PKS Pertanyakan Pelibatan Swasta dalam Program Vaksin Mandiri

Minggu, 14/02/2021 16:40 WIB
Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKS, Netty Prasetiyani. (Foto: dpr.go.id).

Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKS, Netty Prasetiyani. (Foto: dpr.go.id).

Jakarta, law-justice.co - Pemerintah mempertimbangkan vaksin mandiri atau gotong royong untuk meringankan pembiayaan dan mempercepat tercapainya imunitas kolektif (herd immunity). Sekitar 26 juta karyawan BUMN dan swasta akan mendapat prioritas vaksinasi setelah tenaga kesehatan dan tenaga pelayanan publik.

Anggota Komisi Kesehatan (Komisi IX) DPR RI, Netty Prasetiyani Aher, mempertanyakan motif di balik usulan pelibatan swasta dalam pelaksanaan vaksinasi mandiri. Pasalnya, isu vaksin mandiri oleh BUMN pernah mencuat di awal program vaksinasi. Namun hal itu ditepis oleh pemerintah dengan menyampaikan secara terbuka bahwa vaksinasi gratis untuk seluruh rakyat Indonesia.

"Jika sekarang muncul lagi isu melibatkan sektor swasta untuk mengadakan dan melaksanakan vaksinasi secara mandiri atau gotong royong, saya perlu mempertanyakan apa motif dibalik usulan tersebut? Benarkah untuk meringankan biaya dan mempercepat kekebalan kolektif, atau ada motivasi lain? Demi asas keadilan, jangan sampai ada motif terselubung," ujarnya dalam keterangan tertulis, Ahad (14/2/2021).

Politikus Partai Keadilan Sejahtera ini menuturkan, pemerintah telah menugaskan Kementerian Kesehatan untuk menyelesaikan program vaksinasi dalam masa satu tahun dengan target, sasaran, dan strategi vaksinasi yang terukur. Ia pun meminta pemerintah fokus pada target tersebut agar kinerja Kementerian Kesehatan dalam program vaksinasi ini terukur dengan jelas.

"Wacana vaksin mandiri, selain membuat pemerintah tampak plin plan dalam membuat kebijakan, juga berpotensi mencederai rasa keadilan masyarakat sebagai penerima vaksin. Jangan sampai ada kesan pemerintah meninggalkan masyarakat miskin yang tidak mampu membayar vaksin," katanya.

Apalagi, lanjut Netty, hingga saat ini belum ada payung hukum yang mengatur tentang vaksin mandiri, kecuali terkait proses pengadaan yang dapat dilakukan oleh badan usaha dengan menggunakan Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020.

Peraturan ini memberi ruang pengadaan vaksin, termasuk jenis dan jumlahnya, melalui penunjukan langsung badan usaha penyedia, bahkan melalui kerjasama dengan lembaga/badan internasional dengan persetujuan Menteri Kesehatan.

"Jangan sampai pemerintah memainkan celah hukum tersebut untuk memberikan prioritas pada kelompok pengusaha yang memiliki dukungan finansial dan mengabaikan masyarakat lainnya. Apalagi jika di dalamnya ada motif tersembunyi berupa mengambil keuntungan di tengah kesulitan," jelasnya.

Legislator dari daerah pemilihan Jawa Barat VIII ini juga mengkritisi rilis media Kamar Dagang Indonesia yang menyatakan perusahaan farmasi swasta dalam negeri berpeluang menjadi importir vaksin untuk program Vaksinasi Gotong Royong dengan mendatangkan dari beberapa produsen di seluruh dunia, kecuali Sinovac.

"Skema pengadaan vaksin di Indonesia sudah jelas. Selain EUA, ada juga standar kehalalannya. Sejauh ini baru Sinovac yang dapat approval BPOM dan MUI. Jangan sampai dengan dalih mempercepat, justru merusak skema dan tata aturan vaksin," ujar Netty.

Netty mengingatkan pentingnya satu komando dalam program vaksinasi. Negara, kata dia, harus memastikan program vaksinasi berada dalam kendali satu pintu agar transparan, mudah dievaluasi, dan dilakukan pengawasan.

"Jangan sampai kran vaksin mandiri ini menimbulkan ‘potong kompas’ pengusaha dengan beli langsung dari produsen. Akibatnya, potensi konglomerasi dan komersialisasi sangat terbuka. Jika sudah masuk skema konglomerasi, bagaimana nasib rakyat miskin untuk mendapat vaksin?," kata dia.

(Muhammad Rio Alfin\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar