Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Mengkhawatirkan Dampak Migrasi Oligarkhi Disaat Pandemi Covid-19

Minggu, 13/12/2020 10:40 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa (Ist)

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Hari Jumat tanggal 11 Desember 2020, ada ribuan izin pertambangan yang diambil alih oleh Pemerintah Pusat di Jakarta. Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Batubara Kementerian ESDM Sujatmiko mengungkapkan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 alias UU Mineral dan Batubara (Minerba), setelah 6 bulan diundangkan, maka kewenangan perizinan diambil alih dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat.

Seperti dikutip oleh media, Sujatmiko bilang, pihaknya sudah berkirim surat kepada para Gubernur untuk menyerahkan seluruh perizinan di daerahnya. "Sehingga 11 Desember ke depan pemerintah akan mengelola perizinan nasional dan nanti begitu PP (Peraturan Pemerintah) terbit, kami akan tugaskan," sambungnya.

Asal tahu saja, UU Minerba resmi diundangkan dan ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 10 Juni 2020 lalu atau sudah enam bulan usianya. Dalam Pasal 35 (1) UU minerba baru itu, disebutkan bahwa usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat di Jakarta.

Penarikan perijinan tambang dari pemerintah daerah ke pemerintah Pusat itu menandai terjadinya migrasi  oligarkhi sektor tambang  ke tingkat  Pusat sebagai konsekuensi berlakunya UU minerba yang diduga hasil “perselingkuhan” antara pengusaha dan penguasa. Migrasi oligarkhi ini dikhawatirkan akan memunculkan berbagai kerusakan karena semakin renggangnya  kekuatan masyarakat sipil dalam mengontrol kekuasaan beserta kebijakan kebijakan yang diambilnya.

Oligarki Sektor Tambang

Oligarki adalah sebuah struktur pemerintahan dimana kekuasaan berpusat hanya pada sekelompok orang. Seringkali golongan ini mengendalikan kekuasaan sesuai dengan kepentingan mereka saja. Menurut Aristoteles, oligarki, yang makna literalnya dapat diterjemahkan menjadi ‘kekuasaan oleh segelintir orang,’ merupakan manifestasi pemerintahan yang buruk rupa. Oleh karena sifatnya yang elitis dan eksklusif, terlebih lagi biasanya beranggotakan kaum kaya, oligarki tidak memperhatikan kebutuhan masyarakat luas dan yang membutuhkannya.

Oligarki tidak dapat disamakan dengan aristokrasi yang dapat dianggap sebagai pemerintahan oleh golongan kecil yang benar. Yang berkuasa dalam pemerintahan aristokrasi adalah kaum bangsawan yang berparitisipasi di parlemen beserta dengan raja dan ratu yang dipercayai sebagai pemimpin oleh karena garis keturunannya.

Walau memang aristokrasi juga dikendalikan oleh kelompok kecil orang, perbedaannya dengan oligarki dapat dilihat dari komitmen aristokrat untuk tidak menyalahgunakan wewenangnya dan memastikan bahwa rakyatnya hidup sejahtera. Namun, aristokrasi juga dapat berubah menjadi oligarki apabila dipengaruhi oleh kelompok elitis bangsawan seperti penasehat-penasehat tinggi sang raja.

Fenomena praktek oligarkhi di negara kita faktanya memang cukup menggenaskan sehingga membuat kita mengelus dada. Betapa tidak, oligarki yang hanya berjumlah 2/1.000.000 atau sekitar 400 orang (dengan asumsi jumlah penduduk 200 juta), mereka memiliki kekayaan bersih setara 10 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) – (data 2010).

Dengan pola oligarkhi, Negara diatur sedemikian rupa agar tidak turut campur dalam aktivitas mekanisme pasar karena dikendalikan oleh kekuatan  swasta. Prinsipnya negara hanya berfungsi sebagai fasilitator, penjaga modal serta pemungut pajak dari modal yang bekerja.

Akhir akhihr ini terlihat makin menguatnya pengaruh oligarki dalam menentukan kebijakan ekonomi politik negara. Menurut pengamat politik dari Amerika Serikat, Jeffrey A. Winters, para oligarki memiliki banyak cara mengekspresikan kekuasaan mereka dalam liberalisasi Indonesia. Oligarki yang dibesarkan oleh rezim Soeharto terus bertransformasi dengan menyesuaikan konteks politik di Indonesia melalui skema neoliberalisme, seperti demokratisasi, desentralisasi, dan deregulasi yang berkelindan dengan agenda politik negara.

Dengan demikian ciri negara dan pemerintahan yang dikuasai oleh oligarki, yakni kekuasaan terkonsentrasi atau dikendalikan oleh kelompok atau segelintir elit politik dan ekonomi. Hal ini menyebabkan terjadinya ketidaksetaraan ataupun kesenjangan dari segi material yang cukup ekstrem. Uang dan kekuasaan merupakan hal yang tidak terpisahkan, kekuasaan dimiliki hanya untuk mempertahankan aktivitas bisnis dan kekayaan belaka.

Kalau kita cermati fenomena politik saat ini di Indonesia,Pemerintah yang sekarang berkuasa di Indonesia dinilai memang tak lepas dari pengaruh oligarkhi khususnya oligarkhi tambang yang sudah menancapkan kukunya di pusaran kekuasaan sejak lama. Sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) telah lama menyoroti oligarki pengusaha tambang sejak pelaksanaan Pilpres 2019 yang melibatkan dua kandidat yaitu Jokowi-KH. Ma’ruf Amin dan Prabowo –Sandiaga.

Koordinator Jatam Merah Johansyah mengatakan, hal ini terlihat dari dukungan Jokowi-Ma`ruf yang 86 % dana kampanyenya berasal dari Perkumpulan Golfer TBIG dan TRG. Merah menengarai TBIG merupakan Tower Bersama Infrastructure Group, sedangkan TRG adalah PT Teknologi Riset Global Investama. Keduanya didirikan oleh bendahara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma`ruf, yakni Wahyu Sakti Trenggono. 

Adapun 70 % dana kampanye paslon 02 berasal dari Sandiaga yang juga berafiliasi kepada sejumlah perusahaannya. Trenggono dan Sandiaga sama-sama sempat terhubung dengan PT Merdeka Copper Gold Tbk. Saham Merdeka dimiliki perusahaan Sandiaga yakni Saratoga, sedangkan Trenggono merupakan Komisaris Merdeka. "Oligarki tambang melekat pada kedua calon," kata Merah dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (11/2/20) yang lalu.

Selain Sandiaga dan Trenggono, nama lain yang disebut Jatam adalah Luhut Binsar Pandjaitan, pemilik Toba Bara. Luhut merupakan bagian dari Tim Bravo 5 yang anggota lainnya merupakan pihak terafiliasi Komisaris Toba Sejahtera, Toba Fachrur Razi dan Suaidi Marasabessy. Selain itu, dalam catatan Jatam ada juga Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh yang terkait PT Emas Mineral Murni serta Oesman Sapta Oedang yang memiliki PT Karimun Granite di Karimun.

Ada pula nama mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam bisnis batu bara dan emas juga terafiliasi dalam Kalla Arebama yang merupakan bagian Kalla Group. Begitu juga Hary Tanoesoedibjo lewat PT Nuansacipta Coal Investment, mantan Bendahara TKN Jusuf Hamka yang pernah menjadi Komisaris Independen PT Indocement Tbk, hingga Aburizal Bakrie lewat beberapa perusahaannya. 

Sedangkan di kubu paslon 02, Jatam mencatat ada Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto yang merupakan Ketua Umum Partai Berkarya. Kemudian, pengusaha minyak dan gas (migas) Maher Al-Gadrie yang memimpin Korel Group hingga adik Prabowo yakni Hasjim Djojohadikusumo yang sempat memiliki tambang PT Batu Hitam Perkasa. 

Ada juga tiga mantan pejabat di lingkaran 02 terkait pertambangan. Dari catatan Jatam, yang pertama adalah Sudirman Said yang mengevaluasi penerbitan izin usaha pertambangan minerba. Kedua adalah mantan Kepala Badan Pemenangan Nasional (BPN) Ferry Mursyidan Baldan yang istrinya memiliki usaha pengerukan baru bara di Berau. 

Berikutnya adakah Zulkifli Hasan yang mengeluarkan penurunan status kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi terbatas sebagai awal aktivitas Bumi Suksesindo. "Pertanyaannya, pemilu nanti untuk siapa karena bagi keselamatan rakyat tidak ada manfaatnya," kata dia merujuk bisnis energi kotor para pengusaha tersebut

Setelah Jokowi memenangi Pilpres 2019 menyusul bergabungnya Prabowo kedalam pemerintah yang sekarang berkuasa maka para oligarkhi disektor tambang itupun pada akhhirnya ikut menata diri menyelinap kedalam struktur kekuasaan yang ada.

Selain nama nama yang telah disebutkan diatas, ada sekelompok pelaku oligarkhi sektor tambang yang bersinggungan dengan pemilik / penguasa perusahaan tambang raksasa seperti PT Tanito Harum , PT Artmin Indonesia, PT Adaro Energy , PT Kaltim Prima Coal ,  PT Multi Harapan Utama, PT Kideco Jaya Agung dan PT Berau Coal dan sebagainya. 

Terkait dengan persoalan oligarkhi ini menarik tulisan dari Jeffrey A. Winters (2011)  dalam bukunya “Oligarkhi” yang mencoba memaparkan situasi politik Indonesia pasca oligarki sultanik Soeharto jatuh, dan menuju ke oligarki kolektif dalam demokrasi electoral yang sekarang berlaku di Idonesia.

Menurutnya para oligark, atau orang kaya Indonesia saat ini menguasai dan mengendalikan kekayaan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial eksklusif secara kolektif dalam demokrasi electoral yang ada. Termasuk dengan mendirikan ataupun menjadi bagian pendukung partai, mendanai kelahiran kebijakan atau jika perlu menyuap untuk mengubah Undang-undang, bahkan terjun menjadi politisi, anggota DPR maupun pejabat pemerintah yang sedang berkuasa.

Kehadiran para oligark bisa dilihat dari sejarah beberapa orang kaya Indonesia yang jadi pejabat partai sekaligus pemerintahan dan memiliki berlapis-lapis statusnya. Beberapa contoh, Jusuf Kalla, bagian pengusaha Kalla Group, Ketua Partai Golkar (2004-2009), menteri (1999-2004) dan wakil presiden (2004-2009 dan 2014-2019).

Abu Rizal Bakrie, orang terkaya di Asia Tenggara pada 2008 versi Globe Asia, pemilik tambang batubara terbesar di Indonesia, jadi menteri masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009) dan menjabat Ketua Partai Golkar (2009-2015).

Di tingkat lokal misalnya di Kabupaten Kutai Kertanegara, ada Rita Widyasari yang memiliki aset pribadi sekitar Rp436 miliar, pengusaha tambang batubara, Ketua Partai Golkar Kaltim (2016-2021). Dia adalah Bupati Kutai Kertanegara dua periode (2010 -2021) sebelum ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun lalu karena kasus gratifikasi, salah satu izin perkebunan sawit milik Heri Susanto (Abun), sesama oligark di Kaltim.

Sebagian dari oligark tersebut memang ada yang merangkap langsung menjadi pejabat pemerintah atau penguasa suatu wilayah yang dikendalikannya. Namun sebagian besar pelaku oligarkhi dari warga negara keturunan lebih suka bermain aman dengan menjadi penyokong kekuasaan tanpa harus terlibat langsung dalam struktur kekuasaan yang ada. Hal ini tak dapat dilepaskan kaitannya dengan besarnya resistensi manakala mereka harus melibatkan diri dalam politik praktis kecuali diwilayah wilayah tertentu dimana struktur mayoritas masyarakat mendukung kehadirannya seperti di Singkawang Kalbar misalnya.

Oleh karena itu para pelaku oligarkhi dari warga negara keturunan ini lebih suka “beternak penguasa”. Mereka cukup memerankan dirinya sebagai  bandar untuk calon calon pemimpin daerah yang sedang melaksanakan pilkada. Imbal baliknya ketika calon penguasa yang disokong lolos menjadi pemimpin daerah bisa mendapatkan kompensasi berupa ijin ijin tambang, perkebunan atau yang lainnya. Diperkirakan banyak oligark yang bermain dalam penghelatan pilkada serentak tahun 2020 yang baru usai pelaksanannya.

Migrasi Oligarkhi Tambang dan Dampaknya

Di tengah kesibukan menghadapi pandemi virus Corona yang masih menyatroni negara Indonesia, Pemerintah indonesia beserta DPR secara kilat telah  mengesahkan perubahan undang-undang No 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba). Perubahan UU pertambangan di tengah pandmei ini telah  menimbulkan tanda tanya besar untuk apa dan untuk siapa sebenarnya perubahan itu dilakukan secara terburu buru dan terkesan tertutup prosesnya.

Pasalnya rancangan undang-undang ini sudah pernah mendapatkan penolakan tegas dari masyarakat karena dirasa pemerintah lebih berpihak pada korporasi dari pada rakyatnya. Ketidakadilan yang terjadi dalam undang undang ini di rasa sangat mencolok dengan adanya point-point penting yang bersifat kontroversial didalamnya  seperti kewenangan Perizinan, Perpanjangan izin, Pengaturan terhadap Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan aspek lingkungan, Hilirisasi, divestasi, hingga Pengaturan yang diklaim untuk memperkuat BUMN alias Badan Usaha Milik Negara.

Terkait dengan Kewenangan Pengelolaan dan Perizinan, pasal 4 ayat 2 Undang Undang Minerba yang baru menetapkan adanya kewenangan pengelolaan dan perizinan di berikan sepenuhnya kepada pemerintah pusat tanpa adanya campur tangan pemerintah daerah, yang sebelumnya berada di bawah tanggung jawabnya. Hal ini tentu saja mengurangi kekuasaan pemerintah daerah dalam industri minerba. K

Karena adanya peralihan kewenangan pengelolaan Mineral dan Batubara akan mengurangi kewenangan pemerintah daerah juga dalam memberikan peraturan kepada Korporat Minerba. Dampaknya akan terjadi sentralisasi kekuasaan yang berdampak pada menurunnya  penerimaan pemerintah daerah yang di dapatkan dari sektor Minerba.

Dengan  dicabutnya urusan pemerintah daerah di UU Nomor 23 Tahun 2014 melalui UU minerba yang baru maka  dinas pertambangan di daerah tingkat provinsi bisa saja dicabut, sebagaimana dinas pertambangan kabupaten dan kota yang hari ini sudah tidak ada karena urusannya sudah tidak di kabupaten/kota.

Dengan adanya UU Minerba yang baru sebenarnya patut dipertanyakan efektivitas pembinaan dan pengawasan pemerintah pusat terhadap pengelolaan pertambangan minerba.Resentralisasi kewenangan ke pemerintah pusat tanpa mempertimbangkan kapasitas pemerintah pusat dalam membina dan mengawasi serta abai terhadap kepentingan pemerintah daerah bisa  berpotensi menimbulkan gejolak nantinya.

Pada sisi lain dengan adanya  revisi Undang-Undang Minerba akan sangat menuntungkan korporasi yang selama ini bergerak dibidang tambang khususnya batubara. Karena dengan adanya UU baru ini akan  menjamin adanya keberlangsungan operasi Kontrak Karya (KK)/ Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai tindak lanjut operasi dengan alasan akan adanya peningkatan penerima Negara. 

Inti dari pasal tersebut adalah adanya peraturan perpanjangan Kontrak Karya (KK)/Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) tanpa adanya pelelangan sebagaimana seharusnya ketika kontrak karya berakhir masa berlakunya. Dengan demikian  pengusaha tambang akan dapat memperpanjang KK/PKP2B Tanpa harus mealui proses lelang terlebih dulu sebagaimana yang dilaluinya ketika awal awal ia mendapatkan ijin kontrak karya.

Saat ini menurut data Kementrian Energi dan sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukan ada tujuh PKP2B generasi pertama yang akan berakhir dalam lima tahuk kedepan seperti PT Tnito Harum (Sudh habis tahun 2019 dan di sudah di perpanjang), PT Artmin Indonesia (2020), PT Adaro Energy (2022), PT Kaltim Prima Coal (2021) PT Multi Harapan Utama (2022), PT Kideco Jaya Agung (2022) PT Berau Coal (2025) dan sebagainya. Adakah kiranya oligark pengusaha tambang ini ikut “menanam saham” untuk kelahiran RUU minerba baru  yang sekarang sudah disahkan penguasa ?

Dalam konteks ini kita melihat pemerintah tengah menyediakan beragam kemudahan demi menyelamatkan perusahaan tambang. Salah satunya wacana usulan pemotongan tarif royalti yang harus dibayar kepada negara dan sejumlah insentif lainnya bagi perusahaan. Bagi pengusaha batu bara, pemerintah juga menyediakan insentif fiskal dan non fiskal dengan syarat tertentu seperti hilirisasi yang menguntungkan mereka. Dalam peraturan terkait  yang insentif dengan hilirisasi ini terdapat dalam pasal 102, Pasal 103, Pasal 47, Pasal 83 dan pasal 170 (A).

Pemerintah berdalih bahwa kebijakan seperti itu muncul dengan alasan agar investor tetap tertarik untuk menanamkan modalnya di sector pertambangan di Indonesia. Karena dampak dari covid-19 inilah yang membuat harga komoditas pertambangan menurun produksinya. Di sisi lain, Indonesia saat ini sangat membutuhkan Investasi besar untuk mendukung program hilirisasi pertambangan untuk menambah pendapatan negara.

UU Minerba terbaru ini juga di nilai akan sangat berdampak buruk pada kelestarian Lingkungan. Dengan adanya kemudaham yang di berikan pemerintah kepada pegusaha pertambangan dalam aturan untuk perpanjangan izin usaha baru maka akan semankin banyak juga perusahaan yang beroperasi sehingga akan menimbulkan dampak yang sangat signifikan terhadap keberlangsungan Lingkungan Hidup. 

Para pegiat Lingkungan berpendapat bahwa UU Minerba dirasa sangat memaksakan. Mereka merasa bahwa pemerintah lagi-lagi sangat menyanyangi kepentingan industri mineral dan batu bara di bandingkan dengan rakyat dan Lingkungan alam Indonesia. Pemerintah sepertinya mengabaikan pertimbangan-Pertimbangan penting yang seharusnya menjadi fokus dalam pembahasan UU Minerba.

Dengan adanya pengesahan UU Minerba ini pemerintah memberikan jaminan dan keselamatan elit korporasi, namun tidak untuk rakyat yang sedang terancam di situasi Covid 19 dan juga lingkungan hidup yang kita tempati secara berdampingan. Berbagai pasal di dalamnya yang penuh akan surat surat titipan oligarki pertambangan ini mempertegas tatanan prioritas pemerintah yang sedang berkuasa.

Selama pembahasan dan pengesahan UU Minerba sepertinya memang terkesan minim perhatian dari para pegiat lingkungan yang biasanya nyaring bersuara termasuk suara dari masyarakat yang bakal terkena dampaknya. Pada hal dalam UU Minerba yang baru  tak ada satupun klausul atau pasal yang menempatkan warga sebagai subjek yang berdaulat menentukan tanah mereka. Tak ada pasal yang memungkinkan rakyat memiliki hak veto menolak tambang di tanahnya sendiri yang selama ini ditempati atau digarapnya.

Yang juga berbahaya adalah ketentuan yang  mengatur soal  Wilayah Hukum Pertambangan yang meliputi  seluruh kawasan darat, kawasan laut, termasuk kawasan dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah yakni kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan, dan landas kontinen juga.

Uraian yang baru terdapat di UU Minerba  yang baru ini justru mengancam ruang hidup masyarakat karena seluruh kegiatan, mulai dari penyelidikan hingga pertambangan masuk dalam ruang hidup masyarakat.Perubahan UU Minerba seakan tidak lagi peduli terhadap dampak yang akan merenggut nyawa masyarakat. Misalnya, Pasal 162 dan Pasal 164, yakni pasal yang membuka peluang kriminalisasi terhadap masyarakat yang melawan aktivitas pertambangan.

Tentu secara tidak langsung norma tersebut tak harmonis dengan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dan UU 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, karena dianggap sebagai norma perusak lingkungan. Pada sisi lain ada  soal keistimewaan terhadap taipan tambang dalam perizinan dan pelaksanaan aktivitas pertambangan.Dimensi inilah yang sebetulnya pintu masuk terjadinya oligarki kekuasaan dan perusahaan.

Penerbitan UU Minerba seakan memang menjadi  karya fenomenal hasil kongkalikong antara taipan tambang dengan pembentuk undang-undang yang telah menggolkan aturan ini dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.Salah satu keistimewaan itu ditunjukkan pada Pasal 42 UU Minerba, soal jangka waktu penguasaan lahan yang sebelumnya diberikan hanya 2 tahun yang bisa diperpanjang unutk tahap berikutnya.

Dengan adanya UU Minerba yang baru, maka penguasaan tanah dalam skala besar oleh pengusaha tambang setidaknya 8 tahun dan dapat diperpanjang satu tahun setiap kali perpanjangan.Itu baru satu pasal yang disebutkan dan masih banyak lagi keistimewaan yang didapat oleh pengusaha tambang atas kehadiran undang-undang baru tersebut.

Singkat kata UU Minerba yang baru lebih banyak didesain untuk untuk mengakomodir kepentingan oligarki tambang itu sendiri, yang sebagian besar berada di lingkaran Istana Negara dan pusat pusat kekuasaan lainnya. 

Yang jelas dengan adanya UU Minerba yang baru telah mendorong terjadinya migrasi oligarkhi dari daerah ke pusat yang membuat kewenangan pusat menjadi gemuk sehingga memudahkan kalau mau melakukan kongkalingkong menilep hasil kekayaan sumberdaya alam Indonesia.Para pelaku oligark tinggal nongkrong di Jakarta tanpa harus capek capek keliling Indonesia  menemui Gubernur, Bupati atau Walikota untuk memuluskan usahanya.

Karena ijin-ijin dan yang lain lainnya sudah ditarik ke pemerintah pusat  di Jakarta. Kondisi ini tentu saja mirip kasusnya  dengan praktek yang terjadi pada jaman Orba.  Apakah ini akan menandai era hilangnya raja raja kecil di daerah yang merajalela pasca tumbangnya pemerintah Orba ?. Hilangnya raja kecil akan memunculkan raja raja kakap di tingkat Pusat yang jumlahnya hanya segelintir orang namun sangat berkuasa karena bisa menentukan perjalanan nasib bangsa. Fenomena inikah kiranya  yang akan terjadi kedepannya  di Indonesia ?

Kabarnya sudah ada upaya untuk menguji pasal-pasal kontroversial UU Minerba tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).Tentu kita berharap MK dapat memutus pengujian undang-undang itu seadil-adilnya tanpa memihak namun mempertimbangkan kemakmuran rakyat sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 Karena jka dibiarkan begitu saja, maka sumber daya alam yang melimpah di republik ini akan tinggal kenangan belaka.

(Editor\Warta Wartawati)

Share:




Berita Terkait

Komentar