dan industri yang gagal menarik modal Barat, menjadikan kawasan itu sebagai pintu gerbang China ke Eropa.

Beberapa negara mengeluh Beijing gagal memenuhi janji itu, serta harga yang harus dbayar akibat dari berurusan dengan China. Akibatnya, beberapa negara Eropa Tengah dan Timur memanfaatkan hubungan China mereka untuk menunjukkan kesetiaan kepada UE atau AS, atau sebagai topik kritik bagi partai-partai oposisi. "Keputusan Lithuania keluar dari `mekanisme kerja sama 17+1` pada Mei lalu, hanyalah puncak gunung es," ujar Andreea Brînza.

Saat ini, hubungan terkuat China di Eropa Tengah dan Timur adalah dengan Hungaria dan Serbia. Itu pun karena didorong oleh hubungan kuat Tiongkok dengan para pemimpin negara itu seperti Viktor Orban dan Alexander Vucic. "Jika mereka digantikan oleh lawan, seperti yang terjadi di tempat lain, hubungan dengan China akan goyah. Ini adalah kasus di Rumania dan Yunani," ujar Andreea Brînza.

Pada 2013, ketika Victor Ponta menjadi perdana menteri, hubungan Rumania-China tercapai puncak. Selama masa jabatan Alexis Tsipras, Yunani bersedia bergabung dengan mekanisme 16+1 saat itu. Begitu para pemimpin itu digantikan oleh pemerintah oposisi, hubungan negara mereka dengan China mulai melemah.

Sikap Rumania kemudian berbelok 180 derajat, mengambil jarak dari China. Hubungan dengan Yunani pun kehilangan momentumnya, dengan negara menolak menjadi tuan rumah KTT 17+1 pada tahun 2022.

Semuanya mengambil sikap yang semakin berhati-hati terhadap China. Rumania kemudian menunjukkan kesetiaannya kepada UE dan AS dengan melarang Huawei dan membatalkan partisipasi perusahaan China dalam proyek Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Cernavoda.

Hungaria pun tak luput dari tren politik semacam itu. Budapest telah mengganti nama beberapa jalan yang dianggap telah menyinggung perasaan China, seperti nama Jalan Dalai Lama, Jalan Hong Kong Merdeka, Jalan Martir Uyghur, dan Jalan Uskup Xie Shiguang yang dinamai menurut nama seorang imam Katolik Tiongkok yang dianiaya.

Pemberian nama itu sebagai penentangan terhadap pembangunan Universitas Fudan, dan juga strategi politik yang ditujukan pada Viktor Orban karena China menjadi terikat padanya. Ini bukan pertanda baik bagi hubungan China-Hongaria di era pasca-Orban.

Inilah sebabnya mengapa berinvestasi pada satu orang bukanlah taktik terbaik bagi China, yang dianggap sebagai ahli pemikiran dan strategi jangka panjang, tetapi membuang-buang energi dan peluang.

Hal yang sama berlaku untuk menjaga 17+1 tidak lebih dari format pertemuan, sambil melakukan hubungan bilateral. Duta Besar Hungaria, Judit Pach, dalam wawancaranya dikutip dari RMOL beberapa waktu lalu mengungkapkan, hubungan negaranya dengan China memang sangat baik. Investasi China di Hungaris berjalan lancar, bahkan Bank of China mulai beroperasi di Hungaria baru-baru ini.

Namun begitu, investor terbesar Hungaris adalah dari Korea Selatan. "Kami memiliki komunitas China yang besar. Juga komunitas India. Investor terbesar kami adalah dari Korea Selatan," katanya.

Terlepas dari kekecewaan atas kurangnya investasi dan janji-janji yang tidak dipenuhi, yang mulai menentukan mekanisme 17+1, rintangan lain bagi China adalah konfliknya dengan AS dan pertumbuhannya, setta perbedaan pendapat dengan UE, yang menekan atau mendorong negara-negara untuk menjauhkan diri dari Beijing.

Mengenai hal ini, Judit Pach mengatakan secara diplomatis bahwa konflik antara Republik Rakyat China dan Amerika Serikat tentunya berdampak kepada negara-negara lain dengan caranya sendiri. "Mana yang akan mempertahankan hubungan baik dengan kedua negara, akan kita lihat nanti," katanya.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar