Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

FPI Dibubarkan, Upaya "Melegalkan" dan "Mengaburkan Kasus Pembunuhan?

Kamis, 31/12/2020 17:24 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa (Ist)

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Pemerintah akhirnya secara resmi membubarkan dan melarang segala aktivitas Front Pembela Islam (FPI) sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas) yang selama ini melakukan kegiatannya diIndonesia. Pembubaran ini dilakukan melalui Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan hak Azasi Manusia, Menteri Komunikasi dan Informasi, Jaksa Agung, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia.

Yang menarik dalam acara pengumuman pembubaran ini ikut hadir para pejabat tinggi negara. Ada lima Jenderal yang hadir mendampingi Menko Polhukam Mahfud MD saat mengumumkan sikap pemerintah membubarkan FPI dan jaringan organisasinya . Mereka adalah Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Kapolri Jenderal Idham Azis, Kepala BIN Budi Gunawan, Mendagri Jenderal (Purn) Tito Karnavian, dan Jenderal (Purn) Moeldoko sebagai Kepala Staf Kepresidenan Indonesia.

Seperti dikutip dari detikcom, begitu selesai di umumkan bubar, dengan sigap petugas gabungan segera mendatangi kawasan Petamburan, Jakarta Pusat untuk mencabuti spanduk-spanduk milik FPI yang bertebaran disana. Pada saat yang bersamaan pasca pengumuman pembubaran itu, pihak FPI sebenarnya berencana untuk mengadakan konferensi pers sehubungan dengan pembubaran organisasinya. Tetapi rencana ini tidak diizinkan oleh pihak berwenang pada hal memberikan keterangan
pers merupakan hak setiap warga negara. "Paadahal konferensi pers terhadap pembubaran FPI itu kan hak DPP FPI untuk menyikapi, untuk menyampaikan, tapi ini sampai tidak diperbolehkan," ungkap Sugito kuasa hukum FPI di Petamburan, Jakarta Pusat, Rabu (30/12) seperti dikutip CNN Indonesia.

Melihat dan menyaksikan prosesi pembubaran FPI sepertinya organisasi kemasyarakatan yang bernama FPI ini begitu penting bagi pemerintah yang sekarang berkuasa. Kehadiran 5 Pejabat negara menyusul langkah penertiban segera atribut FPI sampai dengan larangan bagi FPI mengadakan konperensi pers mengesankan adanya “ketakutan” luar biasa pemerintah terhadap keberadaan FPI dan pendukungnya.

Mengapa pemerintah terlihat begitu bernafsu ingin membubarkan FPI dan jaringannya ?, Sudah tepatkan FPI dibubarkan melalui Surat Keputusan Bersama ?, Apakah suasana pembubaran FPI kali ini mirip kejadiannya dengan peristiwa menjelang pemberontakan G- 30 S PKI tahun 1965 ?, Benarkah pembubaran FPI ini karena ada keinginan pihak pihak tertentu untuk melegalkan dan mengaburkan pembunuhan diluar hukum yang telah dilakukan oleh aparat negara?

Ironi Pembubaran FPI

Dalam SKB Menteri yang menjadi dasar pembubaran FPI, ada enam hal yang menjadi dasar pertimbangan pemerintah memutuskan untuk membubarkan dan menghentikan kegiatan FPI dan jaringannya. Enam hal itu diantaranya karena adanya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dimaksudkan untuk menjaga eksistensi ideologi dan konsensus dasar negara, yakni Pancasila, UUD 1945, keutuhan NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Alasan lain karena AD/ART FPI dinilai melanggar UU Ormas. Selain itu Surat Keterangan Terdaftar (SKT) FPI tidak diperpanjang berlakunya. Kemudian adanya anggota FPI yang diduga terlibat terorisme dan pengurus atau anggota FPI dinilai kerap melakukan berbagai razia atau sweeping di masyarakat padahal sebenarnya kegiatan itu menjadi tugas dan wewenang aparat negara.

Enam dasar pertimbangan yang menjadi alasan pembubaran FPI tersebut sebenarnya masih menjadi perdebatan karena mengandung kejanggalan kejanggalan didalamnya. Sebagai contoh Undang-Undang Ormas yang menjadi dasar yang digunakan pemerintah untuk membubarkan FPI sudah lama dikenal bermasalah karena Perpu nomor 2 tahun 2017 yang diterima DPR RI sebagai Undang-Undang baru, secara signifikan memangkas prosedur hukum acara pelarangan maupun pembubaran ormas di Indonesia.

Hal tersebut dilakukan dengan menghapus mekanisme teguran dan pemeriksaan pengadilan yang semestinya harus ada.Menurut hukum internasional sebuah organisasi hanya boleh dilarang atau dibubarkan setelah ada keputusan dari pengadilan yang independen dan netral bukan keputusan sepihak penguasa.
Dalam hal ini FPI sebenarnya tidak dapat dinyatakan bubar secara de jure hanya atas dasar tidak memperpanjang SKT, sehingga pelarangan terhadap kegiatan serta penggunaan simbol dan atribut FPI pun tidak memiliki dasar hukum. Karena Pasal 59 UU Ormas hanya melarang kegiatan yang pada intinya mengganggu ketertiban umum dan/atau melanggar peraturan perundang-undangan. UU Ormas tidak melarang suatu organisasi kemasyarakatan untuk berkegiatan sepanjang tidak melanggar ketentuan Pasal 59 tersebut.

Selanjutnya pengurus ataupun anggota FPI yang diduga terlibat tindak pidana, termasuk ujaran kebencian dan hasutan melakukan kekerasan berdasarkan agama, ras, asal usul kebangsaan maupun minoritas gender lebih baik kasusnya diusut secara hukum, bukan dibubarkan organisasinya. Terhadap para anggota FPI yang selama ini melakukan kegiatan yang melanggar peraturan perundang-undangan—seperti penggunaan kekerasan dan sebagainya, penegak hukum seharusnya sejak awal menindak para pelaku dengan pasal-pasal dalam KUHP secara konsisten, bukan justru melakukan pembiaran terhadap individu-individu yang melanggar dan menunggu pemerintah membubarkan organisasi FPI.

Selain itu, terkait larangan penggunaan simbol dan atribut FPI, Pasal 59 ayat (4) UU Ormas melarang penggunaan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi separatis atau organisasi terlarang. Namun, UU Ormas sama sekali tidak memberikan definisi ataupun penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan organisasi terlarang. Yang secara de Facto dapat menimbulkan mispersepsi atau pemahaman yang rancu bagi masyarakat luas Penggunaan UU Ormas untuk membubarkan organisasi secara sepihak jelas bertentangan dengan prinsip negara hukum yang mengutamakan pelindungan hak-hak warga, dalam hal ini kebebasan berkumpul dan berserikat. Seharusnya, mekanisme penjatuhan sanksi—termasuk berupa pembubaran—terhadap organisasi, dilakukan melalui mekanisme peradilan. Hal ini mengingat bahwa, pada dasarnya, setiap kesalahan subjek hukum harus dibuktikan terlebih dahulu di hadapan pengadilan sebelum subjek hukum tersebut dijatuhi sanksi.

Penjatuhan sanksi, pelarangan kegiatan, ataupun pembubaran organisasi secara sepihak oleh negara dengan menggunakan UU Ormas sebagai dasar hukum, sangat bertentangan dengan prinsip- prinsip negara hukum, membatasi kebebasan sipil, serta berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi.
Ketentuan tersebut berpotensi disalahgunakan oleh siapapun yang menjadi penguasa untuk membungkam organisasi-organisasi warga—baik berbentuk perkumpulan, yayasan, maupun organisasi tidak berbadan hukum—yang dianggap terlalu kritis, bertentangan, atau memiliki pendapat berbeda dengan pemerintah yang sedang berkuasa.

Kiranya ada alasan lain yang lebih masuk akal mengapa FPI dibubarkan oleh penguasa. Alasan itu berkaitan dengan eksistensi FPI yang dari hari ke hari semakin ditakuti oleh penguasa. Pengamat politik Ujang Komarudin menilai ada tiga hal yang terkesan ‘ditakuti’ pemerintah dari keberadaan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) dan Habib Rizieq Shihab (HRS) sebagai ketuanya. Pertama yakni, FPI dengan HRS-nya semakin hari semakin besar saja . Kedua, pengikut maupun pendukungnya makin banyak jumlahnya . Lalu yang terakhir, pendukungnya cenderung sangat militan dalam memperjuangkan misinya.

“Jadi ada tiga hal. HRS maskin besar, pengikutnya makin banyak dan cenderung militan. Nah kenapa khawatir? Karena HRS saat ini menjelma menjadi simbol oposisi rakyat,” ujar Ujang kepada jpnn.com, Selasa (8/12). Menurut pengajar di Universitas Al Azhar Indonesia ini, ketika HRS makin besar, hal itu akan sangat merugikan dan membahayakan pemerintah. “Pemerintah akan mengalami delegitimasi politik dari rakyat,” ucapnya.

Sementara itu menurut Direktur Eksekutif Sabang Merauke Institute, Syahganda Nainggolan menyebut ketimpangan ekonomi serta peran kapitalisme yang terjadi di Indonesia, harus segera dilawan keberadaannya.Terkait dengan ketimpangan yang terjadi di Indonesia, ia berpandangan bahwa perlawanan tersebut harus dilakukan oleh sosok yang ditakuti para kapitalis yang sekarang berkuasa di tanah air kita. Adapun sosok yang ditakuti tersebut menurutnya adalah Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab. "Menurut keyakinan saya, hanya satu yang ditakuti di Indonesia sampai saat ini, tahu enggak siapa? Habib Rizieq, bukan Jokowi," tegasnya dalam diskusi Bravos radio, seperti dikutip, Selasa (21/1/2020).

Sementara itu menurut Rocky Gerung, FPI bersama HRS-nya memang harus di “selesaikan” karena ia menjadi penyebar virus oposisi yang sangat berbahaya. "Virus oposisi Habib Rizieq dianggap lebih menakutkan dari virus corona sendiri," kata Rocky, seperti dikutip PikiranRakyat-Cirebon.com dari kanal Youtube Rocky Gerung Official pada Sabtu, 5 Desember 2020. Memang harus diakui, FPI dan HRS saat ini cenderung telah menjelma menjadi kelompok oposisi
yang bisa mengganggu pemerintah yang berkuasa. Ketika oposisi formal seperti DPR dan kelembagaan lainnya telah berhasil dijinakkan maka tinggal FPI dan HRS yang masih menjadi kendala. Soalnya kelompok oposisi lain seperti KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) sebagian tokoh tokohnya sudah berhasil dimasukkan ke penjara.

Dasar Hukum Pembubaran

Saalah satu aspek yang banyak mendapatkan perhatian dari para pakar hukum adalah mengenai dasar hukum pembubaran FPI. Keputusan Bersama Mendagri, Menkumham, Menkominfo, Jaksa Agung, Kapolri dan BNPT yang membubarkan FPI dinilai sebagai pelanggaran terhadap Konstitusi Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, Pasal 24 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Putusan Mahkamah Konstitusi 82/PPU-XI/2013. Bahwa hak berserikat adalah Hak Asasi Manusia yang hanya boleh dikurangi dalam keadaan darurat.

Berdasarkan UU No. 17 Tahun 2014 jo. UU No. 16 Tahun 2017 Pasal 80, bahwa Keputusan bersama enam Instansi Pemerintah adalah tidak berdasar hukum karena, Pasal 80 hanya mengatur Ormas berbadan hukum, dan itupun melalui pencabutan status badan hukum. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi 82/PPU-XI/2013, dalam pertimbangan hukum halaman 125 dinyatakan bahwa “Suatu ormas dapat mendaftarkan diri di setiap tingkat instansi pemerintah yang berwenang untuk itu. Sebaliknya berdasarkan prinsip kebebasan berkumpul dan berserikat, suatu Ormas yang tidak mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang berwenang tidak
mendapat pelayanan dari pemerintah (negara), tetapi tidak dapat menetapkan Ormas tersebut Ormas terlarang, atau negara juga tidak dapat melarang kegiatan Ormas tersebut sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau melakukan pelanggaran hukum.”

Dengan demikian pelarangan tersebut jelas-jelas bertentangan dengan hukum yang berlaku dan dengan sendirinya Keputusan Bersama tersebut adalah melanggar konstitusi dan bertentangan dengan hukum. Dengan sendirinya secara substansi Keputusan Bersama tersebut tidak memiliki kekuatan hukum baik dari segi legalitas maupun dari segi legitimasi. Menurut pengamat Hukum Tata Negara, Margarito Kamis mengatakan, bahwa pernyataan menteri bukanlah produk hukum.“Pernyataan dari seorang menteri bukan hukum, pernyataan dari Presiden sekalipun bukan hukum. Kecuali di negara otoriter, apa yang keluar dari mulut pejabat itu
hukum. Di negara demokrasi tidak, di sistem hukum kita tidak, pernyataan itu bukan hukum,” tutur Margarito sebagaimana dikutip media pada Rabu (30/12).Apalagi, FPI sudah tidak lagi memperpanjang SKT di Kementerian Dalam Negeri sejak Juni 2019. Artinya, kata Margarito, tidak ada dasar bagi pemerintah melakukan pembubaran itu.

Karena itu, menurut Margarito, FPI masih tetap bisa berkumpul. Sedangkan mengenai pembubaran yang pastinya akan dilakukan pemerintah dalam setiap kegiatan FPI, menurutnya, adalah hal yang pasti terjadi juga, terutama di masa pandemi virus corona. Terakhir, Margarito menambahkan, eksistensi sebuah organisasi masyarakat tidak ditentukan oleh daftar dan tidak daftar, tetapi oleh pengakuan masyarakat. Sehingga, meskipun FPI tidak mendaftar, tetap tidak bisa disebut sebagai organisasi ilegal.“Tidak (ilegal) juga. Kalau mereka besok mau mengganti nama front pembela Indonesia, FPI juga, tidak ada yang salah,” ucapnya.

Kesimpulannya, pembubaran dan pelarangan FPI melalui SKB sangat tidak berdasar hukum dan bertentangan dengan UU Keormasan. Melanggar asas "due process of law` dengan meminggirkan fungsi peradilan. Meski SKB adalah bentuk hukum, akan tetapi karena digunakan tanpa melandaskan pada aturan hukum maka layak untuk dikategorikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan. UU Keormasan tidak mengenal membubaran dan pelarangan ormas melalui Surat Keputusan Bersama Menhukham, Mendagri, Kapolri, Menkominfo, Jaksa Agung dan Kepala BNPT. Lebih jauh kebijakan Pemerintah ini merupakan tindakan inkonstitusional yang melabrak asas negara hukum (rechtstaat) karena menginjak-injak UUD 1945.

Mengulang Kisah Lama?

Pembubaran FPI oleh pemerintah yang sekarang berkuasa mirip mirip kejadiannya dengan peristiwa tahun 1965 yaitu ketika orde lama masih berkuasa. Di zaman orde lama , kita tahu PKI dan organ-organnya adalah pihak yang "mengipasi" Sukarno untuk membubarkan Masyumi, PSI dan organisasi islam lainnya termasuk HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Indonesia. HMI hampir saja dibubarkan kalau saja tidak mendapat reaksi keras dari umat dan tokoh ulama yang menentangnya.
Pada masa Orde lama, PKI berani pasang badan terhadap kebijakan kebijakan Soekarno yang menjadi manusia paling berkuasa di masanya. Sebagai contoh ketika Soekarno berkampanye ganyang Malaysia, PKI dengan getol mendukungnya. Siapa saja yang tidak sepaham dengan kebijakan penguasa Orde Lama saat itu dianggap musuh negara dan melawan Pancasila.

Saat itu PKI pintar sekali memutar balikkan fakta demi untuk mencapai tujuan politiknya. PKI suka meminjam tangan Soekarno untuk menekan dan menyingkirkan lawan lawan politiknya. Antek neokolim, anti revolusioner, kadrun, kapitalis birokrat adalah istilah - istilah yang dulu digunakan PKI dalam membully lawan lawan politiknya. Pada saat itu Wapres Mohammad Hatta yang melihat pemerintah Soekarno semakin otoriter akhirnya mengambil sikap mengundurkan diri setelah tidak didengar lagi nasehatnya. Merasa kekuasaan bertambah kuat karena mendapat dukungan dari PKI, saat itu Soekarno terlihat semakin jumawa.

Banyak kawan kawan seperjuangannya yang kemudian di kirim ke penjara karena dinilai tidak sejalan dengan garis perjuangan yaitu bersatunya nasionalis,agama dan komunis (Nasakom) yang sebenarnya bertentangan dengan Pancasila. Namun sepandai-pandainya komunis bermanuver politik pada akhirnya terpeleset juga. Sikap
nafsu mereka di tahun 1965 yang ingin menguasai Indonesia lewat pemberontakan yang dikenal dengan G-30 S PKI akhirnya berujung petaka. PKI dibubarkan oleh penguasa orde baru (Orba) yang menggantikan posisi orde lama. Para pengurus dan simpatisan PKI banyak yang di hukum dan dibantai hingga ratusan ribu bahkan jutaan jumlahnya.

Meskipun sudah banyak yang dihabisi pada tahun 1965 namun anak keturunan PKI masih banyak dan hidup sampai sekarang bahkan menurut pengakuan Ribka TJiptaning yang menjadi pengarang buku “ Aku Bangga Menjadi Anak PKI” jumlahnya sudah mencapai lebih 15 juta. Oleh pemerintah melalui program "persamaan"; di era reformasi, mereka diberikan hak kebebasan yang sama untuk duduk dipemerintahan dan mendapatkan pekerjaan sebagai layaknya warga negara
Indonesia pada umumnya.

Apakah munculnya kebijakan dari pemerintah saat ini yang membubarkan FPI setelah sebelumnya HTI juga dibubarkan, merupakan rentetan kejadian yang mengulang kembali kejadian tahun 1965 ?. Jika tahun 1965 yang dibubarkan adalah Masyumi, PSI dan (hampir) HMI sementara sekarang yang dibubarkan sekarang adalah HTI dan FPI , apakah pelakunya adalah anasir anasir yang sama?. Soalnya jaman SBY yang begitu kental militernya saja tidak melakukan langkah yang "senekad" rezim ini yaitu membubarkan ormas islam seperti FPI maupun HTI (Hizbut Thahrir Indonesia). Padahal kurang apa kritik oposan pada SBY dimasanya. Tapi kritik dan hinaan pada masa SBY ditanggapi biasa biasa saja. Mungkin karena pemerintah saat itu masih menghormati hak azasi manusia.

Lalu kenapa penguasa yang berlatar belakang sipil sekarang ini malah terkesan begitu represif pada oposan yang mengkritisi kebijakannya ? Jawaban atas pertanyaan tersebut mungkin bisa dicari dengan menjawab pertanyaan : siapa yang paling diuntungkan dengan bubarnya FPI dan banyaknya oposan yang dipenjara?


Upaya Pengaburan?

Peristiwa pembubaran ormas FPI menyusul larangan larangan yang dikenakan terhadap organisasi itu disebut sebut berkaitan erat dengan peristiwa pembunuhan diluar hukum yang dilakukan oleh aparat negara yang membuat 6 orang FPI meregang nyawa. Akhir akhir ini desakan publik terus menguat terhadap pembentukan tim independen pencari fakta di balik peristiwa yang telah membuat 6 orang meregang nyawa. Desakan itu antara lain datang dari Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW), Neta S Pane. Desakan juga datang dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Selain itu desakan juga datang dari ormas
keagamaan seperti Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dan Rabithah Alawiyah dan beberapa organisasi lainnya.

Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM Busyro Muqoddas meminta Presiden RI Joko Widodo membentuk tim independen untuk mengusut kasus bentrok tersebut. Busyro mendesak agar tim independen nantinya dibentuk dengan melibatkan sejumlah unsur organisasi sipil. "PP Muhammadiyah mendesak, menuntut, Presiden RI, Bapak Ir. Joko Widodo, untuk membentuk tim independen,"  ujar Busyro dalam konferensi pers yang disiarkan langsung, Selasa (8/12).

Selain tuntutan agar dibentuk tim Independent, penyelesaian kasus ini juga bisa terancam dibawa ke pengadilan Internasional di Den Haag Belanda. Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar berpendapat, hilangnya nyawa enam (6) laskar pengawal pentolan Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab yang didor eksekutor merupakan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, bisa diseret ke Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag, Belanda.“Tindakan ini bisa diadili di Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai pelanggaran HAM, bahkan bisa diadili di ICC (International Criminal Court) di Den Haag,” katanya dalam pesan singkat seperti dikutip Tagar, Rabu, 16 Desember 2020.

Kasus tewasnya enam pendukung Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (HRS) memang diprediksi akan berbuntut panjang. Pengamat politik Ujang Komarudin bahkan memprediksi kasus tersebut akan sangat merugikan kredibilitas pemerintahan Presiden Joko Widodo. “Karena kita tahu polisi itu di bawah presiden, di bawah kendali langsung presiden,” ujar Ujang kepada jpnn.com, Selasa (8/12).


Ditengah tengah desakan untuk mengadili para pelaku pendembakan laskar FPI itu tersiar berita staf Kedutaan Besar (Kedubes) Jerman mendatangi sekretariat Front Pembela Islam (FPI) terkait insiden penembakan enam Laskar FPI. Kedatangan staf Kedubes Jerman yang disebut-sebut sebagai agen intelijen Jerman itu tentu menimbulkan tanda tanya, ada apa?. Kini penembakan terhadap 6 laskar FPI yang oleh Kontras dan elemen bangsa lainnya disebut sebut sebagai pelanggaran HAM berat itu sudah menjadi perhatian dunia. Muncul kesan bahwa pemerintah Indonesia dinilai tidak mampu melindungi hak azasi warga negaranya karena terjadinya pembunuhan diluar hukum yang telah dilakukan oleh aparat negara.

Dalam kaitan ini kredibilitas pemerintah memang sedang dipertaruhkan bukan saja didalam negeri tetapi juga di mancanegara. Yang paling dikhawatirkan dalam kaitan ini tentunya adalah kemungkinan keterlibatan Mahkamah Internasional terhadap upaya pengusutan kasusnya. Apakah mungkin dengan alasan untuk mengantisipasi pengusutan kasus penembakan 6 FPI oleh pihak luar, lalu FPI segera dibubarkan agar supaya kalau di usut nanti ada alasan FPI sudah tidak ada karena dinilai sebagai organisasi terlarang di Indonesia ?. Lagi pula dengan menyatakan FPI sebagai organisasi terlarang bisa dijadikan dalih untuk “melegalkan” pembunuhan terhadap personilnya?.

Belajar dari kasus pembunuhan ratusan ribu nyawa manusia tanpa proses pengadilan pasca pemberontakan PKI tahun 1965,maka bisa saja pembunuhan terhadap 6 orang FPI “dianggap legal” karena organisasinya telah dinyatakan sebagai organisasi terlarang di Indonesia. Apakah memang begitu maksud dan tujuannya ?. Banyak jalan menuju Roma, banyak cara untuk menghindar dari proses hukum yang bakal menjeratnya. Apakah kebijakan membubarkan FPI adalah salah satu jalan yang  dipilih untuk menghindar dari ancaman hukum yang berpotensi menjeratnya?

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar