Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Menanti Lamanya Hasil Uji Materi Revisi UU KPK, Ujian Kredibilitas MK

Kamis, 22/04/2021 11:05 WIB
Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Gerindra Desmond J Mahesa (Ist)

Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Gerindra Desmond J Mahesa (Ist)

law-justice.co - Masih segar dalam ingatan kita ketika ribuan mahasiswa dari seluruh Perguruan Tinggi di  Indonesia menggelar unjuk rasa menentang revisi Undang Undang KPK. Aksi mahasiswa itu segera diikuti oleh elemen masyarakat lainnya mulai para pakar hukum, pegiat anti korupsi, tokoh politik, tokoh agama, ormas dan yang lainnya. 

Mereka semua kompak menentang revisi Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) karena dianggap membawa misi untuk melemakan keberadaan KPK yang selama ini dipercaya menjadi garda terdepan dalam memerangi korupsi di Indonesia.  Meskipun terjadi gelombang penolakan dimana-mana namun UU KPK tetap di revisi dan disahkan pemberlakuannya.

Pengesahan Rancangan UU KPK hasil revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK itu telah membuat publik kecewa. Sebagai bentuk  rasa kecewa mereka kemudian  ramai-ramai mengajukan uji materiil dan formil ke Mahkamah Konstitusi (MK). 

Kini setahun telah berlalu, hasil uji materiil dan formil dari UU KPK hasil revisi itu tak kunjung di umumkan oleh MK. Fenomena ini memunculkan rasa penasaran sekaligus pertanyaan dilingkungan publik yang ingin mengetahui ada apa dibalik lambannya MK memutuskan perkara yang dimajukan kepadanya.

Aspek materiil dan formil apa sehingga publik merasa perlu untuk menggugat eksistensi Undang Undang KPK hasil revisi ke MK ?, Apa konsekuensinya jika uji materiil dan formil tersebut di kabulkan oleh MK ?, Benarkah uji materiil dan formil UU KPK hasil revisi ini merupakan batu ujian bagi kredibilitas MK ?, Mengapa perkara ini diputuskan begitu lama ?

Uji Materiil  dan Formil

Gelombang penolakan terhadap UU KPK hasil revisi pada akhirnya bermuara pada munculnya  pengajuan uji materiil dan formil  UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Uji materiil dan formil adalah pengujian yang dilakukan melalui mekanisme lembaga peradilan terhadap kebenaran suatu norma dalam hal ini UU KPK.

Secara teori pengujian (toetsing) terhadap suatu norma  dibedakan antara materiile toetsing dan formeele toetsing yaitu pengujian  UU dari aspek materinya  dan pengujian suatu UU dilihat dari sisi formal pembuatannya.

Kedua bentuk pengujian tersebut oleh UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK dibedakan dengan istilah pembentukan undang-undang dan materi muatan undang-undang. Pengujian atas materi muatan undang-undang adalah pengujian materiil, sedangkan pengujian atas pembentukannya adalah pengujian formil. 

Hak atas uji materi maupun uji formil ini diberikan bagi pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, ( Pasal 51 ayat [1] UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK). Pengujian bisa diajukan oleh  (1).perorangan warga negara Indonesia, (2). kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang, (3) badan hukum publik atau privat; atau  (4). lembaga negara.

Hak uji ini juga diatur dalam Pasal 31A UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (MA) untuk pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.

Terkait dengan hak uji materiil dan formil UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK telah diajukan pengujiannya antara lain oleh mahasiswa, pengacara dan juga mantan pimpinan KPK.  Secara materiil ada 7 aspek yang menjadi obyek gugatan yaitu :

Pertama, terkait kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun eksekutif yang dalam pelaksanaan kewenangan dan tugasnya tetap independen. Kedua, mengenai pembentukan Dewan Pengawas KPK. Ketiga, terkait pelaksanaan fungsi penyadapan. Keempat, mengenai mekanisme penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) perkara tindak pidana korupsi oleh KPK. 

Kelima, terkait koordinasi kelembagaan KPK dengan penegak hukum sesuai dengan hukum acara pidana kepada kepolisian, kejaksaan, dan kementerian atau lembaga lainnya dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi. Keenam, mengenai mekanisme penggeledahan dan penyitaan.. Ketujuh, terkait sistem kepegawaian KPK.

Sementara itu secara formil sekurang kurangnya terdapat lima hal yang dipersoalkan dan menjadi obyek gugatan ke MK:

Pertama, revisi UU KPK  dinilai tidak melalui proses perencanaan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2019. Pada hal menurut UU No. 12 Tahun 2011 sebagaimana dirubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) mewajibkan bahwa setiap pembentukan undang-undang harus melalui proses perencanaan dalam Prolegnas.

Kedua, revisi UU KPK menggunakan Naskah Akademik yang diragukan kebaruannya serta tidak lengkap membahas poin-poin yang memperlemah KPK.Pada hal UU Pembentukan Peraturan Perundang Undangan  telah mensyaratkan bahwa setiap undang-undang wajib disertai naskah akademik; kajian akademis dalam naskah ini harus memadai dan sesuai zamannya.

Ketiga, revisi UU KPK melanggar asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Salah satu kewajiban dalam membentuk undang-undang adalah taat asas pembentukan.Fakatanya, ada enam asas yang dilanggar, salah satunya revisi UU KPK menghasilkan kontradiksi pada pasal-pasalnya sehingga tidak dapat dilaksanakan.Contohnya antara pasal 69D dan 70C.

Pasal 69D menyebutkan: “sebelum Dewan Pengawas terbentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum Undang-Undang ini diubah”.Namun Pasal 70C justru menyebut:“pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan Tindak Pidana Korupsi yang proses hukumnya belum selesai harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”.Artinya, ada dua ketentuan yang saling bertabrakan dan membuat revisi UU KPK tidak bisa dilaksanakan karena ada kekosongan hukum yang terjadi pasca revisi UU KPK disahkan.

Keempat, pembahasan revisi UU KPK tidak partisipatif dan tertutup. Proses pengerjaan dan pembahasan yang sangat kilat (14 hari) dan KPK secara kelembagaan tidak pernah diajak bicara bahkan pemimpin KPK tidak pernah mendapat draf revisi UU KPK secara resmi dari DPR.Padahal sebagai objek pengaturan, KPK seharusnya mendapatkan hak untuk ikut dalam pembahasan dan memperoleh segala informasi terkait pembentukan undang-undang. Faktanya, KPK secara kelembagaan dan pemimpin KPK tidak pernah mendapatkan hak tersebut.

Kelima, sidang paripurna DPR tidak kuorum dalam pengambilan keputusan terkait UU KPK . Pada hal UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD menyebut bahwa sidang parpurna DPR hanya dapat mengambil keputusan apabila memenuhi kuorum. Kuorum terpenuhi apabila rapat dihadiri lebih dari setengah jumlah anggota rapat dan terdiri atas lebih dari setengah jumlah fraksi.

Berdasarkan catatan Kesekretariatan Jenderal DPR, rapat paripurna persetujuan Perubahan UU KPK pada 17 September 2019 dihadiri oleh 289 dari 560 anggota DPR. Namun berdasarkan penghitungan manual hingga pukul 12.18 hari itu, hanya terdapat 102 anggota DPR yang hadir dalam rapat paripurna.

Implikasi Hukum

Pasca DPR mengesahkan UU  KPK hasil revisi pada September 2019 lalu, MK telah menerima sejumlah permohonan pengujian pasal atas UU KPK. Setidaknya,  ada tujuh permohonan pengujian yang diajukan oleh sejumlah pihak terhadap UU KPK. Ada yang mengajukan uji materil terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tersebut, ada pula yang mengajukan uji formilnya. 

Dari beberapa permohonan yang diajukan, MK telah memeriksa sejumlah perkara melalui persidangan sehingga saat ini sekurangnya sudah dua perkara yang diputus MK dimana kedua perkara itu ditolak oleh MK. Perkara pertama dinilai karena kesalahan pada sisi obyeknya.

MK menolak permohonan uji materil dan formil Undang-undang KPK hasil revisi yang diajukan puluhan mahasiswa dari sejumlah universitas di Indonesia. Putusan itu dibacakan dalam sidang yang digelar MK, Kamis (28/11/2019) yang lalu. Permohonan para pemohon tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena MK menilai permohonan pemohon salah obyek atau error in objecto. Pasalnya, dalam gugatannya, pemohon meminta MK menguji Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019. Padahal, pemohon bermaksud mengguggat UU KPK hasil revisi. UU Nomor 16 Tahun 2019 sendiri mengatur tentang Perkawinan. 

UU tersebut merupakan aturan perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974. Adapun UU KPK hasil revisi dicatatkan sebagai UU Nomor 19 Tahun 2019. UU tersebut meripakan aturan perubahan kedua dari UU Nomor 30 Tahun 2002. 

Perkara kedua uji materi ditolak MK karena dinilai tidak ada korelasinya. Pada sidang pembacaan putusan yang digelar Rabu (29/1/2020), MK memutuskan untuk menolak gugatan uji materi UU KPK yang dimohonkan dua orang advokat bernama Martinus Butarbutar dan Risof Mario. 

Gugatan tersebut mempersoalkan Pasal 37C ayat (2). Dalam pasal itu disebutkan bahwa "ketentuan mengenai organ pelaksana pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden". Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan pokok permohonan pemohon tidak dapat diterima

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan bahwa mereka tidak dapat memahami kerugian konstitusional yang dialami pemohon atas Pasal 37C ayat (2). Para pemohon menyebutkan bahwa keberadaan UU KPK dalam praktik penyelenggaraan negara mengancam seluruh rakyat Indonesia. Padahal, pasal yang dipersoalkan pemohon memuat tentang pengaturan organ pengawas KPK melalui Peraturan Presiden. 

Mahkamah menyebut, kerugian konstitusional para pemohon tidak secara spesifik dan aktual dimuat dalam Pasal 37C ayat (2) itu. "Para pemohon hanya menguraikan kerugian secara umum atas keberlakuan UU KPK, namun tidak secara jelas dan detail kerugian sesungguhnya yang diderita oleh para pemohon," ujar hakim. "Sehingga tidak nampak adanya hubungan sebab akibat dari keberlakuan Pasal 37C ayat (2) UU KPK dengan kerugian yang diderita oleh para pemohon," lanjutnya. 

Meskipun dua permohonan uji materi UU KPK telah ditolak MK, masih ada sejumlah gugatan lain yang belum diputuskan oleh MK. Dari beberapa perkara yang diperiksa MK, salah satunya dimohonkan oleh pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi masa jabatan 2015-2019. Mereka adalah Agus Rahardjo, Laode M Syarief, dan Saut Situmorang.

Selain ketiga nama itu, gugatan juga dimohonkan sepuluh pegiat anti korupsi, antara lain eks pimpinan KPK Erry Riyana Hardjapamekas dan Mochamad Jasin serta beberapa nama lain, yaitu Betty Alisjahbana, Ismid Hadad, dan Tini Hadad. Pemohon didampingi oleh 39 pengacara yang juga pegiat antikorupsi dari berbagai kalangan. 

Para pemohon umumnya mempersoalkan soal prosedur pembentukan revisi UU KPK yang dinilai cacat formil .Atas hal-hal tersebut, pemohon meminta MK menunda pemberlakuan UU KPK hasil revisi. Pemohon juga meminta MK menyatakan UU Nomor 19 Tahun 2019 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum yang mengikat. Tidak hanya itu, Agus Rahardjo dan kawan-kawan juga meminta MK menyatakan UU KPK hasil revisi cacat formil dan cacat prosedural sehingga aturan dimaksud tidak dapat diberlakukan dan batal demi hukum.

Sejauh ini hasil keputusan MK masih ditunggu pada hal sudah setahun berlalu sehingga ada kecurigaan mengapa MK kali ini begitu lambat memutuskan perkara yang diajukan oleh para pemohon atas uji formiil UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.

Andaikan MK nantinya  mengabulkan permohonan pengujian formal perkara ini, dalam arti menyatakan undang-undang KPK inkonstitusional, maka undang-undang tersebut dinyatakan tidak pernah ada yang berakibat pada kekosongan hukum. Undang-undang yang cacat prosedural atau cacat formal memiliki implikasi hukum yang mengakibatkan undang-undang tersebut batal demi hukum, sehingga undang-undang tersebut dinyatakan tidak pernah ada.

Hal tersebut sesuai dengan pasal 57 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2011 “putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”.

Setelah pengujian atas undang-undang itu diputus final, maka seperti ditentukan oleh Pasal 47 undang-undang Nomor 24 Tahun 2003], putusan itu langsung berlaku mengikat sejak diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Artinya, efek keberlakuaannya bersifat prospektif ke depan (forward looking), bukan berlaku ke belakang (backward looking). Dengan kata lain segala perbuatan hukum yang sebelumnya dianggap sah atau tidak sah secara hukum, tidak berubah menjadi tidak sah atau menjadi sah, hanya karena putusan MK berlaku mengikat sejak pengucapannya dalam sidang pleno terbuka untuk umum. 

Perbuatan hukum yang dilakukan berdasarkan undang-undang yang belum dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah perbuatan hukum yang sah secara hukum, termasuk akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan hukum yang sah itu, juga sah secara hukum.

Pertaruhan Kredibilitas MK

MK merupakan sandaran terakhir dalam menjaga fitrah pemberantasan korupsi di Indonesia. Karena melalui  uji formil dan materil revisi UU 19/2019 tentang KPK dapat mengembalikan kelembagaan, pegawai dan sistem independen penumpasan korupsi yang kini merajalela. Maka kita berharap kearifan, keindependenan, kepintaran dan keimanan hakim MK agar UU KPK itu betul-betul dikembalikan sebagaimana semula.

Sejauh ini UU KPK yang baru telah terbentuk lewat sejumlah proses dan tahapan yang melanggar ketentuan yang ada. Seperti disinggung diatas, sekurangnya ada tujuh aspek terkait dengan soal materiil UU KPK baru yang bermasalah sehingga berpotensi melemahkan KPK. Sementara dari sisi formil  ada sekurangnya ada lima aspek prosedur pembentukan UU KPK yang menyalahi ketentuan yang ada.

Oleh karena itu putusan pengujian UU No. 19 Tahun 2019 oleh MK menjadi preseden sangat penting dalam praktik pembentukan UU ke depannya. Artinya, jika MK membatalkan revisi UU KPK secara keseluruhan maka akan mengandung makna bahwa  MK telah memberi teguran keras bagi pembentuk UU agar tidak lagi mengulangi praktik pembentukan UU dengan “menabrak” aturan prosedur pembentukan peraturan sebagaimana ditunjukkan dalam proses pembentukan revisi UU KPK.  

Karena itulah MK harus memberi pesan yang tegas dan keras dalam uji formil revisi UU KPK terkait bagaimana mekanisme pembentukan UU yang bernilai konstitusional dan tidak melecehkan negara hukum serta  tidak menciderai kedaulatan rakyat sebagai pemilik kekuasaan yang sesungguhnya.

Selai n itu MK tidak boleh hanya melihat dokumen formilnya saja, tetapi juga harus membaca suasana kebatinan yang muncul di publik terkait implementasi Perubahan UU KPK . MK harus melihat uji formil revisi UU KPK ini, apakah sudah mewakili kepentingan publik atau masyarakat pada umumnya. Karena selain syarat filosofis dan yuridis, berlakunya hukum juga harus mempertimbangkan aspirasi masyarakat  atau aspek sosiologisnya.

Sejauh ini konon sudah ada sebanyak 48 putusan pengujian UU secara formil sejak tahun 2003. Dari keseluruhan putusan itu, belum ada pengujian formil yang dikabulkan  MK.  Tidak dikabulkannya permohonan para para pemohon itu karena MK selalu mengedepankan masalah prosedural, misalnya, apakah dalam pengambilan keputusan di sidang paripurna DPR kuorum atau tidak; UU itu ada surat presiden atau tidak; dan dalam proses pembahasan UU turut mengadakan rapat dengar pendapat umum (RDPU) atau tidak dan sebagainya.

Hal ini bisa saja terjadi dalam pengujian UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK yang tengah diadili MK.  Padahal masalah ini hanya menjadi  bagian kecil dari pembuktian uji formil selain aspek aspek lainnya. Seharusnya MK hadir untuk membuktikan nilai-nilai konstitusionalitas, apakah sebuah regulasi itu benar atau tidak proses pembentukannya dan benar substansinya.

Yang jelas keputusan hasil uji materiil dan formil UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK bisa menjadi batu ujian yang akan mempengaruhi maruah dan kredibilitas MK. Apakah lembaga ini masih menjadi tumpuan harapan masyarakat sebagai penjaga konstitusi atau sebaliknya. Disini nampaknya independensi MK akan diuji antara kepentingan politis memihak untuk membela kepentingan penguasa atau berpihak pada  tuntutan keadilan masyarakat pada umumnya.

Begitu Lama

Sudah lebih dari setahun permohhonan uji formil  UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK belum juga diputus  hasilnya. Bisa jadi hasil uji coba itu belum diketahui hasilnya karena kompleksitas masalah yang terkait dengan obyek  perkara. 

Menanggapi lambannya MK memutus perkara uji materil dan formil UU KPK ini Juru Bicara MK Fajar Laksono menjelaskan beberapa alasan mengapa MK terkesan lambat dalam memutus perkara uji materi UU KPK. Menurut dia, hal itu disebabkan karena proses persidangan yang memang panjang sehingga memerlukan watku yang lama . "Berdasarkan risalah persidangan, sekurang-kurangnya telah digelar 12 kali persidangan sepanjang Desember 2019 hingga 23 September 2020," kata Fajar seperti dikutip Kompas.com, Selasa (20/4/2021). 

Fajar menjelaskan, setelah melakukan pemeriksaan dalam persidangan sebanyak 12 kali, MK akan membahasnya dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH). Namun, RPH terhenti sementara karena MK harus fokus menangani sengketa hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang dimulai pada 23 Desember 2020. "Dalam masa tersebut, mengingat perkara perselisihan hasil pilkada harus selesai dalam jangka waktu 45 hari kerja sejak permohonan diregistrasi, maka praktis MK fokus dan berkonsentrasi penuh mengadili perkara perselisihan hasil pilkada," ujarnya. 

Jika MK berasalan lamanya pemutusan perkara uji materill dan formil UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK karena “kesibukannya”. Lain lagi halnya dengan pandangan dari  Laode M Syarif  Eks pimpinan KPK. Ia menduga  lambannya pemutusan perkara uji materil dan formil UU KPK karena MKsedang mencari alasan untuk tidak mengabulkan gugatan UU  Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.

Oleh karena itu, ia menilai saat ini majelis hakim MK belum juga memutus perkara uji materi UU KPK . "Saya yakin itu (MK) sekarang ini sedang mencari-cari alasan bagaimana memberikan pembenaran terhadap yang salahnya sudah semakin tampak jelas seperti itu," kata Laode dalam diskusi Kode Inisiatif, Minggu (18/4/2021) seperti dikutip media.

Menurut Laode, seharusnya MK mudah untuk memutus permohonan uji materi UU KPK mengingat sudah jelas ada pelanggarannya. " Harusnya gampang sekali untuk menolak karena sudah clear  enggak ada lagi bilang ini abu-abu, dari semua prosedur dilanggar tidak ada yang dipatuhi. Sedikit pun tak ada," ujarnya. 

Kini publik memang tengah menunggu MK memutuskan perkara uji materi UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK. Kalau menolak permohonan para pemohon apa kira kira alasannya dan demikian pula kalau menerimanya. Keputusan MK menjadi sangat penting karena menyangkut masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia. Kalau keputusan MK ternyata tidak sesuai dengan harapan publik maka siap siap bangsa Indonesia mengucapkan” sayonara”  untuk KPK dan juga MK. Tetapi kalau keputusan MK berpihak kepada kepentingan publik pada umumnya maka berarti harapan itu masih ada. Semoga.

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar