Desmon J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Tetap Ngotot Gelar Pilkada Saat Corona, Pemerintah Sudah Mati Rasa?

Sabtu, 19/09/2020 10:58 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond J Mahesa (ist)

Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond J Mahesa (ist)

Jakarta, law-justice.co - Gelaran pemilihan kepala daerah (Pilkada) kini tinggal menghitung bulan saja pelaksanaannya. Kalau tidak ada  halangan pilkada akan dilaksanakan tanggal 9 Desember mendatang atau ditunda tiga bulan dari rencana semula.

Seperti agenda liga sepak bola Eropa yang diundur tiga bulan karena terdampak pandemi virus corona, agenda Pilkada pun begitu juga. Awalnya,  kontestasi pemilihan kepala daerah ini diagendakan digelar bulan September yang lalu, namun  jadwal dimundurkan karena pandemi virus corona yang masih merajalela.

Ternyata setelah dimundurkan, pandemi virus corona tak kunjung mereda bahkan cenderung makin menggila. Jumlah mereka yang terjangkit virus ini makin meningkat setiap harinya sampai sampai membuat heran presiden Indonesia. Pada hal dibeberapa wilayah, PSPB sudah diberlakukan kembali setelah sempat dikendorkan pelaksanaannya.

Kondisi tersebut akhirnya memunculkan pemikiran baru untuk kembali menunda pelaksanaan pilkada. Alhasil rencana pelaksanaan pilkada tanggal 9 Desember nanti akhirnya menimbulkan pro dan kontra. Mereka yang sepakat untuk menunda, menyampaikan alasan alasannya begitu juga yang menolaknya. Seperti apakah gambaran pro kontranya ?, Apa reaksi  pemerintah menanggapi fenomena sikap masyarakat yang terbelah menjadi dua ?. Dengan ngototnya pemerintah menggelar pilkada ,apakah ini cerminan sebuah rejim  yang sudah mati rasa ?

Pro Kontra

Tidak dapat dipungkiri, rencana pelaksanaan pilkada tanggal 9 desember mendatang telah memantik reaksi di tengah masyarakat kita. Ada yang setuju pilkada terus dilalanjutkan pelaksanaannya tapi banyak juga yang menolaknya. Mereka yang sepakat pilkada terus lanjut antara lain disuarakan oleh jajaran DPP PDI Perjuangan (PDIP) melalui Sekretaris Jenderalnya. 

Sekretaris Jenderal DPP PDIP, Hasto Kristiyanto mengatakan pihaknya memperhatikan faktor-faktor resiko ke depannya. Yang penting saat ini, sudah ada harapan ditemukan vaksin virus corona. Plus ada kesadaran untuk terus mengingatkan pentingnya protokol kesehatan dalam pelaksanaan pilkada nantinya.

"Oleh karena itu, mengingat pilkada serentak sudah beberapa kali ditunda dan kita sudah berkomitmen tanggal 9 Desember, sikap dari PDI Perjuangan adalah pilkada tetap tanggal 9 Desember. Hanya saja seluruh ketentuan protokol pencegahan COVID-19 harus dijalankan," katanya sebagaimana dikutip law-justice,co.  13/9/2020.

Kata Hasto, bagi PDIP, jika pilkada ditunda, maka akan ada resiko politiknya. Sebab penundaan akan menciptakan ketidakpastian baru. Dan harus diingat, warga Indonesia punya kecenderungan mengikuti teladan dari pemimpinnya. Maka itulah partainya mewajibkan setiap cakada yang diusung untuk memastikan diri sebagai teladan bagi rakyatnya.

Alasan senada juga disampaikan oleh Mahfud MD, sebagaimana dikutip RMco.id 14/9/2020. Menurut Mahfud MD, Pilkada 2020 tidak bisa ditunda lagi meski dengan  alasan pandemi Covid-19 masih merajalela. Bila ditunda,  banyak risiko yang akan terjadi ke depannya.

Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, hingga saat ini belum ada satu pun pihak yang  bisa memastikan kapan selesainya pandemi virus corona. Mulai dari dokter, sosiolog hingga WHO sebagai badan kesehatan dunia. Sehingga, argumentasi pilkada harus ditunda karena pandemi belum  usai juga punya risiko tersendiri yang harus di hitung juga.

Risiko pertama, sebut Mahfud, penundaan akan jadi sangat panjang lantaran tidak ada yang tahu kapan berakhirnya virus corona. Risiko lain, bila pilkada ditunda dengan alasan menunggu  sampai pandemi usai, akan menyebabkan roda pemerintahan kurang maksimal bekerja. Sebab, posisi kepala daerah banyak yang digantikan oleh pelaksana (Plt) yang terbatas kewenangannya.

Pendapat Mahfud MD diamini oleh Mendagri Tito yang mengemukakan, Pilkada 9 Desember 2020 tidak bisa ditunda. Dia menyadari memang ada  risiko dalam pelaksanaannya di tengah pandemi virus corona. 

Sementara itu mereka yang  meminta supaya pilkada ditunda mienyampaikan alasan alasannya antara lain Ketua Komite I DPD RI, Fachrul Razi yang meminta penyelenggaraan pilkada ditunda.“Sebagai bentuk komitmen dan tanggungjawab kepada 105 juta pemilih, Komite I akan senatiasa menyampaikan penolakan pelaksanaan Pilkada pada Desember 2020 dan mendorong pemerintah untuk menundanya di tahun 2021," tegasnya.

Dikutip Tim Lingkar Madiun dari Pikiran Rakyat, yang melansir dari Fix Pekanbaru, Tindakan penolakan pilkada tersebut dinyatakan Fachrul Razi bukan tanpa alasan. Melainkan melihat kondisi nyata saat ini yang berdasarkan  fakta dari berbagai sumber dan data.

Menurut  Fachrul, beberapa alasan tersebut di antaranya, pertama penularan covid-19 sudah rentan terjadi pada penyelenggara pilkada. Baik pada KPU ataupun Bawaslu di daerah. “Hingga 10 September ,ditemukan bahwa salah satu Komisioner KPU terkena covid-19  setelah sebelumnya 21 pegawainya terkena covid,” ungkapnya.

Pengamat politik, M Qodari menggambarkan adanya risiko “bom waktu” kasus Covid-19 bisa meledak jika pilkada serentak tak ditunda  dengan analisa menggunakan pemodelan matematika.Qodari yang juga Direktur Eksekutif Indobarometer itu lantas menggambarkan tentang bagaimana risiko “bom waktu” penularan Covid-19 apabila tahapan pilkada serentak tak ditunda.

Hal senada disampaikan epidemiolog dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra mendesak penundaan pilkada karena berpotensi menghasilkan klaster jumbo virus corona. "Kita berharap Pemerintah tidak menganggap sepele Pilkada. Adapun kasus Covid-19 sudah lebih  200 ribu, jadi bayangkan nanti kita bisa tembus 500 ribu bahkan melonjak sejuta kasus," kata Hermawan seperti dikutip CNNIndonesia.com, Jumat (4/9).

Prediksi yang lebih mengerikan disampaikan oleh LP3ES, yang memperkirakan ada 34 juta orang bakal terpapar virus corona jika tetap digelar pilkada. Dikutip dari law-justice.co - Director Center for Media and Democracy LP3ES, Wijayanto menyatakan puluhan juta orang berpotensi terpapar Covid-19 jika pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020 tetap diselenggarakan di tengah meningkatnya kasus positif virus corona.Hal itu dia ungkapkan diacara diskusi virtual bertajuk "Politik Uang dalam Pilkada di Masa Pandemi" yang diselenggarakan oleh LP3ES, Rabu (16/9).

Keinginan agar pilkada serentak di tunda juga disuarakan oleh kalangan pengusaha. Mereka merasa ada ketidakadilan jika pilkada tetap dilanjutkan sementara usaha mereka dibatasi ruang geraknya. Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) menilai pemerintah, dari pusat hingga daerah telah melakukan ketidakadilan dalam menangani pandemi virus corona.

Ketua Umum DPP HIPPI, Suryani Sidik Motik mengatakan, pemerintah dianggap lebih condong berpolitik menangani wabah virus corona.Dia menegaskan, hal itu terlihat dari kebijakan pemerintah yang tetap memperbolehkan pelaksanaan pilkada di tengah pembatasan yang dilakukan terhadap masyarakat dan pengusaha.

"Terus terang kita pengusaha distop tapi pilkada kenapa enggak disetop kan aneh. Kita disuruh sacrifice, duit pilkada kenapa terus jalan," kata Suryani di acara Indonesia Lawyers Club (ILC) tvOne, Selasa, 15 September 2020.

Begitu gencarnya suara yang menyatakan penolakan masyarakat terhadap pelaksanaan pilkada di tengah pandemi virus corona sampai sampai lembaga Survei Polmatrix Indonesia terdorong untuk melaksanakan survey untuk mengetahui sejauhmana publik menyikapinya. Hasilnya menunjukkan mayoritas masyarakat ternyata memang meminta supaya Pilkada Serentak 2020 agar ditunda. 

Jumlah responden yang meminta Pilkada 2020 yang dijadwalkan pemungutan suaranya pada 9 Desember mendatang itu, mencapai 72,4 persen. "Temuan survei menunjukkan publik lebih memilih opsi Pilkada Serentak 2020 untuk ditunda di seluruh daerah, sebanyak 72,4 persen responden, karena khawatir kerumunan massa dalam Pilkada akan menciptakan klaster baru COVID-19," kata Direktur Eksekutif Polmatrix Indonesia Dendik Rulianto dalam siaran persnya, di Jakarta, Rabu (16/9). 

Selain survey tersebut, ada  sebanyak 32.087 orang juga telah menandatangani petisi "Keselamatan dan Kesehatan Publik Terancam, Tunda Pilkada ke 2021". Petisi di change.org itu diinisiasi oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pilkada Sehat dimana penandatangannya terus bertambah saja.

Kiranya jelas bahwa desakan untuk penundaan pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 muncul dari sejumlah pihak dan menjadi keinginan mayoritas warga bangsa. Penundaan pilkada sendiri sebenarnya bukan menjadi hal yang mustahil karena diatur dalam UU No. 6 tahun 2020. Disana ada beberapa pasal yang membahas tentang penundaan pilkada.

Pasal 120 Ayat (1) menjelaskan, jika ada bencana nonalam mengakibatkan tahapan pilkada tidak dapat lanjut dilaksanakan, maka pilkada bisa ditunda.Kemudian pada Pasal 201A Ayat menjelaskan bahwa jadwal pemungutan suara pada 9 Desember 2020 bisa ditunda, asalkan terjadi bencana nonalam yang mengakibatkan tahapan pilkada tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Pemungutan suara, jika ditunda, bisa dijadwalkan ulang berdasarkan atas persetujuan bersama antara pemerintah, DPR dan KPU. Hal itu tertuang dalam Pasal 122A Ayat (2)."Penetapan penundaan tahapan pelaksanaan Pemilihan serentak serta pelaksanaan Pemilihan serentak lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat," bunyi Pasal 122A Ayat (1).

Jika telah ada kesepakatan antara pemerintah, KPU dan DPR, jadwal ulang pelaksanaan pilkada diatur dalam peraturan KPU."Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan waktu pelaksanaan Pemilihan serentak lanjutan diatur dalam Peraturan KPU," bunyi Pasal 122A ayat (3).

Ngototnya Pemerintah

Meskipun aspirasi untuk menunda pilkada serentak merebak dimana mana, tapi pemerintah nampaknya tetap ngotot untuk tetap melanjutkan pilkada.Presiden Joko Widodo, partai politik pemilik kursi di DPR hingga Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah satu suara terkait penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 di saat pandemi Covid-19 belum mereda.

Jokowi mengatakan pilkada tetap digelar sesuai jadwal yang telah ditentukan, 9 Desember 2020."Penyelenggaraan pilkada harus tetap dilakukan dan tidak bisa menunggu sampai pandemi berakhir, karena memang kita tidak tahu, negara mana pun tidak tahu kapan pandemi Covid ini berakhir," kata Jokowi dalam rapat terbatas tentang `Persiapan Pelaksanaan Pilkada Serentak` yang disiarkan di akun Youtube Sekretariat Presiden, Selasa (8/9).

Kengototan menggelar pilkada di tengah pandemi juga diutarakan partai pimpinan koalisi mayoritas di DPR RI, PDIP. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan pilkada harus tetap dijalankan 9 Desember 2020 dengan protokol ketat."Maka untuk itu, mengingat Pilkada serentak sudah beberapa kali ditunda dan kita sudah berkomitmen tanggal 9 Desember, sikap dari PDI Perjuangan adalah Pilkada tetap tanggal 9 Desember," kata Hasto lewat siaran daring, Minggu (14/9).

Terpisah, Komisi II DPR RI Zulfikar Arse mengatakan bahwa penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 mustahil ditunda. Menurutnya, proses demokrasi harus tetap berjalan untuk memastikan roda pemerintahan berjalan di tengah kondisi peningkatan kasus virus corona.

"Saya memahami dan mengerti kekhawatiran publik bahwa Pilkada 2020 mendatang berpotensi menjadi kluster baru persebaran Covid-19 di Indonesia. Namun, proses demokrasi juga harus tetap berjalan guna memastikan jalannya roda pemerintahan" kata Zulfikar seperti dikutip CNNIndonesia.com, Rabu (16/9).

Senada, Komisioner KPU I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi juga mengatakan pilkada tetap digelar 9 Desember mendatang. Ia bilang KPU hanya menjalankan aturan undang-undang yang telah disepakati bersama.

"KPU tetap berpedoman pada PKPU Nomor 5 Tahun 2020 dan ini tindak lanjut Perppu Nomor 2 Tahun 2020 yang diundangkan jadi UU Nomor 6 Tahun 2020. Sepanjang belum ada keputusan lain, tentu kami wajib melaksanakannya," tutur Dewa dalam webinar yang digelar KPU pada Selasa (15/9).

Dewa menyebut penundaan pilkada memang dimungkinkan dalam undang-undang. Namun menurutnya belum ada opsi penundaan hingga saat ini. Satuan Tugas Penanganan Covid-19 juga memberi lampu hijau untuk pilkada. Mereka hanya meminta masyarakat menaati protokol kesehatan selama pilkada.

"Tidak ada rencana untuk menunda Pilkada ini karena kita baru saja mulai," ujar Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito dalam konferensi pers melalui akun YouTube Sekretariat Presiden, Kamis (10/9).

Terkait dengan tindaklanjut pelaksanaan pilkada tanggal 9 desember mendatang Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memberikan sejumlah arahan.Ada lima poin arahan yang disampaikan Jokowi dalam rapat terbatas `Lanjutan Pembahasan Persiapan Pelaksanaan Pilkada Serentak`, yang disiarkan di YouTube, Selasa (8/9/2020).

Jokowi menegaskan penyelenggaraan Pilkada 2020 tetap harus digelar di tengah pandemi virus Corona. Pilkada harus dilakukan dengan mengikuti kenormalan baru. Dia meminta agar protokol kesehatan dijalankan secara ketat dalam semua tahapan Pilkada. Selain itu Jokowi meminta semua pihak menerapkan disiplin protokol kesehatan. Kepada para aparat penegak hukum dan tokoh masyarakat, Jokowi meminta agar melakukan pengawasan protokol kesehatanJokowi tidak ingin ada lagi konser deklarasi bakal pasangan calon yang menimbulkan kerumunan di tengah pandemi Corona.

Jokowi juga berpesan supaya tidak ada penggunaan narasi politik identitas serta politik SARA pada Pilkada 2020. Presiden juga meminta ada ketegasan bagi yang melanggar.Jokowi juga mendorong Pilkada 2020 menjadi adu program dan gagasan calon kepala daerah. Selain itu TNI dan Polri diminta Jokowi tidak memihak pada pasangan calon tertentu. 

Pesan lainnya, Jokowi meminta masyarakat melakukan crosscheck rekam jejak calon kepala daerah yang mencalonkan dirinya. Selain itu ia meminta penyelenggara Pilkada, seperti KPU dan Bawaslu, bekerja keras dan menjaga netralitas serta transparansi dalam bekerja. Tidak lupa presiden mengingatkan penyelenggara Pilkada menjaga keamanan Pilkada 2020 dan meminta dukungan agar tokoh agama hingga tokoh masyarakat membantu menjaga keamanan di daerah.

Sudah Mati Rasa ?

Seperti biasanya sebuah kebijakan yang diambil Pemerintah akan selalu ada resikonya. Juga akan menimbulkan pro dan kontra di masyarakat kita. Namun sebagai seorang pemimpin harus bisa menghitung untung ruginya. Besar kecilnya resiko yang harus diperhitungkan jika lanjut atau menunda pilkada.

Siapa yang di untungkan dan siapa yang di rugikan, kepentingan rakyatlah yang harus dijadikan ukurannya. Bukan kepentingan kelompok atau golongannya saja apalagi kepentingan kekuasaannya. Lebih lebih kalau kita kembalikan semuanya pada tujuan pendirian suatu negara dimana tujuan utamanya adalah melindungi segenap rakyat dan seluruh warga bangsa. Maka keselamatan rakyat adalah yang lebih utama ketimbang kepentingan yang lainnya.

Kalau sudah begini dasarnya lalu bagaimana dengan pilkada yang tetap akan digelar 9 desember mendatang pada hal menurut menurut  LP3ES, ada 34 juta orang bakal terpapar corona jika tetap digelar pilkada ? Siapa yang harus bertanggungjawab melindungi keselamatan mereka ?. 

Memang benar dalam rangka pelaksanaan pilkada 9 desember mendatang presiden telah mengeluarkan 5 arahan dimana salah satunya adalah pelaksanaan protokol kesehatan yang ketat selama pelaksanaan proses pilkada. Tetapi apakah kita lupa bahwa dalam tahapan pilkada sebelumnya banyak protokol kesehatan yang digelar tanpa ketegasan pihak berwenang untuk mengendalikannya ?.

Bukankah sudah terbukti adanya  ketidakmampuan  institusi dan regulasi untuk mencegah terjadinya kerumunan massa , mislanya dalam tahapan pendaftaran pasangan calon 4-6 September 2020 ?. Dengan kata lain tidak ada kemampuan untuk menjalankan protokol kesehatan dalam pengendalian penyebaran virus corona ?.

Lagi pula kalau kita berbicara hakekat pilkada adalah sebuah pesta yaitu pesta rakyat untuk menentukan siapa pemimpinnya. Yang namanya pesta kurang elok kiranya kalau digelar saat pandemi wabah virus corona sedang menggila. Sehingga ketika pesta ini ngotot untuk terus digelar akan memunculkan pertanyaan untuk kepentingan siapa ?.

Disinilah diperlukan sensitifitas penguasa dalam mengambil kebijakan yang berorientasi pada kepentingan rakyatnya. Ketika sensitifitas ini sudah tidak ada alias mati rasa maka yang terjadi adalah pengambilan keputusan yang hanya akan berimbas kepada pengorbanan pada rakyat yang seharusnya dilindunginya.

Kalau kita simak pendapat para ahli hukum, civil society, Komnas HAM, dan para pegiat pemilu, semua bersepakat bahwa memang keselamatan jiwa penyelenggara, pemilih dan para kandidat sangatlah diutamakan ketimbang sekadar terselenggaranya pilkada. Namun Pemerintah terkesan terlalu memaksakan kehendaknya. Kalau memang salah satu alasannya adalah karena faktor hak politik warga negara, bukankah hak kesehatan masyarakat juga jauh lebih utama dan diatas segala-galanya? Sebab Pilkada dapat dilakukan kapan saja asalkan proses pemulihan pascawabah telah usai, tetapi nyawa manusia tidak dikembalikan ke dunia. 

Kalau alasannya karena pemerintah tidak akan berjalan optimal jika pilkada ditunda karena ditunjuknya pejabat sementara tidak akan optimal bekerja disebabkan keterbatasannya kewenangannya, bukakah itu masih lebih baik daripada harus mengorbankan nyawa rakyatnya ?. 

Saat ini fokus masyarakat adalah bagaimana menghadapi keadaan normal baru (new normal) dan menyelamatkan diri masing-masing dari pandemi virus corona termasuk penyelamatan kehidupan ekonominya. Maka, tentu saja dapat dipastikan partisipasi pemilih akan menurun signifikan dan golput bakal tinggi angkanya. Belum lagi  kualitas penyelenggaraan mulai dari aspek penyelenggaraan, aspek penyelenggara pemilu, aspek peserta pemilu dan aspek pemilihnya. 

Oleh karena itu dibutuhkan kepekaan dari pihak penanggungjawab pemilu terkait dengan penyelenggaraan pilkada.  Jangan jadikan situasi darurat ini untuk kepentingan politik semata. Pertimbangkan kembali dengan matang tantangan yang akan dihadapi kedepannya terkait dengan keselamatan rakyat Indonesia. Harus diingat pilkada ini bukan hanya ajang seremonial belaka atau sekadar ingin menggugurkan kewajiban semata. 

Kiranya fokus untuk menangani virus corona dan memulihkan kembali sektor perekonomian adalah harapan utama kita semua. Memaksakan penyelenggaraan pilkada , hanya akan membuat penyelenggaraan pilkada yang tidak optimal, bahkan diprediksi banyak potensi pelanggarannya. Impikasinya, demokrasi secara prosedural akan dipertanyakan integritasnya. Semoga saja kengototan pemerintah dalam menyelenggarakan pilkada 9 desember mendatang bukan karena ada anak mantu presiden yang ikut serta dalam kontestasi pilkada.

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar