KPK Kesulitan Hitung Kerugian Negara di Kasus RJ Lino

Sabtu, 27/03/2021 09:36 WIB
Meski telah menahan mantan Dirut Pelindo II RJ Lino, KPK akui kesulitan hitung kerugian negara dalam kasus tersebut  (Tribunnews)

Meski telah menahan mantan Dirut Pelindo II RJ Lino, KPK akui kesulitan hitung kerugian negara dalam kasus tersebut (Tribunnews)

law-justice.co - Lima tahun lebih mantan Direktur Utama PT Pelindo II RJ Lino menyandang status tersangka sebelum akhirnya secara resmi ditahan oleh KPK pada Jumat (26/3/2021). Penahanan RJ Lino yang baru dilakukan sepertinya tak lepas dari susahnya KPK menghitung kerugian negara dalam kasus korupsi terkait proyek pengadaan tiga unit Quay Container Crane (QCC) di Pelindo II Tahun 2010 tersebut.

Hal itu diungkapakn oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Alexander Marwata yang menyebut penyidik kesulitan mendapatkan harga QCC yang dijual oleh HuangDong Heavy Machinery Co. Ltd (HDHM).

Dalam konstruksi perkara, RJ Lino menunjuk HDHM untuk pengadaan tiga buah QCC. Bahkan, kata Alex, pimpinan KPK periode sebelumnya sempat hendak bertemu dengan inspektorat dari China. Pihaknya hendak menanyakan harga QCC yang dibeli Pelindo dari HDHM.

"Bahkan, Pak Laode dan Pak Agus Rahardjo ke China dan dijanjikan bisa bertemu menteri atau jaksa agung, tapi pada saat terakhir ketika mau bertemu dibatalkan," kata Alex di kantornya, Jl Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat (26/3/2021).

Padahal, Badan Pemeriksa Keuangan, kata Alex, menuntut dokumen atau data terkait harga QCC yang dijual HDHM, untuk melakukan penghitungan kerugian negara dari pengadaan ketiga QCC ini.

"Di sisi lain penyidik kesulitan mendapatkan harga QCC atau setidaknya harga pembanding. Misalnya HDHM menjual ke negara lain itu bisa dibandingkan sehingga itu bisa menjadi dasar perhitungan negara," ujarnya.

KPK, lanjut Alex, tetap meminta BPK untuk menghitung kerugian negara. Hasilnya, kata Alex, BPK mendapatkan perhitungan kerugian negara terkait pemeliharaan QCC.

Mengenai pengadaan alatnya, lanjut Alex, BPK tidak bisa menghitung kerugian negaranya sebab ketiadaan dokumen atau data pembanding.

Akhirnya, dikatakan Alex, tim KPK memutuskan menggunakan ahli dari ITB untuk menghitung harga pokok produksi QCC tersebut. Ahli ITB itu, dimintai bantuan untuk merekonstruksi alat QCC dan menghitung total harga pokok produksi.

"Memang dalam menghitung kerugian dalam akuntasi itu ada yang disebut histories cost. Itu biasanya didukung dengan data dan dokumen berapa biaya yang dikeluarkan untuk membelikan alat tersebut, temasuk harga pembanding. Ada juga metode lain yaitu menghitung replacement cost. Kira-kira berapa biaya yang dikeluarkan kalau alat itu diproduksi sendiri, kami memakai metode itu dengan meminta bantuan dari ahli ITB untuk merekonstruksi alat QCC itu seandainya dibuat, harga pokoknya berapa," ujarnya.

Alex menambahkan, penghitungan itu kemudian dijadikan dasar, terdapat selisih yang signifikan antara QCC yang dibeli Pelindo dari HDHM dengan harga produksi.

"Dibandingkan dengan harga yang dibeli dari Pelindo ke HDHM yang sebesar US$15 juta, kontraknya segitu. Sementara ahli dari ITB, mungkin termasuk ongkos angkut ke sini secara total US$10 juta. Jadi ada perbedaan sekitar US$5 juta," tutup Alex.

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar