KPAI: Prostitusi Anak Meningkat di Tengah Pandemi Covid-19

Jum'at, 02/10/2020 20:31 WIB
KPAI (Radio PRFM)

KPAI (Radio PRFM)

Jakarta, law-justice.co - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengeluarkan data sejak Juli hingga September, lebih dari 100 kasus menimpa anak terkait eksploitasi dan kekerasan seksual hingga perdagangan. Masalah prostitusi melibatkan anak terus bergulir dan menjadi keprihatinan.

Bahkan, per 31 Agustus, anak korban TPPO dan eksploitasi berjumlah 88 kasus dengan didominasi oleh anak korban eksploitasi pekerja anak sebanyak 18 kasus dan anak korban prostitusi 13 kasus, dan selebihnya anak korban perdagangan, anak korban adopsi illegal, anak korban eksploitasi seks komersial anak dan anak (pelaku) rekruitmen ESKA dan Prostitusi.

Secara khusus, KPAI memantau sejak Juli sd September 2020 pada sembilan kasus di berbagai kota/kabupaten (Ambon, Paser, Madiun, Pontianak, Bangka Selatan, Pematang Siantar, Padang, Tulang Bawang Lampung dan Batam Kepri) dengan jumlah 52 korban, serta terdapat pula belasan pelaku rekruitmen dan saksi anak di bawah umur.

"Padahal sejalan dengan masa pandemi anak harus sepenuhnya berada di rumah bersama orang tua dan mematuhi protokol kesehatan, anak terpenuhi hak Pendidikan dan pengasuhannya," ujar Komisioner KPAI Bidang Trafficking dan Eksploitasi, Ai Maryati Solihah, dikutip dari Viva.co.id, Jumat (2/10/2020).

Temuan KPAI dalam pemantauan tersebut antara jumlah korban Prostitusi yang melibatkan anak rata-rata lebih dari satu orang pada setiap kasusnya, dengan tren anak perempuan usia paling rendah 12 tahun sampai dengan 18 tahun. Pada hampir semua peristiwa melibatkan muncikari/penghubung dengan ragam subjek pelaku, misalnya bertindak sebagai bos dan jaringannya yang menjalankan peran masing-masing, sehingga menjadi sebuah sindikat.

Selain itu pola "teman menjual teman" dalam lingkungan sebaya juga sangat menonjol dan trend saat ini mucikari merangkap sebagai pacar, hingga terlibat hidup bersama (kumpul kebo) agar mudah memperdaya korban. Serta muncikari yang mencabuli terlebih dahulu para korban sebelum dijual, sehingga anak terus dimanfaatkan dan mendapatkan kekerasan.

"Dengan demikian “muncikari” menjadi mata rantai perdagangan manusia yang mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda dengan mengeksploitasi anak secara seksual dalam prostitusi," katanya.

Berdasarkan data yang sama, Dari 9 kasus di atas mayoritas merupakan kasus prostitusi online yang memanfaatkan kemudahan transaksi elektronik dalam menjalankan aksinya. Mereka menggunakan beragam media sosial seperti Facebook, Mechat, Wechat dan Whatsapp yang kemudian dihubungkan kepada pelanggan.

Latar belakang anak masuk dan terlibat dalam prostitusi beragam, namun didominasi oleh pemanfaatan anak dalam situasi rentan, misalnya mereka yang membutuhkan pekerjaan, direkrut kemudian ditampung untuk dipekerjakan, padahal dilibatkan prostitusi. Kemudian pola dipacari dahulu sehingga mengikuti perintah pacar untuk melayani laki-laki hidung belang

"Korban saat ini sudah berada dalam perlindungan layanan Pemerintah Daerah setempat, baik P2TP2A, serta Panti Sosial yang menangani perempuan dan anak untuk dilakukan pemulihan dan penanganan serta memastikan pemenuhan hak-hak anak, terutama kesehatan fisik dan psikologis," tuturnya.

(Hendrik S\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar