Utang Alutsista Disebut Tak Bebani APBN, Pakar: Malah Makin Menumpuk

Selasa, 01/06/2021 20:04 WIB
Ekonom UI Ninasapti Triaswati (viva)

Ekonom UI Ninasapti Triaswati (viva)

Jakarta, law-justice.co - Ekonom Universitas Indonesia Ninasapti Triaswati mengaku heran dengan pernyataan juru bicara Kementerian Pertahanan Dahnil Anzar Simanjuntak yang menyebut utang untuk pengadaan alat peralatan pertahanan dan keamanan (alpalhankam) atau alutsista tak akan membebani anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Menurut dia, utang sebesar US$124,99 miliar setara Rp1.749 triliun (kurs Rp14 ribu per dolar AS) itu membuat utang negara makin menumpuk.

Kementerian Keuangan mencatat utang pemerintah tembus Rp6.445,07 triliun per Maret 2021. Jumlahnya melonjak Rp1.253 triliun dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yakni Rp5.192 triliun.

"Jadi, tambahan utang sebesar Rp1,7 kuadriliun akan menggelembungkan utang pemerintah," Ninasapti seperti dilansir dari cnnindonesia, Selasa (1/6/2021).

Oleh sebab itu, ia menilai sebaiknya pengadaan alpalhankam dilakukan secara bertahap. Terlebih, saat ini kemampuan pengumpulan pendapatan negara dari perpajakan menurun akibat pandemi covid-19. Ia mengatakan dampak utang sebesar itu terhadap APBN akan massif.

"Jelas merupakan beban berat bagi generasi muda saat ini yang akan dibayar mereka di masa depan," imbuhnya.

Ninasapti meminta pemerintah menyusun peta jalan (road map) pengadaan alpalhankam atau alutsista tersebut. Dengan demikian, setiap anggaran yang dikeluarkan efektif dan efisien.

Terpisah, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menuturkan terlepas dari nominal pengadaannya, segala belanja yang dilakukan oleh kementerian/lembaga kan menjadi tanggung jawab APBN. Oleh sebab itu, penarikan utang tersebut tentu akan berdampak pada keuangan negara.

Hal lain yang perlu diwaspadai adalah pinjaman luar negeri memiliki risiko nilai tukar karena dilakukan dalam bentuk valuta asing (valas). Jika tidak dilakukan hedging (lindung nilai), maka ada potensi nilai utang asing bertambah terlebih apabila saat jatuh tempo nanti, nilai tukar rupiah melemah.

"Hal lain, yang perlu diperhatikan bahwa pinjaman multilateral ada commitment fee yaitu biaya yang harus ditanggung, apabila pinjaman yang sudah disepakati, tidak dicairkan sesuai kesepakatan awal," jelasnya.

Meskipun, ia menyatakan bahwa bunga utang luar negeri, baik pinjamam bilateral maupun pinjaman multilateral lebih ringan. Jika dikomparasikan dengan bunga di SBN sekitar 6 persen-7 persen, maka bunga pinjaman luar negeri relatif lebih rendah di kisaran 1 persen sampai 2 persen.

Selain itu, ia menuturkan pemerintah perlu memastikan pengelolaan utang luar negeri di Kementerian Pertahanan. Pasalnya, kementerian di bawah komando Prabowo Subianto itu merupakan salah satu kementerian yang mempunyai (kredit yang yang belum ditarik/direalisasikan) cukup besar, mencapai US$3,3 miliar pada kuartal IV 2020 berdasarkan data yang dikantonginya.

"Artinya perlu ada komitmen dan manajemen yang cermat dalam menggunakan pinjaman luar negeri yang sudah disepakati," ujarnya.

Sebelumnya, Juru Bicara Menhan Prabowo Subianto, Dahnil Anzar Simanjuntak menuturkan anggaran jumbo itu tidak akan membebani APBN. Meskipun dari utang luar negeri, namun ia menuturkan pinjaman itu berbunga rendah, cicilan ringan, dan dalam jangka waktu yang panjang 25 tahun ke depan.

Nantinya, pemerintah akan membayar cicilan utang menggunakan anggaran pengadaan alutsista di Kemenhan setiap tahunnya.

"Memang dari pinjaman luar negeri, tapi penjelasan yang harus saya sampaikan adalah pinjaman luar negeri ini tidak membebani APBN kita dan artinya dia tidak mengganggu alokasi anggaran untuk alokasi pembangunan prioritas yang menjadi perhatian negara," kata Dahnil.

(Nikolaus Tolen\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar