Hadapi Terorisme, Indonesia Bisa Adaptasi Strategi CTAP Selandia Baru

Sabtu, 10/04/2021 20:40 WIB
Komisaris Polisi Malvino Edward Yusticia (Foto: Istimewa)

Komisaris Polisi Malvino Edward Yusticia (Foto: Istimewa)

law-justice.co - Peristiwa serangan senjata jenis Air Gun yang dilakukan oleh ZA di Mabes Polri pada tanggal 1 April 2021 lalu telah menyentak seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Kasus terorisme ini muncul dalam konteks waktu yang tidak terlalu jauh. Hanya berselang 3 hari antara Bom Gereja Katedral Makassar dan Serangan ke Mabes Polri.

Menanggapi hal tersebut, Komisaris Polisi Malvino Edward Yusticia mengatakan bahwa dua serangan teror ini harus dipandang sebagai sesuatu yang siap mengancam kita kapan saja dan menurut Kepolisian, dua kasus terorisme ini tidak terkait satu sama lain.

"Dua peristiwa yang terjadi baik di Makassar dan Mabes Polri mengingatkan saya pada persitiwa terorisme pada tahun 2019 di Selandia Baru. Pada 15 Maret 2019 atau tepat sekitar 2 tahun yang lalu, terjadi peristiwa terorisme di Crhristchurch, Selandia Baru," kata Malvino.

Seperti diketahui Pada waktu itu Brenton Tarrant (28 tahun), seorang berkewarganegaraan Australia melakukan serangan senjata api pada Jamaah Sholat Juma’at di Masjid Al – Noor di wilayah Ricarton, Selandia Baru.

Akibat serangan terror tersebut, 51 orang Jamaah Sholat Juma’at di Masjid Al-Noor meninggal dunia dan 40 orang mengalami cedera luka-luka akibat tembakan yang ditembakkan oleh Brenton.

Malvino mengatakan berkaca pada kejaidan di Selandia Baru, setelah satu jam terjadinya penembakan di Selandia Baru tersebut, Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern mengumumkan Lockdown pada wilayah Christchurch dan mengerahkan personil kepolisian, Ambulan, SAR, dan Militer untuk menstabilkan lokasi penyerangan dan melumpuhkan pelaku teror.

"Pada waktu 24 jam pasca penembakan, Pemerintahan Selandia Baru melakukan reaksi cepat terhadap korban dengan merawat korban cidera, mengunjungi keluarga korban meninggal dunia, hingga mengunjungi dan membentuk rapat antar para pemuka agama di Selandia Baru," katanya.

Dalam waktu 1 bulan, Pemerintah Selandia Baru mengeluarkan kebijakan yang disebut dengan CTAP atau Counter Terrorism Action Plan. Dalam CTAP tersebut terdapat beberapa poin yang harus dilakukan oleh pemerintahan Selandia Baru dalam memerangi terorisme di negaranya.

Poin tersebut terdiri dari penguatan intelejen, penguatan kapasitan penegakan hukum dalam penanggulangan terorisme seperti dalam aspek ke-imigrasian, kepemilikan senjata api, hingga komitmen penegakan hukum yang adil bagi semua orang, kemudian pelibatan tokoh agama dan kelompok keagamaan untuk mengkampanyekan ide perdamaian dan toleransi, serta kerjasama internasional untuk memerangi ekstrimisme agama yang berhaluan dengan penggunaan kekerasan.

Berkaca pada kejadian di Indonesia, Malvino menuturkan bila kebijakan penanggulangan terorisme diemban oleh BNPT sebagai amanah dari Perpres No. 46 Tahun 2010.

Sejak tahun 2010, BNPT telah menyusun kebijakan, strategi, dan program dalam hal penanggulangan terorisme hingga saat ini. Namun pada sisi yang lain, terorisme di Indonesia terus bertumbuh.

"Berdasarkan informasi dari Densus 88 AT, jumlah tersangka terorisme setiap tahunnya selalu mencapai 100-200an orang setiap tahunnya tanpa ada indikasi penurunan jumlah pelaku terorisme di tanah air setiap tahunnya. Artinya program, kebijakan, dan strategi yang ditawarkan oleh BNPT sejak tahun 2010 tidak berkorelasi langsung dengan adanya penurunan jumlah pelaku terorisme di Indonesia. Inefektifitas kebijakan, program, maupun strategi perlu menjadi pembahasan serius dengan dua peristiwa terrorisme yang terjadi pada Maret-April 2021 lalu," paparnya.

Secara garis besar, berdasarkan UU No. 5 Tahun 2018 Tentang Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme terdapat dua pokok utama strategi penanggulangan terorisme. Dua pokok utama strategi tersebut terdiri dari Penegakan Hukum dan Pencegahan – Deradikalisasi.

Dalam aspek penegakan hukum, jika sekilas dievauasi maka dapat dikatakan berada dalam posisi yang cukup optimal. Hal ini dapat diperlihatkan dari kuantitas penangkapan melalui strategi Preventive Strike yang dilakukan oleh Polri yang berkisar di angka 100-200an tersangka.

Alumnus Master of Strategic Studies Victoria University of Wellington, New Zealand tersebut menuturkan bila berkaca pada pengalaman Selandia Baru, maka kunci dari penanggulangan terorisme adalah kecepatan dan ketepatan strategi.

"CTAP yang diimplementasikan oleh Selandia Baru mampu untuk mendorong seluruh institusi sosial dan politik untuk saling terhubung dalam visi pencegahan dan penaggulangan terorisme. Ketepatan strategi dalam CTAP juga selalu dipastikan dalam bentuk pelibatan akademisi dan Universitas dalam formulasi, implementasi hingga mengevaluasi program yang dilaksanakan," tuturnya.

Untuk itu Malvino menyatakan kalau seharusnya Indonesia melalui BNPT seharusnya juga membentuk reaksi dan strategi tepat sehingga peristiwa yang sama tidak terjadi kembali di kemudian hari.

Reaksi tersebut harusnya dapat dimulai dengan mengevaluasi seluruh program, kebijakan, dan strategi yang telah dilaksanakan dalam penanggulangan terorisme.

"Dengan evaluasi tersebut, maka pembentukan strategi baru penanggulangan terorisme dapat diformulasikan kembali sehingga strategi nasional dalam penanggulangan terorisme dapat berlangsung lebih komprehensif, tepat sasaran, dan terintegrasi sebagaimana CTAP yang diimplementasikan di Selandia Baru saat ini telah berhasil membawa banyak perubahan," tutupnya.

(Givary Apriman Z\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar