Desmon J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Aksi Pecah Belah Partai Demi NKRI, Siapa Aktor Intelektualnya?

Kamis, 11/03/2021 05:34 WIB
Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (ist)

Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (ist)

law-justice.co - Berita pembegalan Partai Demokrat oleh kelompok KSP Moeldoko masih menjadi pembicaraan hangat di sosial media. Beritanya menenggelamkan isu-isu hangat sebelumnya seperti korupsi bansos, bencana alam dan isu isu hangat lainnya.

Dibalik kisruh yang sedang menerpa Partai Demokrat, sebenarnya ada pesan terselubung yang selama ini mungkin terlupakan karena rata rata orang hanya melihat suatu kasus atau peristiwa dari kulitnya saja.  Orang mungkin tidak berpikir bahwa terjadinya peristiwa seperti perpecahan partai demokrat ini dimainkan oleh tangan tangan tidak terlihat yang sengaja bikin ulah untuk menciptakan kekacauan di Indonesia.

Mereka yang tidak ingin melihat Indonesia maju dan rakyatnya hidup makmur sejahtera. Mereka yang sejak lama berkepentingan agar negara Indonesia terpecah belah agar mudah dikuasai untuk diambil kekayaan sumberdaya alamnya.  Mereka yang berbahagia melihat anak anak bangsa saling berebut kue kekuasaan sesuai dengan skenario yang telah mereka desain sebelumnya.

Apakah fenomena ini merupakan warisan yang sengaja dipelihara sejak zaman Belanda ?, Mengapa aksi pecah belah partai terus saja terjadi di Indonesia ?, Siapa kira-kira yang berperan untuk memainkan ini semua ?

Warisan Belanda

Untuk mengerdilkan Bangsa dan Negara Indonesia hanya bisa dilakukan dengan  cara devide it empera. Intinya tidak boleh ada kekuatan  utuh baik kekuatan dalam bidang  agama atau partai politik yang bisa menggerakkan rakyat untuk bersatu menghimpun kekuatan mereka.

Devide et Impera merupakan politik adu domba yang dilaksanakan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil agar mudah dikelola. Politik ini dibawa oleh Belanda dari awal kedatangannya ke wilayah Nusantara. Politik ini juga diterapkan untuk mencegah kelompok-kelompok kecil bersatu yang akhirnya menjadi besar dan kuat karena hal tersebut akan menyulitkan Belanda.

Sejak dahulu bangsa Indonesia merupakan bangsa yang heterogen, masyarakat Indonesia memiliki latar belakang budaya yang beragam, suku, ras, agama. Keberagaman ini memudahkan Belanda dalam melaksanakan politik adu dombanya, propaganda, fitnah dan segala upaya untuk memecah belah dijalankan oleh Belanda.

Dalam pelaksaannya politik devide et impera ini dijalankankan dengan cara penentangan kekuasaan yang berada di wilayah kerajaan maupun masyarakatnya. Penentangan yang dilakukan oleh Belanda ini akan menimbulkan munculnya dua kubu di dalam satu kelompok untuk saling menaruh curiga. Belanda pun memanfaatkan hal ini dengan pro ke salah satu kubu dan menelantarkan kubu yang lainnya.

Belanda akan memunculkan isu-isu yang membuat kelompok itu saling bertentangan dan akhirnya kekuasaanyapun menjadi lemah tak berdaya. Dalam kegoyahan inilah Belanda  akan masuk dan menguasainya. Cara cara adu domba ini dinilai sebagai sarana paling murah untuk mengalahkan lawan lawannya.

Belanda melakukan politik devide et impera di berbagai kerajaan di Nusantara. Sebagai contoh di Kerajaan Gowa-Tallo Belanda (VOC) menjalankan politik ini dengan mengadu domba raja Gowa Sultan Hasanudin dengan raja Bone yaitu Aru Palaka. Bone merupakan wilayah yang berada dibawah kekuasaan kerajaan Gowa.

Selanjutnya untuk menguasai wilayah Kesultanan Banten, Belanda pun kembali mengunakan politik devide et imperanya. Pertikaian dan perebutan kekuasaan yang terjadi antara Sultan Ageng dan putranya yaitu Sultan Haji dimanfaatkan dengan baik oleh Belanda. VOC merapat sebagai kelompok yang pro kepada Sultan Haji anaknya. Hal ini pun menjadikan perang saudara tidak terelakkan lagi sehingga memakan banyak korban jiwa.

Dengan bantuan VOC Sultan Haji pun dapat mengalahkan Sultan Ageng dan memenangkan perang saudara. Bantuan VOC kepada Sultan Haji tidaklah gratis, Sultan Haji membayar bantuan VOC dengan penyerahan wilayah Lampung kepada VOC dan mengganti segala kerugian VOC akibat perang saudara. Kiranya banyak contoh contoh lain kerajaan di Nusantara yang babak belur karena di adu domba oleh Belanda untuk kemudian dikendalikan sebagai daerah jajahannya.

Kita bisa belajar dari sejarah bangsa ini bahwa sesungguhnya banyak perang yang terjadi di Nusantara bukan (hanya)karena kita melawan bangsa penjajah, tapi lebih banyak melawan sesama saudara. Sebut saja Perang Jawa, Perang Padri, sampai Perang Aceh, semuanya ialah hasil politik adu domba sesama anak bangsa.

Kini, puluhan tahun berlalu setelah kita berada di zaman kemerdekaan, ternyata kebiasaan bangsa kita yang mudah diadu domba masih tetap ada meskipun kita sudah menjadi negara merdeka.

Penyebabnya masih hal yang sama, diantaranya tidak kompetennya mereka yang memegang kekuasaan di negara kita. Karena tidak kompeten dan lemahnya integritas  akhirnya mudah dipengaruhi oleh lawan lawannya. Kalau para penggedenya saja mudah diadu domba apalagi rakyat jelata.

Penyebab lainnya adalah karena karakter pemimpin Indonesia yang rata rata senang hidup mewa h, suka foya foya , gampang disogok, dan tidak malu menggunakan segala cara untuk mencapai tujuannya. Karakter pemimpin yang lemah moralnya benar -benar menjadi "alat ampuh", bagi pihak luar yang ingin merusak Indonesia. Dengan menggunakan oknum rakyat sebut saja para komprador ( para penjual negeri) sehingga Indonesia akan mudah dikuasai oleh mereka.

Warisan jaman Belanda yang masih tetap lestari di nusantara yaitu mudahnya anak anak bangsa di adu domba, tentu saja sangat memprihatinkan kita semua. Dalam kaitan ini saya menjadi teringat sebuah cerita tentang Anjing Pribumi dan Maling asal China.

Pada suatu malam, ada seorang China yang berprofesi sebagai maling, mengendap-endap mendekati kandang sapi milik penduduk pribumi Nusantara.Baru sampai beberapa meter dari kandang sapi, dia disambut oleh gonggongan beberapa anjing penjaga. Akhirnya si maling membatalkan niatnya untuk nyolong sapi di malam buta.

Tapi dasar maling China, banyak sekali akalnya..! Beberapa hari dia memutar otak, mencari cara jitu untuk mencapai target yang gagal dicapai pada kesempatan sebelumnya.Malam berikutnya dia datang lagi untuk kedua kalinya. Kali ini dia membawa rencana matang yang telah disusunnya berdasarkan hasil pengamatan beberapa hari  sebelumnya. Yaitu setelah mengamati perilaku anjing penjaga milik pribumi yang menjadi sasarannya.

Berdasarkan hasil pengamatannya, anjing penjaga ini punya dua kebiasaan yang menjadi ciri khasnya. Pertama mereka suka menjilat majikannya. Kedua mereka suka berebut makanan kesukaannya.

Berdasarkan hasil  amatannya itu maka si maling segera menerapkan strategi jitu untuk menjinakkan anjing  penjaga. Alhasil ketika si maling itu datang lagi untuk yang kedua kalinya, ia segera mempraktekkan  strateginya. Setelah dekat kandang sapi, seperti perkiraaannya, para anjing penjaga itu  mulai menggonggong dan menyalak dengan  kerasnya.

Tapi kali ini dia tidak balik kucing seperti hari sebelumnya. Dia lemparkan sepotong tulang sapi yang sudah dilumuri obat bius untuk menjinakkannya. Dan betul seperti dugaannya, para anjing pribumi tidak lagi memperhatikannya. Mereka sekarang sibuk berkelahi saling menggigit memperebutkan tulang sapi yang dilemparkannya.

Pada akhirnya si Maling  dengan santainya menuntun sapi ke luar kandang dan  membawanya pergi jauh ke luar desa. Sambil berjalan dia tersenyum-senyum riang gembira. Dari mulutnya keluar kata-kata penuh keyakinan:"Sesungguhnya, jika para anjing itu  menggonggong dan menyalak pada saat aku mencuri sapi milik majikannya, sebenarnya dia bukan ingin menjaga sapi majikannya.

Mereka cuma meminta bagian daging saja! Begitu mereka diberi, walau cuma sedikit, mereka membiarkan aku mencuri sapi dan sibuk berkelahi rebutan jatah daging yang aku lemparkan kepadanya..!".

Pecah Belah Partai

Selain faktor agama, salah satu yang mampu menggerakkan rakyat Indonesia untuk bersatu adalah melalui gerakan partai politik yang menjadi  kiblat perjuangan mereka. Karena itu sejak Indonesia merdeka, partai politik menjadi salah satu target untuk dipecah belah supaya negara ini tetap berkonflik antara golongan satu dengan yang lainnya.

Dulu dizaman Orde Lama menganut sistem multi partai yang menghasilkan 25 partai politik, yang ditandai dengan keluarnya Maklumat Wakil Presiden no.X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945.

Maklumat Wakil Presiden menyebutkan bahwa pemilihan umum untuk pemilihan anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan pada Januari 1946, tetapi pada kenyataannya Pemilu baru berlangsung pada tahun 1955. Banyaknya partai pada masa Orde Lama memudahkan pihak pihak tertentu untuk memecah belah partai yang ada. Koflik yang terjadi antar partai besar saat itu misalnya antara PKI dan Masyumi telah menyebabkan potensi perpecaan bangsa.

Pada masa Orde Baru (Orba) ditangan pemimpin otoriter Soeharto telah berhasil menyederhanakan jumlah partai menjadi hanya tiga saja. Namun meskipun jumlahnya cuma tiga ternyata tidak pernah sepi juga dari konflik antar pengurusnya yang dikipasi oleh pihak luar yang berkepentingan mengacaukannya.

Di ujung kekuasaan Orba terjadi konflik di partai PDI dengan ditandai munculnya dualisme kepemimpinan antara kubu Soeryadi dan Mega.  Golkar sendiri pada akhirnya juga pecah menjadi partai partai  baru yang sesuai dengan keinginan tokoh pencetusnya.

Partai baru bentukan kader Golkar bermunculan,seperti Partai Karya Peduli Bangsa, Partai Keadilan dan Persatuan (Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Nasional demokrat (NasDem, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan partai Berkarya.

Setelah masa reformasi seiring dengan dianutnya  sistem multi partai memang banyak lahir partai partai baru yang juga tidak pernah sunyi dari konflik yang terjadi antara para pengurusnya. Di zaman presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) misalnya telah terjadi konflik antara PKB (Partai Kebangkita Bangsa) yaitu antara kubu Gus Dur dan Muhaimin Iskandar (keponakannya).

Konflik juga terjadi di partai Demokrat setelah Anas Urbaningrum di dongkel posisinya dari Ketua Umum oleh SBY setelah kasus korupsi yang menjeratnya. Selanjutnya ketika presiden Jokowi berkuasa, yang namanya konflik antar pengurus partai bahkan cenderung meningkat kasusnya. Sebagai contoh PPP sempat terbelah pasca muktamar yang merupakan forum tertingginya.

Perpecahan di era Jokowi juga terjadi pada Partai Golkar dimana Partai Golkar yang mengadakan munas akhirnya menghasilkan kepengurusan baru di bawah Agung Laksono menyusul munas gagal yang dilaksanakan di Bali yang tetap menempatkan Aburizal Bakrie (Ical) sebagai pemimpinnya.

Gonjang ganjing juga sempat menyambangi partai Amanat Nasional (PAN) dimana meskipun sudah menghasilkan Zulkifli Hasan sebagai ketua umum baru, namun masih meninggalkan ketidakpuasan dari kubu Hatta Rajasa. Di tahun 2020 lalu, partai Berkarya juga pecah karena Ketua Umumnya Tommy Soeharto di kudeta oleh Muchdi Pr yang diduga mendapat dukungan dari  penguasa.

Diantara konflik konflik partai di era presiden Jokowi yang berbau kudeta tersebut maka yang paling menarik tentu saja peristiwa yang saat ini menimpat partai demokrat yang telah berhasil memilih Moeldoko sebagai ketua umum barunya lewat konggres luar biasa.

Maraknya konlik konflik yang terjadi di tubuh partai itu memunculkan pertanyaan sederhana. Apakah konflik itu terjadi karena hal yang alamiah saja karena adanya perbedaa kepentingan antara pengurus dalam memperebutkan kekuasaan yang ada ?  atau ada tangan tangan usil yang membuat suasana partai menjadi tidak kondusif lalu terjadi kegaduhan didalamnya ?

Siapa Dalangnya ?

Diakui atau tidak, ada tangan tangan tidak terlihat yang bermain untuk membuat gaduh partai politik di Indonesia supaya terjaga kepentingan mereka. Sinyalmen ini sangat masuk akal karena sejak awal Indonesia merdeka sebenarnya ada beberapa negara besar termasuk bekas penjajah Belanda yang sejatinya  tidak pernah ikhlas kalau Indonesia menjadi negara yang merdeka.

Rakyat Indonesia tidak boleh berdaulat dan bersatu sebab akan mengancam kepentingan mereka. Kalau rakyat Indonesia bersatu maka akan sangat kuat dan mengancam eksistensi negara lain yang selama ini mencengkeram kukunya di Indonesia. Mereka kuatir kalau rakyat  Indonesia yang mayoritas muslim ini bersatu akan menjadi bangsa yang kuat dengan kekayaan sumber daya alamnya yang luar biasa.

Kalau rakyat Indonesia bersatu dibawah kepemimpinan nasional yang kuat sudah barang tentu akan menyulitkan antek antek kaum kapitalis global untuk terus menjajah Indonesia. Itulah  sebabnya meskipun saat ini Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya raya tetapi rakyatnya masih tetap miskin karena kekayaan alamnya di curi oleh orang luar bekerjasama dengan para pengkhianat bangsa.

Karena adanya kongkalingkong antara penjajah dan antek penjajah itulah sehingga pendapatan dari sektor sumberdaya alam ini begitu kecilnya masuk kas negara. Pada hal Indonesia selama ini dikenal sebagai negara kaya raya karena sumberdaya alamnya. Fenomena ini akhirnya mengingatkan kita pada pernyataan Abraham Samad, mantan Ketua KPK. Pada saat menjabat sebagai Ketua KPK, Abraham Samad pernah menyampaikan besarnya potensi pendapatan negara Indonesia.

Sebagaimana diberitakan kompas.com , 7/9/2013,saat memberikan materi dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDI Perjuangan di Hotel Ecopark, Ancol, Jakarta, Samad menyebutkan bahwa banyak kebijakan impor yang tak jelas arahnya. Selain itu, Samad juga menyoroti lemahnya regulasi untuk melindungi sumber daya alam  Indonesia.

Ia mengatakan, dari 45 blok minyak dan gas (migas) yang saat ini beroperasi di Indonesia, sekitar 70 persen di antaranya dikuasai oleh kepemilikan mancanegara. Kondisi semakin parah karena banyak pengusaha tambang di Indonesia yang tak membayar pajak dan royalti kepada negara. Dalam perhitungan KPK, potensi pendapatan negara sebesar Rp 7.200 triliun hilang setiap tahunnya. Bila ditotal, kata Samad, pajak dan royalti yang dibayarkan dari blok migas, batubara, dan nikel pada setiap tahunnya dapat mencapai Rp 20.000 triliun nilainya.

"Bila dibagi ke seluruh rakyat, maka pendapatan rakyat Indonesia per bulan bisa mencapai Rp 20 juta," ujarnya.Namun, pendapatan sebesar itu tidak dinikmati oleh rakyat Indonesia karena dikangkangi oleh kaum kapitalis global yang mencengkeram Indonesia atas restu penguasa yang menjadi pengkhianat bangsa

Mereka inilah kelompok yang disinyalir selalu membuat gaduh suasana politik di Indonesia dengan mengacak acak partai politik yang menjadi kendaraan untuk orang bisa berkuasa. Mereka adalah para komprador penjual negara melalui kewenangan kewenangan yang dimilikinya. Mereka berselingkuh dengan agen kapitalis global untuk mengeruk kekayaan sumberdaya alam Indonesia.

Mereka kini telah menyusup ke hampir seluruh sendi sendi kehidupan bangsa mulai jajaran eksekutif, legislatif dan yudikatif bahkan termasuk kepolisian dan tentara. Mereka pada dasarnya adalah seperti serigala berbulu domba.

Mereka akan sigap menggergaji kekuatan kekuatan politik yang akan mengganggu pelaksanaan agenda agenda besarnya. Partai partai yang tidak sejalan dengan agenda besar mereka akan diamputasi atau dikerdilkan perannya. Bahkan diambil alih nakodanya agar sejalan dengan keinginan para dalang dan pion pionnya di Indonesia.

Partai-partai yang menolak pengesahan omnibuslaw cipta kerja, menolak Undang Undang Haluan Idiologi Pancasila, UU Corona, UU Minerba dan UU yang berbau kapitalis lainnya akan segera dikebiri kekuasaannya. Bisa jadi inilah yang sekarang terjadi dengan partai demokrat yang sedang dibegal ditengah jalan karena dianggap tidak sejalan dengan agenda besar pemegang kuasa.

Kiranya menjadi jelas sebenarnya siapa dalang yang selalu membuat gaduh situasi politik di Indonesia. Bisa dirasakan dan dipahami keberadaannya namun beresiko kalau sampai menyebutkan nama namanya karena di negara ini kebebasan berpendapat masih belum dilindungi sepenuhnya sebagaimana amanat Undang Undang Dasar 1945. Kecuali terhadap mereka yang sejalan dengan kebijakan kebijakan penguasa. Apakah memang demikian kenyataannya ?

 

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar