Lawan Rakyat, Jokowi Kalah 0-3 di Gugatan Karhutla, BPJS & Internet

Jum'at, 05/06/2020 08:51 WIB
Presiden Joko Widodo (Foto: CNN)

Presiden Joko Widodo (Foto: CNN)

Jakarta, law-justice.co - Pemerintahan Presiden Joko Widodo setidaknya sudah tiga kali kalah saat kebijakannya digugat oleh masyarakatnya sendiri.

Terakhir, Jokowi dan Menkominfo dinyatakan bersalah dan diwajibkan meminta maaf oleh PTUN terkait sengketa pemutusan internet di Papua.

Seperti melansir tirto.id, alasan rakyat menggugat sejumlah kebijakan pemerintah Indonesia karena dianggap bertolak belakang dengan kepentingan publik.

Dua kebijakan lain milik Jokowi yang dikalahkan oleh kelompok masyarakat ialah gugatan citizen law suit kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kalimantan Tengah dan uji materi Perpes 75/2019 tentang BPJS Kesehatan.

1. Soal kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kalimantan Tengah

Sejak memimpin Indonesia, kasus karhutla di Kalimantan Tengah terus terjadi sepanjang kepemimpinan Jokowi di periode pertama, meski tidak bisa dipugkiri hal ini juga terjadi pada era sebelum Jokowi memimpin.

Selama Jokowi memimpin Indonesia jutaan hutan dan lahan terbakar. Menurut catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), jumlah total lahan dan hutan yang terbakar di seluruh Indonesia pada periode 2015-2020 mencapai 5.402.037 hektare (ha).

Rinciannya adalah 2015 luasnya 2.611.411 ha; 2016 (438.363 ha); 2017 (165.484 ha); 2018 (529.267 ha); 2019 (1.649.258 ha); 1 Januari-28 Februari 2020 (8.254 ha).

Saat karhutla, Pulau Kalimantan adalah salah satu daerah dengan spot api terbanyak di Indonesia. Bahkan, dampak asap juga mengganggu negara tetangga seperti Malaysia.

Alasan inilah yang membuat sekelompok warga paling terdampak karhutla di Indonesia tergabung dalam Gerakan Anti Asap (GAAs) Kalimantan Tengah mengugat secara class action ke Pengadilan Negeri Palangkaraya pada 16 Agustus 2016.

Dalam perkara ini, tergugat adalah Presiden Republik Indonesia (RI), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Menteri Kesehatan, Gubernur Kalimantan Tengah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Tengah.

Akhirnya, hakim memvonis Presiden Jokowi melanggar hukum. Warga menang atas gugatan hingga level kasasi di Mahkamah Agung pada 16 Juli 2019. Namun, pemerintah Indonesia keberatan dengan kekalahan itu dan menempuh peninjauan kembali (PK) yang teregister di MA diajukan pada 14 Mei 2020.

Meski demikian, dalam gugatan karhutla yang dimenangkan ada beberapa poin tuntutan yang dikabulkan.

Di antaranya memerintahkan presiden membuat aturan turunan UU 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; membuat tim gabungan yang terdiri dari KLHK, Kementan, dan Kemenkes terkait dengan penanggulangan Karhutla; hingga membuat rumah sakit khusus paru-paru.

2. Gugatan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Gugatan selanjutnya ialah terkait kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang dianggap bertentangan dengan undang-undang lainnya.

Salah satu kelompok rakyat menggugat kebijakan ini ialah Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI).

Sebelumnya, kenaikan tarif BPJS Kesehatan sebesar 100 persen terjadi kali pertama sejak 1 Januari 2020. Iuran Kelas III naik jadi Rp42.000 dari Rp25.500, Kelas II dari Rp51.000 menjadi Rp110.000, kelas I dari Rp80.000 jadi Rp160.000.

Alasan pemerintah menaikan iuran BPJS Kesehatan ini karena BPJS Kesehatan mengalami defisit.

Namun disisi lain, menurut kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), masalah utama BPJS Kesehatan adalah kesalahan tata kelola, sehingga pengeluaran membengkak.

KPK menemukan 1 juta data ganda penerima subsidi iuran yang berpotensi merugikan negara hingga Rp25 miliar.

Dalam perkara ini, KPCDI menguji materi Pasal 34 ayat 1 dan ayat 2 Perpres 75/2019 tentang Jaminan Kesehatan menyangkut penaikan iuran setiap peserta BPJS Kesehatan pada 5 Desember 2019.

Akhirnya, Ketua Majelis Hakim MA, Supandi mengabulkan uji materi pada 27 Februari 2020. Pemerintah diharuskan mengembalikan iuran BPJS Kesehatan pada tarif awal.

Sialnya, Jokowi justru mengeluarkan Peraturan Presiden nomor 64 tahun 2020 pada 5 Mei lalu berisi penaikan tarif lagi yang berlaku pada 1 Juli mendatang.

Antara lain berisi tarif Kelas III tetap Rp25.500 dan menjadi Rp35.000 pada 2021. Iuran Kelas II kini jadi Rp100.000 dan Kelas I jadi Rp150.000. Keputusan itu terjadi kala pandemi Corona melanda Indonesia.

3. Gugatan Kasus Pemutusan Internet di Papua

Selanjutnya Pemerintahan Presiden Jokowi menghadapi gugatan pemutusan internet di Papua sepanjang Agustus-September 2019 lalu.

Situasi Papua saat itu memanas akibat dari tindakan rasisme terhadap saudara sebangsanya di asrama Surabaya.

Awalnya Protes di Papua dan Papua Barat berlangsung damai. Namun kemudian menjadi rusuh dan meluas hingga korban dari orang asli Papua berjatuhan.

Selama aksi proter yang terjadi berhari-hari itu, sambungan internet diputus berkali-kali. Hal ini menyebabkan kerugian bagi warga yang memerlukan akses internet untuk mengakses situasi di Papua.

Pemerintah saat itu berdalih membatasi internet di Papua adalah untuk menghambat hoaks.

Kebijakan pemerintah ini dianggap serampangan oleh sebagian kelompok masyarakat yang akhirnya menggugat masalah ini ke PTUN.

Kelompok masyarakat itu ialah Tim Pembela Kebebasan Pers (AJI Indonesia, SAFEnet, LBH Pers, YLBHI, Kontas, Elsam, dan ICJR).

Pokok gugatan adalah sebagai berikut:
1. Pelambatan akses bandwith di beberapa wilayah kota/kabupaten di Provinsi Papua Barat dan Papua pada 19 Agustus 2019 (saat kerusuhan meletus karena provokasi aksi rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya beberapa hari sebelumnya), pukul 13.00 WIT-20.30 WIT.
2. Pemblokiran layanan dan/atau data pemutusan akses internet secara menyeluruh di 29 kota/kabupaten Provinsi Papua dan 13 kota di Papua Barat dari 21 Agustus sampai setidak-tidaknya 4 September 2019 hingga pukul 23.00 WIT.
3. Tindakan pemerintah yang memperpanjang pemblokiran internet di empat kabupaten di wilayah Papua yaitu Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Mimika, Kabupaten Jayawijaya dan di dua kabupaten di wilayah Papua Barat yakni Kota Manokwari dan Kota Sorong pada 4 September pukul 23.00 WIT sampai 9 September 2019 pada 20.00 WIT.

Ketua Majelis Hakim PTUN Jakarta, Nelvy Christin dalam putusannya beberapa waktu lalu menyebut perbuatan pemerintah Indonesia melanggar hukum.

Menurut dia, diskresi yang digunakan Kemkominfo untuk memperlambat dan memblokir internet dinilai tidak memenuhi syarat sesuai diatur dalam Undang Undang Administrasi Pemerintah 30/2014.

Atas pelanggaran hukum tersebut, pemerintah harus menghentikan dan tidak mengulangi seluruh perbuatan dan/atau tindakan pelambatan dan/atau pemutusan akses internet di seluruh wilayah Indonesia.

Menanggapi itu, Staf Khusus Presiden Jokowi Bidang Hukum, Dini Shanti Purwono mengatakan, belum ada respons berkait dengan kekalahan gugatan internet.

“[Keputusan] akan dibahas lebih lanjut dengan jaksa pengacara negara. Yang jelas masih ada waktu 14 hari sejak putusan PTUN [sebelum] berkekuatan hukum tetap,” katanya, kemarin.

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar