Salah Kelola Bisnis Perkebunan Negara

Patgulipat Akali dan Kuasai Aset PTPN, Aparat Hukum Belum Bertindak

Sabtu, 30/01/2021 09:47 WIB
Kebun teh Cukul merupakan salah satu perkebunan teh di daerah pangalengan jawa barat indonesia, yang memiliki pemandangan indah ketika sunrise (Foto: Kerildoank).

Kebun teh Cukul merupakan salah satu perkebunan teh di daerah pangalengan jawa barat indonesia, yang memiliki pemandangan indah ketika sunrise (Foto: Kerildoank).

Jakarta, law-justice.co - Holding perkebunan memiliki aset jutaan hektare dengan nilai lebih dari puluhan triliun yang menyebar dari Sumatera, Kalimantan, Jawa hingga Sulawesi. Namun, hingga kini pengawasan pengelolaan aset dan anggaran tidak pernah beres, BPK berkali-berkali memberikan peringatan soal efisiensi anggaran dan pengelolaan aset. Namun, seperti kisah goliath, penegak hukum dibuat tak berdaya menindak maling aset dan anggaran perusahaan perkebunan nusantara milik negara tersebut.

Dari data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) ada ratusan daftar konflik lahan PTPN yang hingga kini masih bermasalah. Kebanyakan kasus lahan tersebut berlokasi di Sumatera Utara.

Kepala Departemen Advokasi Kebijakan KPA, Roni S. Maulana, mengatakan bahwa konflik agraria terkait penguasaan Hak Guna Usaha (HGU) PTPN di berbagai daerah masih terus terjadi. Pada saat yang sama, pemerintah masih kurang memberi perhatian dalam penyelesaian konflik.

Roni mengungkap, pemerintah banyak berdalih saat didesak mengatasi konflik tersebut. Ia mencontohkan belum adanya pelepasan aset dari pihak perusahaan hingga masih adanya keberatan dewan direksi untuk melepaskan aset.

Sedangkan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang /Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mencatat ada 73 kasus yang terkait konflik lahan milik PTPN. Direktur Jenderal Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan Kementerian ATR/BPN Agus Widjayanto mengatakan, dari total kasus tersebut, sebanyak 55 kasus tengah dalam proses penanganan. Sementara kasus yang baru ditangani baru sebanyak 18 kasus.

Berdasarkan data yang Law-Justice peroleh dari Kepala Subdirektorat Konflik Kementerian ATR/BPN, terdapat 51 lahan yang tengah dalam proses penanganan, di mana satu di antaranya sedang menjalani upaya hukum peninjauan kembali oleh PTPN II. Adapun kasus konflik agraria yang telah selesai ditangani lembaga tersebut tidak begitu signifikan, jumlahnya hanya 5 kasus.


Data penyelesaian konflik agraria Kementerian ATR/BPN (1)

Hal ini sangat jauh berbeda dengan kasus konflik tanah yang ditemukan oleh KPA. Hingga 2021, KPA mencatat ada 152 Desa yang menjadi titik lokasi terjadinya konflik agraria di seluruh Indonesia. Secara keseluruhan lahan bermasalah tersebut mencapai luas 277,133 hektar yang terhampar di 8 provinsi dan 26 kabupaten di Indonesia.

"Ini bukan sekadar hasil pendataan, namun lokasi di mana lokasi-lokasi reklaiming para petani yang didapati pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab (kepada) para petani yang terancam," ungkapnya.

Menanggapi data dari Kementerian ATR/BPN tersebut, Roni menyebut pemerintah memang mengklaim sudah menyelesaikan konflik agraria. Namun, kata dia, seringkali penyelesaian konflik hanya terjadi di tingkat elit, yakni PTPN dan BPN, tanpa menyentuh langsung masyarakat yang terdampak.

"Contohnya di Sumut. Tahun lalu ada pelepasan HGU PTPN II di Deli Serdang, Medan, dan Langkat. Namun itu hanya mainan Gubernur, PTPN dan BPN. Jadi petani yang sudah menguasai tanah harus membeli tanah yang akan diredistribusikan jika mau masuk ke dalam daftar nama calon penerima tanah tersebut. Dan yang melakukan jual belinya oknum PTPN sendiri," ujar Roni.

"Artinya, bukan benar-benar redistribusi tanah. Tapi tetap saja itu diklaim sebagai penyelesaian konflik," ujarnya.

Rawan Bancakan dan Korupsi
Lembaga Anti Korupsi Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak aparat penegak hukum untuk lebih memantau potensi korupsi yang terjadi di sektor perkebunan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Peneliti ICW Egi Primayogha mengatakan, PTPN merupakan salah satu perusahaan pelat merah yang rawan terjadi kongkalikong dan tindak pidana korupsi karena jumlah asetnya yang besar.


Data penyelesaian konflik agraria Kementerian ATR/BPN (2)

PTPN sering tersandung kasus korupsi suap menyuap dan pengadaan barang dan jasa. Terbaru, KPK tengah menyelidiki dugaan korupsi pengadaan mesin penggiling gula di PTPN XI.

“Sudah banyak kasus-kasus korupsi yang berkaitan dengan isu perkebunan dan BUMN. Ini menunjukkan dua wilayah tersebut merupakan lahan basah dan menjadi area yang rawan korupsi. Berkali-kali juga terdapat dugaan kasus korupsi di tubuh PTPN,” kata Egi kepada Law-Justice.

ICW bersama Koalisi Anti Mafia Hutan pernah melakukan investigasi terhadap 5 kasus korupsi di Sumber Daya Alam pada 3 provinsi yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan.

Korupsi pada sektor sumber daya alam tersebut yang terbagi atas Dugaan Korupsi PTPN VII (cinta manis) di Sumatera Selatan; Dugaan korupsi Pemberian IUPHHK-HTI di kawasan Hutan Rawa Gambut Merang-Kepayang; Dugaan gratifikasi proses penerbitan izin usaha pertambangan di Kota Samarinda; Dugaan korupsi Alih Fungsi Kawasan Hutan Lindung menjadi Perkebunan Sawit Di Kabupaten Kapuas Hulu; dan Dugaan korupsi penerbitan izin IUPHHK-HTI PT di Kalimantan Barat.

Dari lima kasus tersebut sekurang-kurangnya terjadi potensi kerugian negara mencapai Rp1,92 triliun. Praktik suap menyuap dengan nilai sekitar Rp4 miliar melibatkan belasan orang, mulai dari tingkat pejabat kementerian, kepala daerah, hingga perusahaan.

“Aparat penegak hukum perlu mengambil peran. Kalau dugaan korupsinya telah terendus sejak lama dan terjadi berkali-kali, semestinya langsung aktif mengambil tindakan agar kasus-kasus korupsi tidak terjadi lagi ke depan,” kata Egy.

ICW juga mempertanyakan kinerja Holding PTPN III yang dinilai belum maksimal menyelesaikan konflik lahan dan mencegah tindak pidana korupsi. Sejak dibentuk pada 2014, Holding PTPN III tidak luput dari catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

“Holding sendiri kan dibentuk untuk membuat pengelolaan BUMN menjadi lebih baik. Agar ada peningkatan kinerja, koordinasi yang lebih baik dan sebagainya. Termasuk mempersempit celah penyelewengan dan perburuan rente. Namun ketika yang terjadi justru sebaliknya, pemerintah perlu evaluasi agar bisa mengetahui persis titik-titik lemahnya,” imbuh Egi.


Data penyelesaian konflik agraria Kementerian ATR/BPN (3)

Sementara itu, Kejaksaan Agung yang berperan sebagai penindak korupsi kedua setelah KPK, mengaku tidak menangani secara langsung setiap konflik-konflik lahan dan tindak pidana korupsi yang melibatkan PTPN. Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Febrie Adriansyah, mengatakan mayoritas pengaduan kasus soal lahan PTPN diserahkan sepenuhnya ke Kejaksaan di tingkat daerah.

"PTPN belum ada yang kita tangani. Kebanyakan pengaduan terkait lahan PTPN kita teruskan ke daerah untuk tindak lanjutnya," katanya kepada Law-Justice, Senin (25/1/2021) lalu.

Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia Toto Pranoto mengatakan, PTPN saat ini dihadapkan pada masalah sebagian aset off farm yang sudah menua dan tidak efisien. Misalnya pabrik gula, banyak banyak menggunakan mesin-mesin tua peninggalan Belanda.

“Sementara di on farm, mereka dihadapkan pada masalah lambatnya peremajaan pada beberapa jenis tanaman kebun. Hal ini membuat produktivitas menjadi terganggu,” kata Toto kepada Law-Justice beberapa waktu lalu.

Jika kemudian PTPN juga memiliki hutang besar namun tidak tercermin di produktivitas kebun dan hasil produksi, lanjut Toto, berarti ada masalah serius di sektor investasi dan aset-asetnya.

“Jadi memang persoalan di holding PTPN ini agak ruwet. Ke depan, fungsi holding harus lebih bisa proaktif dalam membuat value creation atas potensi sinergi yang ada di group holding perkebunan ini,” ucap Toto.

Anggaran Besar Vs Kinerja Buruk
Beberapa waktu lalu, Kementerian Pertanian (Kementan) secara resmi telah melakukan pengalihan Barang Milik Negara (BMN) miliknya senilai kurang lebih Rp6 triliun sebagai penambahan Penyertaan Modal Negara (PMN) Republik Indonesia kepada Holding Perkebunan Nusantara PTPN III (Persero), melalui anak usahanya PT Riset Perkebunan Nusantara (RPN). Pengalihan aset tersebut sesuai dengan terbitnya PP Nomor 79 Tahun 2019 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara ke dalam holding PTPN III.

Penyerahan BMN tersebut untuk dipergunakan terutama di bidang penelitian, pengembangan, dan penyediaan benih perkebunan. Rincian aset tersebut di antaranya tanah untuk kebun percobaan, bangunan gedung laboratorium permanen, instalasi, hingga alat dan mesin.

Pengalihan aset tersebut dikritisi oleh DPR, yakni oleh Anggota Komisi IV DPR RI Slamet yang mengatakan kalau pengalihan aset tersebut membuat pengelolaan aset tersebut bisa dikelola tanpa terikat lagi dengan regulasi pemerintah apapun, termasuk jika aset itu mau dijual pun bisa.

“Kita harus hati-hati dalam soal pengalihan aset negara ini, karena prediksi saya nanti aset tersebut akan dijual untuk membayar hutang PTPN yang saat ini sudah berjumlah 42 triliun,” kata Slamet saat dihubungi, Senin (25/01/2021) lalu.

Politisi PKS tersebut menyatakan metode penjualan dilakukan dengan cara lelang harga yang lebih rendah. Hal tersebut secara tidak langsung membuat aset akan berpindah ke pihak korporasi secara cuma-cuma dengan harga yang murah.

“Berdasarkan PP No.79/2019 tentang Penambahan Penyertaan modal negara kedalam modal saham perusahaan Perseroan PTPN III (holding), artinya pengalihan aset dari barang milik negara pada Kementerian Pertanian senilai Rp 6 triliun lebih, yaitu berupa tanah sebanyak 112 persil seluas lebih dari 7.000 hektare lebih, bangunan sebanyak 437 unit seluas 6,2 hektare, peralatan dan mesin sebanyak 7.200 unit, jalan, irigasi, dan jaringan sebanyak 224 unit, aset tetap lain (tanaman) sebanyak 8.014 unit," ungkapnya.


Lahan perkebunan sawit milik PTPN XIII (Foto:PTPN XIII).

Slamet jelas sangat mengkritisi pengalihan aset dari Kementan ke PTPN III tersebut karena bisa membuat Kementan kehilangan aset dari dunia pertanian. Hal tersebut bertentangan dengan fokus pemerintah yang ingin memperbesar kemampuan dalam peningkatan produksi untuk kedaulatan pangan.

“Justru Kementan punya kelemahan pada riset dan pengembangan untuk mencari jawaban kenapa negara lain bisa lebih efektif dan efisien dalam produksi pertanian mereka. Tapi pengalihan aset ini malah menyerahkan asetnya dalam rangka menguatkan riset dan pengembangan PTPN, saya tidak mengerti logika Kementan,” tandasnya.

Selain itu ia juga meminta lembaga penegak hukum untuk terus melakukan pemantauan terhadap pengalihan aset tersebut. Sebab jumlah pengalihan aset tersebut sangat besar.

"Tentu (harus melakukan pemantauan terhadap pengalihan aset tersebut)," pungkasnya.

Sementara itu, untuk pengawasan sendiri Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan pengawasan kepada PTPN III dalam bentuk penanganan upaya pencegahan korupsi. KPK bersama Holding Perkebunan Nusantara PTPN III (Persero) menandatangani perjanjian kerja sama penanganan pengaduan masyarakat dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Program ini merupakan upaya pencegahan dalam rangka pemberantasan korupsi bisa berjalan di lingkungan BUMN.

Direktur Utama Holding Perkebunan Nusantara PTPN III (Persero) Mohammad Abdul Ghani menjelaskan perjanjian kerja sama ini untuk membantu PTPN Group dalam meningkatkan efektivitas dan efisiensi penanganan pengaduan masyarakat yang telah diterapkan dan dikembangkannya layanan pengaduan online atau melalui aplikasi komunikasi lainnya, nantinya akan terintegrasi dengan KPK.

"Kerja sama ini memudahkan koordinasi dan memonitoring penanganan pengaduan masyarakat terkait tindak pidana korupsi oleh KPK serta menghindari duplikasi penanganan. Ruang lingkup kerja sama ini berlaku juga bagi anak perusahaan Perkebunan Nusantara Group,” ujar Ghani.

Korupsi PTPN XI
Saat ini, KPK melalui plt juru bicaranya Ali Fikri mengatakan bila saat ini KPK sedang melakukan penyidikan kasus korupsi pengadaan dan pemasangan "six roll mill" atau mesin penggilingan tebu di Pabrik Gula (PG) Djatiroto PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI Periode Tahun 2015-2016.

Ali menyatakan kalau KPK telah melakukan pemeriksaan kepada beberapa saksi untuk kasus tersebut. Pada Senin (25/01/2021), KPK telah memeriksa dua saksi yaitu Direktur Utama PT Nusantara Sebelas Medika Flora Pudji Lestari dan Project Manager PT Wahyu Daya Mandiri Aries Budianto.

"Aries Budianto dikonfirmasi mengenai barang bukti yang telah dilakukan penyitaan diantaranya berbagai dokumen pengeluaran operasional PT WDM sebagai rekanan PTPN XI untuk pengadaan "six roll mill" Tahun 2015-2016," kata Ali saat dikonfirmasi.

Selain kedua saksi tersebut, terdapat satu saksi yang tidak memenuhi panggilan pada pada Senin (25/01/2021), yakni Staf Administrasi PT WDM Imam Suyuti. Ketidakhadiran saksi ketiga tersebut tanpa diketahui penyebabnya dan KPK akan lakukan pemanggilan kembali kepada Imam Suyuti.

"Tidak hadir dan tanpa konfirmasi serta akan dilakukan pemanggilan kembali. KPK mengimbau kepada yang bersangkutan untuk kooperatif hadir memenuhi pemanggilan yang akan segera dikirimkan oleh tim penyidik," tambah Ali.

Terbaru,KPK juga telah melakukan pemanggilan kepada Sekretaris perusahaan PTPN XI Agus Priambodo sebagai saksi pada kasus tersebut, pada Jumat (29/01/2021).

KPK juga melakukan pemanggilan terhadap dua saksi lainnya yakni Didi Natapratama selaku Property Advisor Brighton Real Estate dan Febrian Bagus Prakerti seorang wiraswasta.

"Pemeriksaan ketiganya dilakukan di Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi Jl Kuningan Persada Kav.4, Setiabudi, Jakarta Selatan," ujar Ali saat dikonfirmasi, Jumat (29/01/2021) lalu.

Namun, Ali menyatakan bila KPK belum bisa menginformasikan lebih lanjut siapa saja yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus PTPN XI tersebut.

Sebagaimana kebijakan pimpinan KPK bahwa untuk publikasi konstruksi perkara dan pihak-pihak yang telah ditetapkan sebagai tersangka akan dilakukan pada saat telah dilakukan upaya paksa baik penangkapan maupun penahanan terhadap para tersangka.

Sementara ketika dikonfirmasi ke PTPN III selaku Holding Perusahaan BUMN PTPN terkait kasus tersebut, pihak PTPN III belum memberikan konfirmasi terkait pengawasan yang dilakukan kepada PTPN XI.

Jaringan Penguasa dan Pengusaha di PTPN VIII
PTPN VIII yang menguasai wilayah perkebunan di Jawa Barat diisi oleh beberapa tokoh terkenal yang dekat dengan penguasa dan pengusaha. Maklum saja, PTPN VIII berada dekat dengan ibu kota Jakarta dan memiliki perkebunan yang luas membentang dari Kabupaten Bogor, Kota Bogor hingga ke wilayah Tasikmalaya. Dengan memiliki tanaman perkebunan teh, karet, kopi hingga sawit.

Di wilayah kabupaten Bogor sendiri, PTPN VIII banyak bersentuhan dengan wilayah wisata dan banyak lahan yang beralih fungsi menjadi wilayah villa mewah milik penguasa dan pengusaha.

Yang terakhir, manajemen PTPN VIII mengirimkan 27 pelaporan terkait penyerobotan lahannya. Para terlapor berlatar belakang perusahaan hingga individu ini diduga menguasai lahan atau sertifikat hak guna usaha (HGU) untuk membangun beragam jenis bangunan.

Pelaporan disampaikan ke Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jawa Barat. Lahan yang menjadi masalah berada di tiga desa di Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor dalam satu hamparan HGU, yakni Sukaresmi, Citeko dan Desa Kuta.

Kuasa Hukum PTPN VIII, Ikbar Firdaus mengatakan kliennya memiliki Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU) di Megamendung dengan nomor 274, 294, 299, dan 300. Selama ini sertifikat itu telah digunakan diduga secara ilegal untuk pendirian perumahan, perkebunan bahkan pesantren.

Ada beberapa lahan yang berada di dekat pesantren milik Rizieq Syihab. Luas lahan yang dikuasai para terlapor rata-rata menguasai hampir 20 hektare milik PTPN.

"Perorang bisa hampir 20 hektar, ada yang 4 hektar ada yang 3 hektar gitu, tapi rata-rata memang menonjol," kata dia di Mapolda Jabar, Jumat (29/1).


Lahan perkebunan teh milik holding perkebunan nusantara (Foto:PTPN VIII)

Jika melihat besarnya aset dan nilai lahan yang dimiliki PTPN VIII pantas saja Menteri BUMN Erick Thohir memasang orang yang memiliki pengalaman dalam beberapa strategi untuk melawan penyerobotan lahan. Tak tanggung-tanggung, komisaris PTPN VIII diisi tokoh Badan Intelijen Negara (BIN) seperti Gaguk Susatio.

Gaguk Susatio lahir di Jakarta, 5 Januari 1961, Lulusan Akademi Militer Diploma III/D3 AKABRI, Pasca Sarjana /S2 STM IMMI. Berdasarkan Keputusan Menteri badan Usaha Milik Negara dan Direktur Utama Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perkebunan Nusantara III Nomor : SK-180/MBU/08/2019 dan DSDM/SKPTS/R/110/2019 beliau menjabat Komisaris PTPN VIII (2019 – Sekarang).

Selain sebagai Komisaris, Gaguk juga menjabat Staf Ahli Bidang Ideologi & Politik BIN dan pengalaman beliau pernah menjadi Direktur Kontra Separatisme – Deputi Kontra Intelijen BIN. Penghargaan Satyalancana VIII, XVI, XXIV , Satyalancana Seroja, Satyalancana GOM VIII, Satyalancana Bhakti, Satyalancana Dwidya, Satyalancana Dharma Nusa, Bintang Kartika Eka Pankci Naraya, Bintang Yudha Dharma Naraya.

Tak hanya itu ada juga Hanoeng Soeryo Soetikno yang menduduki jabatan sebagai Komisaris Utama di PTPN VIII. Hanoeng lahir di Palembang 3 Agustus 1955. Meraih Gelar Masters Of Business Administration Majoring in Finance Graduated From California State University At San Bernardino – USA (1989) dan Sarjana Teknik Mesin Universitas TRISAKTI (1984).

Berdasarkan Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Direktur Utama Perseroan (Persero) PT Perkebunan Nusantara III Nomor SK-334/MBU/10/2020 dan DPPS/SKPTS/R/ 209 /2020 beliau menjabat Komisaris Utama PT Perkebunan Nusantara VIII (2020 – sekarang). Selain itu beliau menjabat di Makasar Law Firm (s.d sekarang). Pengalaman beliau pernah menjabat Direktur PT. KSB Barito Pasific Group (2004), Direktur PT Endrapura Swarna Waja (2019) dan Direktur PT. GPTM co owner Bank Pelita Bank BSB (1991).

Selain dikenal sebagai praktisi perkebunan dan pengusaha perkebunan, berdasarkan sumber Hanoeng juga dekat dengan jaringan partai pengusung pemerintah Nasdem. Dia juga diduga menjadi fungsionaris partai tersebut.

Sedangkan Komisaris Independen diisi oleh Adrian Zakhary Komisaris PTPN II (2020), CEO PT Visualogy Teknologi (2018 – 2020), Pemimpin Redaksi & COO Verta TV & vertanews.id (2019), Senior Consultant Digital Marketing & Pengembangan Bisnis Douyu di Asia Tenggara (2018), Senior Manager Business Dev & Product Operation Alibaba Group (2017 – 2018), Executive Producer (Section Head) MNC Group (2016 – 2017), Jurnalis & Produser TV & Product Manager di NET TV (2012 – 2016), Jurnalis, Creative & Live Presenter di Trans TV (2010 – 2012).

Namun mampukah mereka menjaga dan menindak maling aset yang selama ini menggerogoti aset lahan milik PTPN VIII yang banyak beralih fungsi dan beralih kepemilikan?

Kontribusi Laporan : Januardi Husin, Alfin Pulungan, Ghivary Apriman

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar