Supriyanto Martosuwito, Pemerhati Seni Budaya

Eks Gubernur Termiskin Vs Mal Milik Orang Terkaya (Djarum) Indonesia

Minggu, 24/01/2021 09:11 WIB
Henk Ngantung Eks Gubernur DKI Jakarta (Solopos.com)

Henk Ngantung Eks Gubernur DKI Jakarta (Solopos.com)

Jakarta, law-justice.co - Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan Mal Grand Indonesia telah melanggar hak cipta karena menggunakan tanpa ijin sketsa "Tugu Selamat Datang" sebagai logo mal dari  karya almarhum seniman. Henk Ngantung

PN Jakarta Pusat pun menghukum mal di dekat Bundaran Hotel Indonesia itu dengan membayar ganti rugi sebesar Rp 1 miliar kepada ahli waris Henk Ngantung selaku pemegang hak cipta "Tugu Selamat Datang". Demikian `Kompas` memberitakan, Rabu (20/1) kemarin.

Mal Grand Indonesia merupakan aset PT Djarum, milik Budi Hartono, orang terkaya di Indonesia dengan aset mencapai Rp. 200 Triliun. Sedangkan Henk Ngantung adalah Gubernur Jakarta (1964-1965) paling miskin dan paling merana di ibukota di hari tuanya.

Dia diberhentikan karena latar belakanganya sebagai seniman Lekra dan kedekatannya dengan Bung Karno.  Dan setelah meninggal, karya sketsanya dicomot tanpa izin oleh mal milik orang paling kaya di negeri ini. 

Menurut `Kompas`,  sketsa yang menampilkan sepasang pria dan wanita melambaikan tangan, menyambut orang datang ke Jakarta - adalah salah satu "magnum opus" Henk Ngantung sepanjang hayatnya.

Selain sketsa "Selamat Datang" Henk  juga membuat sketsa "Pembebasan Irian Barat"  yang  juga dijadikan monumen oleh seniman pematung Edhy Sunarso dan menghiasi di Lapangan Banteng - hingga kini.

Sebelum ditunjuk menjadi orang nomor satu di Jakarta almarhum adalah seorang pelukis dan aktifis di organisasi para seniman. Karya lain Henk Ngantung adalah logo Pemprov DKI yang juga masih dipakai di kantor kantor pemerintah dan menjadi emblem di bahu seragam semua PNS ibukota.

Di hari tuanya seniman dan Gubernur pecatan Orde Baru ini menjalani hidup tanpa uang pensiun, miskin, sakit sakitan hingga buta (akibat glukoma) karena tak mendapat pengobatan sepatutnya. Sedangkan anak anaknya kesulitan mencari kerja karena dianggap "anak PKI".

Sebelum ditunjuk menjadi Wakil Gubernur (1960-64) dan Gubernur Jakarta (64-65), Henk Ngantung adalah seniman pelukis dan pengurus di Lekra. Dia bersahabat dengan Chairil Anwar, Asrul Sani, Bung Karno dan Nyoto.

Aktivitasnya di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dianggap dekat dengan PKI membuat karier politik Henk Ngantung tamat pasca-terjadinya Gerakan 30 September (G30S) 1965.

Sebagaimana Bung Karno yang menjalani tahanan rumah dan sakit-sakitan hingga ajal menjemput, seniman pelukis dan gubernur itu pun wafat mengenaskan pada 12 Desember 1991 di usia 70 tahun.

HENDRIK HERMANUS JOEL Ngantung merupakan putra dari pasangan Arnold Rori Ngantung dan Maria Magdalena Kalsun. Lahir 1 Maret 1921 di Manado. Orang tuanya adalah pegawai pemerintah Belanda. Ia mulai melukis sejak usia 13 tahun, dan memperdalam ilmu melukisnya di tahun 1937 ketika ia menetap di Bandung, Jawa Barat.

Salah satu guru melukisnya adalah pelukis terkenal asal Austria, Rudolf Wengkart. Kejeniusannya di bidang seni lukis dibuktikannya ketika menggelar pameran lukisan tunggal di Manado, tahun 1936, atau ketika ia berumur 15 tahun.

Pada 1944, Henk Ngantung hijrah ke Batavia atau Jakarta yang saat itu masih menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda. Di ibukota, Henk bergiat di Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi). Di sini pula, ia mulai berinteraksi dengan pelukis kenamaan, Sudjojono.

November 1946, Henk Ngantung menjadi salah satu pendiri Gelanggang Seniman Merdeka yang menghimpun kaum seniman Angkatan 45, termasuk Chairil Anwar, Baharuddin M.S., Mochtar Apin, Basuki Resobowo, Asrul Sani, dan lainnya.

Henk juga dikenal sebagai pelukis yang mengilustrasikan berbagai peristiwa sejarah penting di Republik ini dalam bentuk lukisan sketsa. Beberapa peristiwa sejarah tersebut antara lain Perundingan Linggarjati dan Perundingan Renville.

Sebagian lukisan sketsa bersejarah ini didokumentasikan dalam buku “Sketsa-Sketsa Henk Ngantung dari Masa ke Masa”, yang diterbitkan oleh Sinar Harapan pada tahun 1981.

Karya lukisan Henk yang kebanyakan bernuansa realis menarik minat Bung Karno. Sampai-sampai Presiden pertama RI itupun menjadikan beberapa karya Henk sebagai bagian dari koleksi lukisannya.

Henk Ngantung bahkan membuat lukisan “Memanah" dengan Bung Karno sebagai modelnya. Dua karya ini menjadi koleksi Bung Karno. Pada Agustus 1948, Henk Ngantung menggelar pameran di Gedung Taman Siswa Kemayoran & Hotel Des Indes di kawasan Harmonie - Jakarta.

Henk, dekat dengan kelompok kiri yang beraliran seni realisme. Saat itu berkembang jargon/semboyan, "Seni untuk Rakyat - bukan Seni untuk Seni". Henk Ngantung tercatat sebagai Sekretaris Umum Lekra, wadah kebudayaan yang disebut-sebut dekat dengan PKI. Ia juga menjabat salah Ketua Lembaga Seni Rupa (Lesrupa) yang merupakan bagian dari Lekra.

Menurut kesaksian Evelyn Mamesah isteri almarhum, “Bergabungnya pak Henk ke Lekra semata-mata karena kecintaannya terhadap seni," katanya. Sedangkan Iwan Simatupang, sastrawan asal Sibolga yang pada masa itu mengambil sikap anti komunis, menganggap bergabungnya Henk ke Lekra karena persahabatan Henk dengan Njoto, tokoh PKI yang juga pendiri Lekra.

Kedekatannya dengan Bung Karno mengantarkannya pada jabatan Ketua Seksi Dekorasi dalam Panitia Negara Penerimaan Kepala-Kepala Negara Asing pada tahun 1957.

Kiprahnya di bidang seni itu pula yang membuatnya memperoleh kepercayaan untuk menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung mewakili Golongan Karya Seniman pada masa Demokrasi Terpimpin.

Pada tahun 1960, Henk dipilih oleh Bung Karno menjadi Wakil Gubernur (Wagub) mendampingi Gubernur DKI Jakarta ketika itu, Soemarno. Saat Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games 1962, Henk Ngantung ditugasi merancang karya berupa sketsa "Selamat Datang". Sedangkan rekannya di Lekra,  seniman Edhi Sunarso mewujudkannya sebagai karya patung di bunderan Hotel Indonesia lengkap dengan air mancurnya.

Pada puncak karirnya Henk Ngantung menjadi salah satu seniman papan atas tanah air yang dekat dengan Presiden. Henk Ngantung diangkat sebagai Gubernur Jakarta untuk menggantikan Soemarno yang naik jabatan menjadi Menteri Dalam Negeri.

Oleh Bung Karno, dengan latar belakang senimannya ia ditugasi menjadikan Jakarta sebagai "Kota Budaya".  "Henk kota ini harus jadi Kota Internasional, harus lebih berbudaya ketimbang New York - yang kota PBB itu. Kota Djakarta akan aku jadikan kota dunia `Negara-Negara Kekuatan Baru, New Emerging Forces" begitu amanat Bung Karno.

Henk langsung menyusun `blue print` kota Djakarta yang penuh dengan hasil karya seni di tiap sudutnya, Bung Karno dengan sigap menandatangani.

SAAT BUNG KARNO jatuh dia pun kena imbasnya. Jabatannya dicopot. Cap lekra dn PKI melekat padanya. Kehidupan  Henk pun morat marit. Tak mendapatkan pesangon dan pensiun, mengalami krisis finansial yang cukup parah sehingga ia harus menjual rumahnya di Tanah Abang dan kemudian pindah ke perkampungan di Jl. Dewi Sartika, di kawasan Cawang - Jakarta Timur - yang masa itu masih pinggiran.   

Henk melanjutkan hidup dan mencari nafkah dengan melukis meski digerogoti penyakit jantung dan glaukoma yang membuat mata kanan buta dan mata kiri hanya berfungsi 30 persen.

Pada akhir 1980-an, dia melukis dengan wajah nyaris melekat di kanvas dan harus dibantu kaca pembesar. Henk Ngantung menjadi gubernur yang terlupakan, bersama mimpi Sukarno tentang pusat kota budaya  dunia yang juga dilupakan.

Ibukota Jakarta menjelma menjadi kota kapitalis yang melahirkan banyak Konglomerat. Antara lain Budi Hartono yang salahsatu unit usahanya mencomot sketsa karya seniman dan gubernur termiskin di ibukota sebagai logo properti malnya.

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar