Selamat Ginting, Wartawan Senior

Saat Jenderal `Hamburger`, Anak Cijantung Pikat Sang Presiden

Jum'at, 26/06/2020 10:45 WIB
Pergantian Panglima ABRI dari Jenderal Edi Sudradjat kepada Jenderal Feisal Tanjung di Mabes Cilangkap pada 23 Mei 1993. (republika).

Pergantian Panglima ABRI dari Jenderal Edi Sudradjat kepada Jenderal Feisal Tanjung di Mabes Cilangkap pada 23 Mei 1993. (republika).

[INTRO]

Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa, menutup pendidikan reguler (dikreg) ke 58 Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Jalan Gatot Subroto, Bandung, Jawa Barat. Namun, ia tidak hadir di kampus tersebut, pada Selasa (23/6) lalu. Ia menutup dikreg secara virtual melalui konferensi video dari Yogyakarta.

Dalam catatan Seskoad, pada 20 tahun lalu, lulusan terbaik kursus regular (susreg) ke-37 tahun 1999/2000, atas nama Mayor (Infanteri) M Andika Perkasa, SE, MA, NRP 31100. Setahun sebelumnya, susreg ke-36 tahun 1998/1999, lulusan terbaik atas nama Letkol (Infanteri) Mulyono, NRP 29593.

Kedua lulusan terbaik itu akhirnya menjadi KSAD. Jenderal Andika menggantikan Jenderal Mulyono pada November 2018. Namun tidak semua lulusan terbaik Seskoad berhasil menjadi KSAD.

Tercatat KSAD yang pernah menjadi lulusan terbaik Seskoad adalah Jenderal Maraden Panggabean, Jenderal Wiranto (1983/1984), Jenderal Budiman (1993/1994), Jenderal Moeldoko (1994/1994), Jenderal Mulyono, dan Jenderal Andika. Ya, hanya enam orang saja. Tentu spesial.

Namun ada beberapa KSAD dan jenderal bintang empat, justru mengenyam pendidikan Seskoad di luar negeri. Mereka adalah: Jenderal (Anumerta) Ahmad Yani (1956), Jenderal Surono Reksodimedjo (1958), Jenderal Widodo (1963), dan Jenderal R Hartono (1976). Mereka lulusan Sekoad di Amerika Serikat (AS). Mantan Presiden Jenderal TNI Kehormatan (Purnawirawan) Susilo Bambang Yudhoyono juga lulusan Seskoad AS (1991).

Generasi penerus TNI

Pada 1971/1972 Susreg Seskoad untuk pertama kalinya diikuti generasi penerus TNI. Mereka berasal dari lulusan Akademi Militer (Akmil) Bandung 1956-1962, dan Akmil Magelang 1960-1962. Di antaranya, Mayor (Zeni) Try Sutrisno, Mayor (Zeni) Sudibyo, Mayor (Infanteri) Edi Sudrajat, dan Mayor (Kavaleri) TB Silalahi. Tampil sebagai lulusan terbaik, Mayor (Zeni) Ben L Momongan. Saat berpangkat Brigadi Jenderal (Brigjen), Ben Momongan meninggal dunia.

Namun pada saat itu ada dua perwira siswa disekolahkan ke Seskoad Jerman. Pertama, Mayor (Zeni) Tjokorda Putra Swastika. Ia peraih Garuda Yaksa, kini disebut Adhi Makayasa, Akmil 1959. Kedua, Mayor (Infanteri) Feisal Tanjung (Akmil 1961). Semula mereka direncanakan ke Seskoad AS, namun diubah ke Jerman. Alasannya Jerman memiliki keunikan tersendiri daripada negeri Paman Sam.

KSAD Jenderal Umar Wirahadikusuma menyetujui permindahan rencana tersebut. Setelah mereka lulus Seskoad 1972, KSAD membuat daftar nama perwira-perwira terbaik generasi penerus TNI. Dari nama-nama itu, antara lain Mayor (Zeni) Try Sutrisno, Mayor (Zeni) Sudibyo, Mayor (Infanteri) Edi Sudrajat, Mayor (Infanteri) Feisal Tanjung, dan Mayor (Kavaleri) TB Silalahi. Kelak daftar nama itu terbukti. Mereka meraih bintang tiga dan empat.

Jadi, sesungguhnya calon pemimpin AD sudah bisa terlihat usai pendidikan Seskoad. Mereka yang memperoleh pendidikan Seskoad, seperti di AS dan Jerman semuanya berhasil menjadi perwira tinggi. Makin terlihat lagi setelah mengikuti Sesko TNI.

Feisal Tanjung dan Tjokorda Putra Swastika mengikuti jejak Jenderal Soemitro dan Letjen Sayidiman Suryohadprojo yang lebih dahulu mengikuti Seskoad di Fuhrungsakademie di Hamburg. Hamburger atau roti lapis isi daging dari Kota Hamburg, menjadi makanan sehari-hari bagi Feisal Tanjung, alumni pendidikan komando tahun 1964.

Anak Cijantung, selaku perwira Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) ini akhirnya juga berkesempatan mengenyam pendidikan di AS. Negara terkuat dalam bidang militer. Ia mengikuti kursus manajemen pertahanan internasional (International Defence Management Course) di Montenery, AS pada 1981. Setelah sebelumnya pada 1977, ia juga lulus Seskogab (Sesko TNI).

Pada 1982, Tanjung pun menyelesaikan pendidikan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas). Lengkap sudah semua pendidikannya. Termasuk kemampuan bahasa Inggris dan Jerman. Begitu juga dengan pengalaman tugas operasi militer dan sebagai pengamat militer pasukan PBB. Menjadi modalnya kelak memimpin TNI dan berdiplomasi dengan pemimpin militer negara dunia lainnya.

Preman Medan

Tanjung tidak menyangka, kelak Seskoad menjadi titik balik sejarah kariernya. Usai lulus Seskoad Jerman, ia menjadi dosen di lembaga pendidikan tertinggi di AD itu. Sekaligus mentransformasikan ilmu perang dari Jerman. Namun hanya sebentar, karena dia mendapatkan tugas menjadi pasukan Garuda IV ke Vietnam di bawah payung Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).

Mereka masuk dalam misi International Commission of Control Supervision (ICCS). Padahal Tanjung baru saja menikah kurang dari dua bulan. Tugas operasi sejak 1962 dan Seskoad di Jerman membuatnya terlambat menikah. Risiko prajurit komando, menikah di usia 33 tahun. Itu pun minta dicarikan rekannya di Medan.

Sebenarnya, ayahnya menginginkan Feisal Tanjung menjadi dokter, seperti abang pertamanya, Fahmi Tanjung. Tetapi sang anak kelimanya itu lebih memilih menjadi tentara. Feisal Tanjung pun tak kurang akal, ia menyunting seorang dokter alumni Universitas Sumatera Utara (USU), dokter Masrowida Lubis sebagai istrinya. Sekaligus membayar harapan orang tuanya mendapatkan dokter.

Feisal Tanjung usai lulus SMA, awalnya mendaftar ke AAL (Akademi Angkatan Laut). Ia ingin menjadi Marinir. Ia terbiasa berenang di Teluk Sibolga saat kanak-kanak dan remaja. Kemudian teman-temannya di Medan mengajak daftar jadi taruna Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri).

Ia pun mendaftar ke institusi yang sekarang bernama Akademi Militer (Akmil) di Magelang, Jawa Tengah. Ternyata, Akmil memanggil lebih dahulu. Tidak bisa mundur, karena lulus seleksi pusat. Sehingga dia tidak bisa mengikuti seleksi ke AAL.

“Jika tak jadi tentara, mungkin Feisal Tanjung bisa jadi raja preman Medan, karena dia pintar, berani, dan fisiknya kuat,” kata Bachtiar Adam, rekannya di Medan. Di bagian perutnya masih terlihat bekas luka tusuk saat berkelahi di Medan. Berenangnya pun mahir dan napasnya kuat. Sehingga teman-temannya tidak heran jika Feisal Tanjung lulus pendidikan komando.

Feisal Tanjung kecewa kepada teman-temannya yang mengajak daftar ke Akmil. Ternyata mereka batal mendaftar. Belakangan Feisal baru tahu, teman-temannya mendaftar ke Akademi Teknik Angkatan Darat (Atekad). Kemudian berubah nama menjadi Akmil Jurtek di Bandung. Bukan ke Akmil Magelang. Saat taruna mereka kerap bertemu dalam latihan maupun pekan olahraga. Kedua akademi itu kemudian diintegrasikan.

“Teman-teman saya memilih Atekad (Akmil Korps Zeni) di Bandung. Kami sama-sama dilantik Presiden Sukarno pada 19 Desember 1961. Sekaligus dikumandangkannya Trikora. Hanya generasi lulusan Akmil Bandung dan Magelang tahun 1961 yang dilantik menggunakan pakaian dinas lapangan tempur. Kami disiapkan untuk Operasi Trikora bersama senior Akmil 1956 hingga 1960,” ujar Tanjung.

Belakangan, ia bersyukur tidak jadi masuk AAL. Kalau jadi Marinir hanya bisa sampai Mayor Jenderal (Mayjen) atau bintang dua. Adiknya yang melanjutkan keinginan menjadi Marinir, Farouk Tanjung. Meninggal dunia saat menjabat sebagai Kepala Staf Korps Marinir dengan pangkat Brigjen TNI Marinir.

Wing kumis

Perang masih berkecamuk. Vietnam masih rawan pada 1974. Sebagai observer (pengamat), ia harus berhadapan dengan tentara AS, tentu dengan bahasa Inggris.

“Sebenarnya misi PBB ini buatan AS juga. Mereka kalah perang di Vietnam. Supaya tidak malu, maka dibuat komisi PBB atau ICCS ini. Minta gencatan senjata supaya tentara Amerika bisa balik ke negaranya dengan aman,” kata Tanjung, tertawa.

Pulang dari Vietnam, ia berharap kembali ditempatkan di RPKAD. Ia berkarier sekitar delapan tahun sebagai pasukan komando. Setelah dua tahun sebelumnya ditempatkan di Batalyon Infanteri (Yonif) 152 di Ternate. Teryata dia ditempatkan di Kostrad sebagai Kepala Staf Brigif Linud 17/Kujang, Divisi Infanteri (Divif)/1 Kostrad.

Kini bernama Brigade Infanteri Para Raider 17/Kujang I. Disingkat Brigif Para Raider 17/Kujang I. Merupakan satuan dalam Divif 1/Kostrad. Brigif Linud ini terdiri tiga batalyon: Yonif Para Raider 305/Tengkorak di Karawang, Jawa Barat (Jabar); Yonif Para Raider 328/Dirgahayu di Cilodong, Kota Depok, Jabar; dan Yonif Para Raider 330/Tri Dharma di Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jabar. Markas Komando Brigif di Cijantung, Jakarta Timur.

Apakah ia akan istirahat dari tugas operasi? Ternyata tidak. Istrinya yang sedang sakit dan diopname, kembali harus ditinggal untuk waktu yang tidak ditentukan. Timor Timur menunggu peran sang prajurit tempur yang sudah naik pangkat menjadi Letkol.
Brigadenya diterjunkan dalam Operasi Seroja pertama pada 11 Desember 1975.

Komandan Brigade Letkol (Infanteri) Soegiarto (Akmil Magelang 1960) mengalami cedera engkel cukup parah saat terjun payung di Baucau. Sehingga tidak bisa memimpin brigade di saat diperlukan. Brigade pun diambilalih Feisal Tanjung dalam serbuan ke kubu Fretilin.
Di Timor Timur inilah ia mulai membiarkan kumisnya tumbuh lebat.

Sejak itu ia memelihara kumis hitam tebal. Mirip seperti wing (brevet) terjun terbalik. Setelah berhasil merebut Baucau, Feisal terus memimpin brigade merebut Viqueque dan Manatuto. Semuanya melalui pertempuran sengit, karena Fretilin masih kuat dan persenjataannya lebih baik dari TNI. Di Timor Timur ini, seperti reuni Akmil Bandung dan Akmil Magelang. Umumnya memimpin batalyon Infanteri dan Zeni.

Alhasil Feisal Tanjung mengabdi di Kostrad selama hampir sembilan tahun. Hampir sama dengan pengabdiannya di RPKAD (Kopassus). Mulai dari kepala staf brigade, komandan Brigif 17 Linud, dan asisten operasi Kostrad. Selanjutnya menjadi kepala staf komando tempur (kopur) Linud Kostrad, dan puncaknya panglima Kopur Linud Kostrad.

Karier Tanjung terus menempel Edi Sudradjat. Edi juga pernah menjadi panglima komando tempur (pangkopur) Linud Kostrad. Kini disebut panglima Divisi Infanteri (pangdiv) Kostrad. Itulah jabatan pertama di posisi perwira tinggi bagi keduanya. Tanjung pada 1981-1983.

Kemudian Tanjung menjadi komandan Pusat Kesenjataan Infanteri (Danpusenif) AD 1983–1985. Lalu, panglima Kodam (pangdam) Tanjungpura 1985–1988. Hingga komandan Seskoad pada 1988. Ada tanda-tanda kariernya akan meredup. Dia sudah tiga tahun lebih menjadi komandan Seskoad.

Kesayangan Sarwo Edhie

Tidak terasa sudah enam tahun pangkat Mayjen disandangnya hingga 1991. Ia pun mulai bertanya-tanya ada apa? Sementara Try Sutrisno dan Edi Sudradjat sudah bintang empat. Pengalaman tempur Feisal tidak kalah banyak daripada Try maupun Edi.

Salah satu kompi legendaris saat penumpasan G30S/PKI adalah kompi Tanjung. Dialah perwira komando kesayangan Jenderal Sarwo Edhie. Saat dia sebagai komandan kompi, komandan peletonnya adalah Sintong Panjaitan dan Wismoyo Arismunandar.

Dalam beberapa peristiwa penting, Sarwo menunjuk Feisal Tanjung sebagai komandan. Termasuk dalam operasi untuk memenangkan Irian Barat dalam penentuan pendapat rakyat (pepera) tahun 1969.

Tanjung juga yang memimpin ekspedisi ke Lembah X di Papua. Sintong Panjaitan selalu menjadi bagian dari tim Feisal Tanjung. Baik dalam operasi terhadap G30S/PKI maupun tugas-tugas operasi lintas udara ke Papua.

Jika membuka foto-foto maupun film peristiwa 1965, pasukan RPKAD menggunakan pakaian tidak lazim. Pakaian dinas lapangan (PDL) loreng darah mengalir, namun celananya berwarna hijau.

Kolonel (Infanteri) Sarwo Edhie pun menggunakan pakaian aneh tersebut. Pakaian ini sebenannya sebuah `kecelakaan`. Saat itu Lettu Feisal Tanjung dan kompinya sedang berada di Jakarta.

Mereka sedang disiapkan menyamar sebagai TNKU (Tentara Nasional Kalimantan Utara). Hendak diterjunkan di kawasan Malaysia dalam rangka Dwikora (Dua Komando Rakyat, pada 1965. Semua identitas baru (palsu) dipersiapkan untuk mereka. Sehingga mereka tidak lagi memiliki baret merah maupun PDL darah mengalir.

Saat itulah terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal (Letjen) Ahmad Yani dan sejumlah perwira seniornya lainnya.

Termasuk teman seangkatan Feisal, Akmil Bandung 1961, Lettu (Zeni) Pierre Tendean. Maka, Kolonel Sarwo Edhie memerintahkan pasukan palsu TKNU menjadi kekuatan inti menumpas PKI. Mereka pun diberikan jaket dan baret merah yang tersisa di gudang RPKAD di Cijantung. Kompi Tanjung pun menjadi legendaris.

Dewan kehormatan

Ada apa sampai Feisal Tanjung menyandang pangkat Jenderal bintang dua selama enam tahun lebih? Pada saat itu, kemudian terjadi peristiwa mengejutkan di Timor Timur.

Sejumlah media asing memberitakan, peristiwa penembakan terhadap pengunjuk rasa prokemerdekaan Timor Timur di pemakaman Santa Cruz, Dili, pada 12 November 1991. TNI dituduh melakukan genosida terhadap rakyat Timor Timur.

Protes dari dunia internasional menyerang Indonesia. Menuntut dilakukannya penyelidikan independen. Washington Post menggambarkan insiden itu sebagai Tiananmen model Indonesia.

Presiden Soeharto langsung turun tangan. Ia membentuk Komis Penyelidik Nsional (KPN) dipimpin hakim agung, M Djaelani. Mabes ABRI pun mengirim tim investigasi yang dipimpin Wakil Kepala Badan Intelijen Strategis (Waka Bais) Mayjen Arie Sudewo.

Sudah cukup? Belum. Jelang tutup tahun 1991, Presiden Soeharto mengundang sejumlah menteri, termasuk Menhankam Jenderal (Purnawirawan) LB Moerdani, Panglima ABRI Jenderal Try Sutrisno, dan KSAD Jenderal Edi Sudradjat.

Dalam laporan KPN menyebutkan jumlah korban tewas 50 orang dan 90 orang hilang. Laporan KPN ini berbeda dengan pernyataan Jenderal Try yang menyebut jumlah korban tewas hanya 19 orang.

Maka Presiden selaku panglima tertinggi TNI mengambil sikap. Mengganti jajaran pimpinan komando setempat. Tanggung jawab jatuh kepada Panglima Komando Pelaksana Operasi, Brigjen Rudolf Samuel Waraow. Teritorialnya mencakup seluruh Timor Timur. Begitu juga dengan atasannya, Pangdam Udayana Mayjen Sintong Panjaitan.

Panglima tertinggi ABRI memerintahkan KSAD secepatnya membentuk Dewan Kehormatan Militer (DKM). Bertugas meneliti kesalahan prosedur dan pelaksanaan komando setempat saat penanganan unjuk rasa 12 November 1991 tersebut. DKM dibentuk untuk memeriksa sejumlah perwira.

Mayjen Sintong, abituren Akmil 1963 adalah perwira berpangkat tertinggi yang akan diperiksa tim DKM. Untuk itu DKM harus dipimpin Mayjen paling senior yang memahami dan berpengalaman dalam operasi militer. Pilihan pun jatuh kepada Mayjen Feisal, komandan Seskoad. Sekaligus diminta mencari anggotanya yang lebih senior daripada Sintong.

Feisal sebagai ketua menyusun tim DKM. Wakil Ketua adalah Irjenad Mayjen Setiana dan Sekretaris Gubernur Akmil Mayjen Toni Hartono. Sebagai anggota, yaitu Asisten Logistik KSAD Mayjen R Sunardi, Asisten Personel KSAD Mayjen Sutopo, Komandan Pusat Kesenjataan Infanteri (Pussenif) Mayjen Suparman Ahmad, serta Asisten Sosial Politik Kassospol ABRI Mayjen Surjadi Soedirja.

Sebagai cadangan adalah Pangdam Sriwijaya Mayjen Soewardi dan anggota DPR Fraksi ABRI Mayjen Sutedjo. Dari Sembilan personel DKM, tujuh di antaranya dari abituren Akmil 1961 dan dua dari abituren Akmil 1962.

Pada 20 Februari 1992, Ketua DKM Feisal Tanjung melaporkan rekomendasi kepada Presiden Soeharto. Ia didampingi Pangab Jenderal Try dan KSAD Jenderal Edy. Ada tiga rekomendasi.

 

Pertama; perwira yang seharusnya berbuat banyak ketika terjadi insiden, namun tidak menjalankan tugas sesuai fungsinya.
Kedua; perwira yang dianggap sudah berbuat sesuai dengan fungsinya, namun dianggap belum optimal, karena bermacam-macam hal, karena faktor kemampuan.
Ketiga; perwira yang sudah menjalankan tugasnya secara optimal dikembalikan ke kesatuannya untuk terus menjalankan tugas.

Hasil rekomendasi DKM yang paling nyata adalah pencopotan Mayjen Sintong Panjaitan dari jabatan pangdam Udayana. Selain itu juga diberhentikannya Brigjen Rudolf Warouw dari panglima komando pelaksana Operasi Timor Timur.

Pangab lima tahun

Sukses menjadi ketua DKM, Feisal Tanjung pun mendapatkan promosi sebagai kepala staf umum (kasum) ABRI menggantikan Laksdya Sudibyo Raharjo. Sekaligus kenaikan pangkat menjadi Letjen, satu bulan sebelum ulang tahunnya ke 53 tahun pada Juni 1992. Dengan kenaikan pangkatnya itu, genap tujuh tahun lebih dua bulan ia menyandang pangkat Mayjen. Feisal pun mengira, inilah akhir dari karier militernya.

Namun tanpa diduga, hanya 10 bulan saja ia menjadi kasum ABRI. Presiden Soeharto pun kepincut jenderal `hamburger` lulusan Seskoad Jerman 1972 itu sebagai panglima ABRI (pangab) menggantikan Edi Sudradjat.

Tiga anak Cijantung pun berhasil meraih posisi tertinggi di ABRI, setelah Edi Sudradjat hanya sekitar tiga bulan menjadi pangab pada Februari hingga Mei 1993. Sebelumnya LB Moerdani menjadi pangab pada 1983-1988.

Feisal merupakan salah seorang perwira ABRI yang memegang jabatan tertinggi tanpa melalui jenjang KSAD. Sebelumnya, Jenderal LB Moerdani juga melaju ke jabatan pangab ABRI tanpa melalui jabatan KSAD.

Melainkan dari jabatan asisten intelijen Hankam ABRI/panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) merangkap wakil kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin). Adapun Jenderal M Yusuf menjadi menteri pertahanan dan keamanan (menhankam)/pangab pada 1978-1983. Dia pun tanpa melalui jabatan KSAD, melainkan menteri perindustrian pada 1968-1978.

Tanjung menjadi pangab dalam usia 54 tahun. Ia pun merasa hanya akan menjabat selama satu tahun saja. Media massa pun saat itu membuat ulasan jelang Tanjung menginjak usia pensiun ABRI pada 55 tahun. Di luar dugaan, Presiden Soeharto memperpanjang usia pensiunnya hingga kabinet selesai, yaitu Maret 1998. Hingga usia Tanjung jelang 59 tahun.

Ya, Presiden punya hak prerogratif bisa memperpanjang usia perwira tinggi dalam hal ini pangab hingga usia 60 tahun.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar