Sengkarut Uang Negara di LPEI

Bisnis Mafia Bank Ekspor, Aparat Hukum Diam Saja?

Sabtu, 16/01/2021 12:00 WIB
Kantor LPEI (Foto: Givari Apriman/Law-Justice)

Kantor LPEI (Foto: Givari Apriman/Law-Justice)

[INTRO]

Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) memiliki catatan merah dari BPK karena merugi Rp 4,7 triliun pada tahun 2019. Suntikan dana Penyertaan Modal Negara terus diguyur kepada lembaga tersebut. Anehnya, baik KPK atau Kejaksaan Agung belum aktif menindaklanjuti upaya hukum  terkait potensi kerugian negara.

Anjloknya pertumbuhan ekonomi di kuartal II-2020 yang merosot hingga minus 5,32 persen (yoy), membuat pemerintah berupaya mendongkrak ekonomi di kuartal III-2020 dengan menggenjot program pemulihan ekonomi nasional (PEN).

Realisasi PEN itu dilakukan salah satunya melalui skema Special Mission Vehicles atau SMV, dengan cara menempatkan modal ke perusahaan-perusahaan BUMN dan lembaga lainnya. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Bank Exim Indonesia tercatat sebagai salah satu yang mendapatkan suntikan modal tersebut.

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 2020, LPEI mendapatkan penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp 5 Triliun, dengan perincian sebesar Rp 4 triliun untuk meningkatkan kapasitas usaha LPEI dan Rp 1 triliun untuk melaksanakan penugasan khusus, dimana LPEI ditugaskan untuk penjaminan korporasi dalam rangka penyelenggaraan program ekspor nasional.

Apakah betul BUMN ini meningkatkan kontribusi terhadap PDB nasional? Ini perlu sebagai bahan evaluasi bahwa kekayaan negara yang dipisahkan benar-benar dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

LPEI sebelumnya tercatat merugi Rp 4,7 triliun pada tahun 2019. Nilai kerugian yang besar itu memunculkan pertanyaan apakah lembaga tersebut mampu mengakselerasi PEN di tengah kondisi keuangan tersebut.

Anggota Komisi Keuangan (Komisi XI) DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Heri Gunawan, mempertanyakan alokasi dan roadmap atas pengucuran PMN tersebut. Pasalnya, angka PMN sebesar Rp 5 triliun dinilai hanya beda tipis dengan nilai kerugian LPEI pada 2019, sehingga menimbulkan kecurigaan bahwa LPEI hanya akan menutup nilai kerugiannya tersebut tanpa ada peningkatan mutu kinerja.

Dia pun menegaskan, penggunaan dana PMN untuk LPEI perlu dievaluasi guna menjamin kekayaan negara benar-benar dikelola demi kemakmuran rakyat.

"Apakah betul PMN ini dapat meningkatkan kontribusi terhadap PDB nasional? Pada 2020 LPEI meminta PMN senilai Rp 5 triliun. Beda-beda tipis lah dengan nilai kerugiannya pada 2019 yang mencapai Rp 4,7 triliun. Saya malah punya pikiran jangan-jangan ini untuk menutupi rugi bersih kemarin?" kata dia kepada Law-Justice, Ahad (10/1/2021) lalu.

Politikus yang akrab disapa Hergun ini menambahkan, Non Performing Loan (NPL) bruto LPEI mengalami peningkatan menjadi 23,39 persen dibarengi penurunan aset hampir 10 persen menjadi Rp 108,7 triliun dan penurunan Net Interest Margin (NIM) atau kemampuan bank dalam menghasilkan laba bunga bersih menjadi hanya 1,18 persen.

Peningkatan NPL gross yang cukup tajam dan melebihi batasan normal sudah terjadi sejak akhir 2017 di mana rasio Beban Operasional Pendapatan Operasional (BOPO) tercatat makin tinggi, yakni sebesar 100,51 persen di 2018 dan 179,63 persen di 2019 sehingga menandakan kemampuan pengelolaan dan strategi manajemen menjadi sangat dipertanyakan. BOPO merupakan kemampuan bank dalam mengelola beban operasional. Semakin tinggi nilai BOPO, maka semakin buruk pengelolaan perusahaan tersebut.

Kondisi-kondisi tersebut, kata Hergun, jelas memerlukan perhatian lebih lanjut atas penggunaan rencana dana PMN oleh LPEI.

"Terlebih karena dana PMN berasal dari defisit APBN dan pola pencetakan uang terselubung dari pemerintah dengan skema burden sharing-nya," ujarnya.

Hergun mengatakan, rapat Komisi XI dengan LPEI pada 18 November 2020 lalu belum menemukan titik kesimpulan.

"Kami belum puas atas pemaparan yang disampaikan jajaran pimpinan LPEI. Tidak ada bahan khusus yang membahas perihal penggunaan PMN Rp 5 triliun. Dalam rapat tersebut, LPEI hanya memaparkan data umum yang sudah sering disampaikan dalam rapat-rapat sebelumnya. Oleh karena itu, kami akan menjadwalkan Rapat FGD dengan LPEI pada masa sidang ini," katanya.


Heri Gunawan (Foto: Instagram/@Herigunawan)

Selain data lama, menurutnya, data yang disampaikan oleh LPEI juga bombastis. Misalnya soal penyerapan tenaga kerja. LPEI mengklaim bahwa setiap Rp 1 miliar pembiayaan yang dikucurkannya mampu meningkatkan penyerapan tenaga kerja hingga 50 orang. Dengan begitu, pembiayaan LPEI sebesar Rp 93,03 triliun mampu menyerap sekitar 4,7 juta tenaga kerja.

Klaim seperti itu, kata Hergun, sama saja meremehkan kerja pemerintah. Pada 2 September 2020, pemerintah telah mengucurkan dana PEN sebesar Rp 271,94 triliun. Namun di waktu yang hampir bersamaan, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa per Agustus 2020, jumlah pengangguran bertambah sebanyak 2,67 juta orang dibanding periode yang sama tahun lalu, sehingga jumlah pengangguran saat ini mencapai 9,77 juta orang.

"Artinya dana PEN yang lebih besar dari pembiayaan LPEI saja tidak mampu menahan bertambahnya laju pengangguran. Ke depan, LPEI harus menyampaikan bahan yang realistis,” tegasnya.

Ketua DPP Partai Gerindra ini menjelaskan, ketika ada injeksi PMN, seharusnya ada perjanjian bahwa kinerja LPEI bisa menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi dari biaya utang, di samping harus jelas keuntungan finansial yang didapat.

"Kalau tidak, negara akan merugi," ujar dia.

DPR berkomitmen mengamankan uang Rp 5 triliun yang dikucurkan kepada LPEI. Selain harus jelas peruntukannya, dana tersebut juga tidak boleh digunakan hanya untuk menutup kerugian LPEI pada 2019 lalu. Kedepannya, DPR RI akan mengeksplorasi penyebab kerugian yang cukup besar tersebut.

"Kami akan pertanyakan kolektibilitas beberapa debitur kakap. Bagaimana status kolektibilitas dan perkembangan portfolio debitur Duniatex Group, penugasan khusus ekspor yang masih berjalan, dan komposisi portofolio-portofolio besar termasuk partisipasi di kredit sindikasi," katanya.

BPK Tegaskan Manajemen LPEI Bermasalah
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam auditnya menemukan fakta bahwa LPEI belum sepenuhnya mematuhi ketentuan dan menerapkan prinsip tata kelola yang baik. Hal tersebut tertuang dalam laporan hasil pemeriksaan terhadap LPEI tahun 2017 sampai dengan semester I-2019.

BPK merekomendasikan agar LPEI melakukan perbaikan pada proses bisnis pembiayaan mulai dari penetapan target market, inisiasi hingga monitoring pembiayaan, sebagai bagian dari kerangka penanganan pembiayaan bermasalah.

Berdasarkan laporan yang dirilis pada 31 Desember 2019 itu disebutkan bahwa LPEI memiliki pembiayaan bermasalah yang cukup tinggi. Hal ini terjadi di hampir di seluruh sektor pembiayaan. Yang tertinggi antara lain subsektor bidang perikanan dan laut yang punya NPF per tahun 2019 sebesar 56,28%. Kemudian pada subsektor bidang usaha pertambangan minyak dan gas bumi sebesar 28,5%. Serta ada pula bidang usaha industri logam dasar, besi baja yang NPF-nya sebesar 29,92%. Masih ada banyak sektor lainnya yang punya NPF di level 11%-19%.


LPEI mencatat tahun 2019 total kredit bermasalah yang harus ditangani mencapai 13,96 persen dari total kredit Rp97,8 triliun. Angka ini memburuk 3,65 persen dibandingkan 31 Desember 2018 dimana NPF neto mencapai 10,31 persen (Bisnis Indonesia)

BPK mengendus banyak temuan bermasalah dalam tata kelola LPEI, seperti persetujuan pemberian fasilitas pembiayaan dan pemberian izin penerbitan global bond kepada "Grup DT" belum sepenuhnya memperhatikan risiko gagal bayar. Kemudian ada pemberian fasilitas kepada Grup "JD" yang belum sepenuhnya mempertimbangkan kinerja keuangan historikal, proyeksi yang wajar dan kemampuan guarantor. Untuk pembiayaan ini BPK memandang monitoring belum dilaksanakan secara optimal serta skema penanganan pembiayaan bermasalah belum dilakukan untuk semua grup debitur.

Bila dirinci, secara total ada 14 temuan BPK dalam laporan tersebut yang menilai kinerja pemberian fasilitas pembiayaan di LPEI belum maksimal. Terutama pemantauan pada debitur-debitur yang berpotensi bermasalah. Selain Grup JD, Grup DT dan Grup BJU, BPK juga menyoroti beberapa pembiayaan kepada debitur lainnya. Antara lain, Grup JMI, Grup Arkha, PT TMJ, PT CSL, PT DNS, PT LHS, PT KHP, dan PT PTM.

Pada temuan BPK tersebut, penyaluran total yang dilakukan oleh LPEI kepada empat entitas dalam Duniatex Group menjadi hal yang paling disorot karena total pembiayaan mencapai Rp 3,04 triliun. Perinciannya, Rp 1,2 triliun kepada PT Delta Dunia Textile (DDT), Rp 1,5 triliun kepada Delta Merlin Sandang Textile (DMST), Rp 54 miliar kepada PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT), dan Rp 289 miliar kepada PT Delta Dunia Sandang Textile (DDST).

Belum Ada Penyelidikan Investigatif
Kendati banyak temuan yang ganjil dalam pembiayaan yang dilakukan oleh LPEI, Anggota BPK Achsanul Qosasi mengatakan bahwa lembaganya belum melanjutkan ke tingkat audit investigatif atau Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu. Dia mengatakan, BPK masih mempertimbangkan beberapa hal. Tentunya, audit investigatif dilakukan bila ada permintaan dari aparat penegak hukum.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sampai saat ini belum melakukan penyelidikan awal atau audit secara investigatif terhadap kinerja LPEI. Mantan Divisi Litbang KPK, Roni Dwi, mengatakan bahwa lembaga anti rasuah itu belum pernah melakukan penyelidikan terhadap LPEI.

"Tidak Pernah (menyelidiki LPEI)," kata Roni saat dihubungi Law-Justice, Rabu (13/01/2021).

Selain itu, penyelidikan yang dilakukan secara pencegahan maupun penindakan belum pernah dilakukan oleh Lembaga anti rasuah tersebut kepada lembaga pembiayaan ekspor tersebut.

Ketika dikonfirmasi lebih lanjut kepada kedua Plt juru bicara KPK bidang pencegahan Ipi Maryati dan Plt jubir KPK bidang penindakan Ali Fikri, keduanya tidak memberikan konfirmasi mengenai alasan belum melakukan penyidikan kepada LPEI.

Selain KPK, Kejaksaan Agung juga menyatakan tidak pernah menyoroti ihwal permasalahan keuangan LPEI, termasuk dugaan adanya `perusahaan zombie` yang diduga oleh Komisi XI DPR terus menerus dipelihara LPEI. Semua kerugian tercatat akibat pendanaan jor-joran terhadap `perusahaan zombie` yang gagal membayar utangnya sehingga terjadi kredit macet dalam tubuh LPEI.

"Berdasarkan penelusuran di Kasubdit Laporan dan Pengaduan, Kejaksaan tidak ada menangani kasus LPEI," kata Kepala Subdirektorat Media dan Humas Kejaksaan Agung, Muhammad Isnaini kepada Law-Justice, Kamis (14/1).

Desakan untuk Segera Melakukan Penyelidikan Terhadap LPEI
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mendesak kepada KPK untuk segera melakukan penyelidikan awal terhadap LPEI karena ada potensi kerugian negara dalam jumlah yang besar.

"Atas indikasi itu, saya minta KPK untuk melakukan penyelidikan dan di sini ada potensi merugikan keuangan negara," kata Boyamin ketika dihubungi Law-Justice, Jumat (15/01/2021).

Boyamin mengatakan, lembaga seperti LPEI ini punya potensi meraup keuntungan yang besar jika dikelola dengan baik dan sesuai aturan. Namun bila merugi dalam jumlah yang besar serta ditemukan beberapa keganjilan dalam proses penyaluran pembiayaan, patut diduga ada penyimpangan dalam manajemen LPEI.  

"Mestinya lembaga seperti Bank ini untung kalau kerjanya benar, karena dapat devisa dari negara lain atau bunga. Tapi ketika merugi, berarti kerjanya banyak yang enggak benar dan di situ ada potensi dugaan penyimpangan," ujar Boyamin.

Boyamin menyatakan bila penyimpangan tersebut dapat mengarah kepada tindak pidana korupsi karena setelah LPEI mengalami kerugian kemudian pemerintah langsung menyuntik dana melalui PMN sebesar 5 Triliun kepada lembaga ini.

"Penyimpangan ini bisa mengarah pada korupsi karena itu uang negara. Lakukan penyelidikan karena ini lembaga negara, diduga banyak kerugian yang muncul sampai-sampai membebani negara dalam bentuk PMN," tuturnya.

Boyamin meminta KPK untuk segera melakukan penyelidikan kepada LPEI. Bentuk penyelidikan yang dilakukan oleh KPK tersebut perlu memperhatikan fungsi penindakan dan fungsi pencegahan pada LPEI. Dengan begitu, LPEI diharapkan bisa berjalan lebih efektif dan efisien serta dapat menekan kerugian.

"Paling tidak KPK masuk nanti fungsi penindakan dan pencegahan itu bisa jalan. Paling tidak bila KPK melakukan supervisi, lembaga ini bisa menjadi lebih efisien," tandasnya.

Komitmen untuk Memperbaiki Diri
Merespon pertanyaan publik tentang kinerja LPEI yang memburuk, Corporate Secretary LPEI Yadi Jaya Ruchandi menjelaskan, dalam kegiatan bisnisnya LPEI memang mendapat penugasan khusus dari pemerintah untuk masuk ke proyek yang secara komersial sulit dilaksanakan (non-bankable), tetapi penting bagi pemerintah (feasible). Alhasil, model bisnis LPEI menurut Yadi memang tidak sepenuhnya sama dengan perbankan pada umumnya.


LPEI mencatat total kredit bermasalah yang harus ditangani mencapai 13,96 persen dari total kredit Rp97,8 triliun pada 2019. Angka ini memburuk 3,65 persen dibandingkan 31 Desember 2018 dimana NPF neto mencapai 10,31 persen.

Yadi mengatakan bila pembiayaan yang dilakukan LPEI terfokus pada sektor yang sangat rentan terhadap gejolak faktor eksternal. Maka dari itu terjadilah penurunan kualitas pembiayaan LPEI.

 "Hal ini menjadi salah satu faktor penyebab turunnya kualitas pembiayaan LPEI yang mengakibatkan naiknya NPF melebihi batas maksimal yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK)," katanya.

Yadi mengatakan, LPEI telah membentuk suatu unit untuk dapat melakukan perbaikan pada kualitas aset dengan adanya restrukturisasi, litigasi, dan recovery.

"LPEI telah menyampaikan komitmen perbaikan kepada OJK untuk menurunkan NPL. Dimana permasalahan kredit bermasalah ditargetkan selesai dalam dua tahun. Namun, seiring merebaknya wabah Corona yang membuat ekonomi bergerak lambat, membuat komitmen perbaikan NPL di LPEI memiliki tantangan lain," ujarnya.

Faktor lain yang menyebabkan LPEI mengalami penurunan kualitas kinerja, lanjut Yadi, karena  secara operasional pada 2019 LPEI mencatatkan laba operasional Rp 1 triliun sebelum Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN). Namun pada saat yang sama LPEI membentuk CKPN sebesar Rp 6,68 triliun, sehingga LPEI membukukan kerugian sebesar Rp 4,7 triliun. Coverage ratio LPEI dicatat sebesar 49 persen yang mencerminkan kehati-hatian LPEI dalam mengelola NPL sekaligus dalam rangka persiapan implementasi PSAK 71 di tahun 2020.

Perlu Dibubarkan?
Pengamat Ekonomi Prof. Didik J Rachbini sangat mengkritisi Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) karena belakangan lembaga ini tidak produktif terhadap efektivitas ekspor. Didik menekankan bahwa Presiden Joko Widodo perlu mempertimbangkan untuk segera membubarkan LPEI.

Menurutnya, ini menjadi momen untuk pemerintahan Jokowi yang belakangan telah membubarkan beberapa lembaga yang dianggap tidak produktif. Bila melihat kinerja LPEI, belakangan ini opsi untuk pembubaran lembaga tersebut bisa menjadi pilihan dalam rangka efisiensi lembaga pemerintahan yang ada di Indonesia.

"Ya, menurut saya LPEI ini kan produktivitas kinerjanya kerap bermasalah dalam waktu belakangan ini, kalau bisa ya memang lebih baik dibubarkan saja atau paling tidak diintegrasikan saja dengan lembaga lain. Pemerintah kerap suntik dana lembaga ini tapi produktivitasnya ya kurang," kata Didik kepada Law-Justice, Rabu (06/01/2021).

"Ditambah, saat ini Jokowi juga sudah membubarkan lembaga-lembaga yang dianggap tidak efektif, ini momentum yang tepat,” imbuh dia.

Ekonom Senior INDEF tersebut juga menekankan kalau untuk pembiayaan ekspor sebaiknya dialihkan saja ke Bank Himbara. Peran LPEI dalam efektivitas pembiayaan ekspor tidak begitu baik.

"LPEI kalau rugi disuntik terus sama pemerintah, Tapi efektivitasnya juga kan kurang dari lembaga ini," ujarnya.

Didik mengusulkan bila pembiayaan ekspor lebih baik diurus oleh Bank Himbara. Bila ditelisik jumlah perbandingan aset antara LPEI dengan Bank Himbara, kata dia, sangat jauh. Nilai aset LPEI hanya berada di angka sekitar Rp 100 - 200 triliun. Sedangkan Bank Himbara bisa memiliki aset Rp 4000 triliun.

“Sebaiknya memang dikelola oleh Bank Himbara saja untuk pembiayaan ekspor terutama ke luar negeri karena efektifitas ekspor keluar saja tidak begitu produktif," tukasnya.

Sementara itu, Ketua Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno menegaskan, jika ingin ada perbaikan di tubuh LPEI, pemerintah dan DPR harus segera merevisi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2009 untuk menjalankan Pembiayaan Ekspor Nasional (PEN) yang menjadi payung hukum lembaga bank ekspor. Pasalnya, regulasi yang ada telah menjebak LPEI menjadi lembaga yang sulit untuk mendongkrak ekspor nasional.

“Harus revisi UU-nya. Kalau tidak ya begini-begini saja. Dari dulu sejak tahun 2009 ya begini terus,” kata Benny kepada Law-Justice.

Benny mengkritik LPEI yang lebih cenderung menyerupai bank umum dan justru menguntungkan korporasi besar. Padahal, saat ini banyak UMKM yang mampu mengekspor produk mereka namun tidak terakomodir karena terkendala persyaratan agunan aset yang besar.   

Ketika suatu lembaga negara membiayai korporasi besar, analisis risiko bisnisnya harus berjalan dengan baik. Jika tidak, akan terjadi gagal bayar yang membebani karena agunan tidak sepenuhnya bisa menjamin pengembalian uang negara. Benny mengatakan, hal itulah yang sedang terjadi dengan LPEI. Analisis risiko bisnis yang buruk sehingga kadung memberikan pinjaman besar kepada perusahaan yang bermasalah, beban hutang dari kredit macetnya tinggi, Non Performing Finance (NPF) melebihi ambang batas OJK, dan nilai-nilai asetnya menurun.

“LPEI ini kan lebih banyak membiayai perusahaan terpercaya seperti BUMN. Ini seperti jeruk makan jeruk. BUMN yang membiayai BUMN. Uang dari pemerintah, kalau rugi pemerintah yang nombokin, kalau pinjam ke luar negeri pemerintah yang nanggung,” jelas Benny.

Duniatex, Korporasi Beban Kredit Macet LPEI
Duniatex Group adalah salah satu perusahaan besar yang menjadi beban karena kegagalan mereka mereka membayar utang pembiayaan yang telah dikucurkan oleh LPEI. Total pembiayaan yang kepada Duniatex Group senilai Rp 3,04 triliun yang tersebar kepada anak-anak perusahaannya seperti PT Delta Dunia Textile (DDT) Rp 1,2 triliun, Delta Merlin Sandang Textile (DMST) Rp 1,5 triliun, PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT) Rp 54 miliar, dan PT Delta Dunia Sandang Textile (DDST) Rp 289 miliar kepada.

Siapa sebetulnya Duniatex? Kenapa mudah mendapatkan kucuran dana yang besar dari lembaga negara?

Duniatex pernah menjadi produsen tekstil terbesar di Indonesia. Mereka mengklaim sebagai perusahaan tekstil kelas dunia yang dikelola secara profesional, yang berfokus pada pemintalan, pertenunan, pencelupan, dan finishing.

Perusahaan ini terdiri dari 18 perusahaan terbatas, tersebar di beberapa lokasi di lebih dari 150 hektar lahan. Duniatex didirikan pada tahun 1974 dengan nama CV. Duniatex di Surakarta, beroperasi terutama di industri finishing pada tahun 1988. Karena dukungan dan kepercayaan pelanggannya, Duniatex terus berkembang dan berkembang.

Pada tahun 1992, Duniatex mengambil alih PT Damaitex berlokasi di Semarang yang beroperasi di industri finishing. Selanjutnya, Duniatex memperluas operasi tenunnya pada tahun 1998 dengan mendirikan PT Dunia Sandang Abadi dan PT Delta Merlin Dunia Tekstil. Bersamaan dengan meningkatnya permintaan produk kain, maka Duniatex melebarkan sayapnya dan membangun PT Delta Merlin Dunia Tekstil, kini terus tumbuh di 8 lokasi berbeda dan mengembangkan fondasi kuat dalam industri tekstil di Indonesia.


PT Duniatex harus merogoh keuangan untuk bayar utang perusahaan dan anak perusahaan sebesar Rp 19 triliun (Foto:Duniatex)

Pada tahun 2003, Duniatex mendirikan PT Delta Merlin Sandang Tekstil dan PT Delta Dunia Tekstil pada tahun 2006, disusul dengan pendirian PT Delta Dunia Sandang Tekstil pada tahun 2010. Tujuan dan orientasi Duniatex adalah menjadi pemimpin paling terkemuka di industri tekstil dan untuk menjadi perusahaan tekstil terbesar di Indonesia.

Pelanggan Duniatex tersebar di beberapa negara di empat benua yang berbeda Asia, Eropa, Afrika, dan Amerika. Duniatex juga terus melebarkan sayapnya dengan mengembangkan sejumlah pabrik baru serta meningkatkan jumlah spindle hingga satu juta spindle saat ini dan meningkatkan kapasitas untuk memproduksi kain greige hingga 600 juta meter setiap tahunnya.

Duniatex yang berdiri dan besar di Solo, yang juga kota kelahiran dan kampung halaman Presiden Joko Widodo. Dari sisi ukuran, Duniatex memang perusahaan yang lebih besar dibandingkan dengan catatan aset perusahaan tekstil asal Solo lain, yaitu PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL).

Aset Duniatex
Duniatex Group merupakan bisnis yang didirikan oleh Hartono pada tahun 1974. Dan kini bisnis Duniatex dijalani yang dijalankan almarhum Hartono diwariskan kepada anaknya, Sumitro.

Sayap bisnisnya semakin melebar dengan menambah perusahaan pada 2003 bernama PT Delta Merlin Sandang Tekstil, pada 2006 mendirikan PT Delta Dunia Tekstil, dan pada 2010 mendirikan PT Delta Dunia Sandang Tekstil.

Kemudian, pada 2011 Duniatex melebarkan bisnis ke sektor properti dan perhotelan dengan mendirikan PT Delta Merlin Dunia Propertindo dengan Direktur dijabat Tan Sauw Hwa.

Aset Duniatex yang terdiri dari enam perusahaan utama memang bukan tandingan bahkan bagi gabungan dari SRIL dan emiten tekstil lain di bursa yaitu PT Pan Brothers Tbk (PRBX) sekalipun. Satu lagi perusahaan tekstil yang lumayan besar dan tercatat di bursa adalah PT Indorama Synthetics Tbk (INDR).

Kelompok usaha tekstil terbesar di Solo tersebut beraset Rp 37,85 triliun pada 2018, sedangkan aset SRIL, INDR, dan PBRX masing-masing hanya US$ 1,36 miliar (Rp 19,76 triliun), US$ 805 juta (Rp 11,66 triliun), dan US$ 579 juta (Rp 8,39 triliun) pada periode yang sama.

Adapun aset properti dan perhotelan yang dimiliki oleh Duniatex adalah Best Western Solo Baru, Norman Hotel Semarang, Favehotel Solo, The Alana Hotel Solo, Hartono Trade Center, Hartono Mal di Solo dan Yogyakarta, Hotel Marriot Yogyakarta, De Salvatore Art & Boutique Yogyakarta, De Rivier Hotel Jakarta Barat, dan Wisma Hartono Yogyakarta.

Selain itu, Duniatex juga masuk ke bisnis rumah sakit dengan dinamai istri almarhum Hartono, atau ibu dari Sumitro, yakni RS Indriati. Rumah sakit ini terletak di Boyolali, dan Solo.

Namun beberapa aset seperti Hartono Mall di Yogyakarta dan Solo serta Marriot Hotel di Yogyakarta sudah dilego kepada PT Pakuwon Jati Tbk dengan nilai Rp 1,36 triliun untuk melunasi utang-utangnya kepada sindikasi perbankan.

Tak hanya itu, Duniatex juga mendapatkan dana segar untuk menambal beban utang besar perusahaan sejak tahun lalu. Total utang Duniatex Group mencapai sekitar Rp19 triliun.


Akta pendirian PT Duniatex (Sumber:Ditjen AHU)

Dari data Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum diperoleh keterangan induk perusahaan Duniatex dimiliki oleh Sumitro selaku Direktur dan Ellyana Hartanti menjabat sebagai Komisaris dengan saham yang dimiliki masing-masing Rp 100 juta rupiah.

Adapun setoran modal awal pembentukan perusahaan mencapai Rp 800 juta rupiah. Perusahaan ini sendiri berkedudukan di Jalan Raya Palur KM7.1 Dagen, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah.

Gurita Utang
Sejarah kesulitan keuangan Duniatex dimulai dari kegagalan entitasnya atau anak perusahaan yaitu PT Delta Dunia Sandang Textile (DDST) yang gagal membayar bunga senilai US$ 13,4 juta dari utang sindikasi senilai US$ 260 juta pada 10 Juli 2019 lalu.

Kegagalan DDST makin akut dan menjalar ke anak perusahaan lainnya yaitu PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT) yang menerbitkan global bond senilai US$ 300 juta peringkatnya terpangkas hingga ke level sampah (junk bond).

Meskipun mencari cara untuk menuntaskan pembayaran bunga dengan menawarkan obligasi. Masalah belum tuntas di situ saja dan makin merembet. Sebab, secara konsolidasi Duniatex tercatat punya utang menggunung hingga Rp 18,79 triliun.

Bahkan akibat utang ini menyebabkan konflik internal keluarga pemilik Duniatex. Pada awal Desember 2020 lalu terjadi peristiwa penembakan mobil milik bos DMDT atau Delta Merlin Dunia Textile atau Duniatex di Jl Monginsidi, Solo, Rabu (2/12/2020)

Kekerasan bersenjata yang terjadi siang bolong itu, menurut hasil penyelidikan kepolisian, bermotif hubungan bisnis antar keluarga. Namun, kasus ini hingga kini belum diungkap ke publik dan penyidik belum mengungkap lebih jauh hubungan bisnis seperti apa yang melatari pelaku sehingga nekat memberondong mobil saudara iparnya itu dengan tembakan.

Saat penembakan, istri pelaku LJ yang tak lain adalah adik korban, I, 72, juga berada dalam mobil yang sama. Berdasarkan kronologi peristiwa yang diungkapkan polisi, saat kejadian, pelaku meminta korban untuk melihat rumah sarang burung walet miliknya di Jl Monginsidi, Banjarsari, Solo.

Bahkan, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) sempat melaporkan langsung persoalan gagal bayar hutang Duniatex ini kepada Presiden Jokowi saat melakukan pertemuan di Istana Kepresidenan, Jakarta pada 2019 lalu.

Bahkan seperti kebal dari hukum, Duniatex mendapatkan perlindungan dari Pengadilan Niaga New York, Amerika Serikat. Dalam keputusannya, Pengadilan Niaga New York Selatan akhirnya mengabulkan permohonan perlindungan hukum yang diajukan enam entitas Duniatex dan pemiliknya Sumitro via Chapter 15 of US Bankruptcy of Law pada 8 Oktober 2019.

Dengan perlindungan tersebut, maka kreditur Duniatex yang berada di Amerika Serikat tidak bisa mengajukan proses litigasi ihwal kepailitan. Per agustus 2019, Duniatex diketahui memiliki utang senilai 1,51 miliar dollar AS. perinciannya sejumlah 948,3 juta dollar AS berasal dari kreditur dalam negeri. sedangkan sisa 563,3 juta dollar AS dari kreditur asing.

Pelunasan utang Duniatex Group berakhir di proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) setelah hakim Pengadilan Niaga Semarang mengesahkan perjanjian perdamaian konglomerasi bisnis pertekstilan di Jawa Tengah itu dengan para krediturnya, termasuk LPEI. Duniatex akan mencicil utang mereka selama 20 tahun. Jika kembali mangkir, perusahaan tersebut bisa terancam dipailitkan.

Dihubungi terpisah, Corporate Secretary Duniatex Group Detri Hakim, tidak menjawab permintaan konfirmasi Law-Justice. Hingga berita ini diturunkan, daftar pertanyaan yang dikirimkan melalui sambungan aplikasi pesan WhatsApp kepada Detri tak kunjung direspons.

Kontribusi Laporan: Rio Alfin Pulungan, Ghivary Apriman, Yudi Rachman, Januardi Husin

(Tim Liputan Investigasi\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar