Menyingkap Bisnis Mafia Bola di PSSI (Tulisan II)

Ini Dia Modus dan Para Penikmat Dana Bancakan PSSI

Sabtu, 30/05/2020 10:00 WIB
Gedung kantor PSSI di Stadion GBK (Foto:Denny Hardimansyah/Law-Justice)

Gedung kantor PSSI di Stadion GBK (Foto:Denny Hardimansyah/Law-Justice)

Jakarta, law-justice.co - Seperti organisasi olahraga lainnya yang diamanahi miliaran uang baik dari sponsor maupun negara atau iuran klub. Dana yang dikoordinir melalui Komite Disiplin dinilai sebagian stake holder sepak bola tidak jelas keberadaannya. Bahkan diduga, pundi denda itu menguap dan menjadi dana taktis bagi petinggi PSSI untuk mempertahankan posisinya.

Kondisi keuangan klub yang memburuk akibat adanya pandemi COVID-19 dapat dipahami oleh Staf Khusus Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Bidang Pengembangan dan Prestasi Olahraga, Mahfudin Nigara. Dia mengatakan, situasi ini memang menjadi bencana terutama bagi klub-klub yang sangat mengharapkan pemasukan dari pertandingan yang digelar. Karena itu, wajar jika kemudian kub mulai mempertanyakan ke mana larinya uang denda disiplin puluhan hingga ratusan juta rupiah yang harus mereka bayarkan ketika divonis bersalah oleh Komisi Disiplin PSSI.

Setiap tahunnya, klub Liga 1 sebagai pemegang saham mayoritas di PT Liga Indonesia Baru (LIB) mendapatkan jatah subsidi sekitar Rp 5 miliar. Pembayaran subsidi tersebut dibagi menjadi 10 termin, yang artinya setiap termin klub harusnya mendapat pemasukan sekitar Rp 500 juta. Namun angka tersebut sangat fluktuatif, tergantung seberapa sering klub tersebut melakukan pelanggaran displin pertandingan. Karena itu, jumlah dana subsidi yang klub terima dari PT LIB pasti sudah terlebih dahulu dipotong denda yang dijatuhkan oleh Komdis PSSI.

Nigara mengatakan, hal itu memang sudah menjadi ketentuan yang disepakati bersama sejak dulu. Ada kontrak antara klub, PT LIB, dan PSSI tentang kepatuhan untuk membayar denda disiplin.

“Nah sekarang kita harus bertanya pada PT LIB, sudah berapa persen termin pembayaran subsidi itu yang diterima oleh klub? Kemarin PT LIB mengaku kasnya sedang kosong karena adanya pandemi COVID-19 sehingga uang sponsor belum dibayarkan. Klub tagih dong laporan keuangannya,” kata Nigara saat ditemui Law-Justice.co di gedung Kemenpora, Kamis, (28/5/2020).

Dia menjelaskan, dana subsidi dari PT LIB itu memang sangat berarti oleh sebagian besar klub-klub di Indonesia yang belum sepenuhnya mampu mencari dana mandiri dari pihak ketiga. Uang sebesar Rp 5 miliar itulah yang digunakan untuk dana operasional, termasuk untuk membeli dan menggaji pemain, menggaji staf, serta kebutuhan-kebutuhan akomodasi lainnya.

Jumlah tersebut tentunya tidak mencukupi untuk memenuhi semua biaya operasional klub. Karena itu klub butuh sponsor dan tambahan pemasukan dari hasil menjual tiket pertandingan. Namun sudah 2 bulan terakhir tidak ada pertandingan, otomatis pemasukan selain dana subsidi menjadi seret. Sementara berbagai pengeluaran harus tetap berjalan.

“Rata-rata, klub-klub Liga 1 membutuhkan dana paling tidak Rp 12 Miliar untuk modal awal kompetisi. Subsidi dari PT LIB itu sangat membantu mengurangi beban, sisanya ditutup dari pemasukan penonton. Tetapi karena adanya pandemi ini, otomatis tidak ada pemasukan. Ini memang situasi yang tidak pernah kita duga-duga,” ucap Nigara.


Logo PT Liga Indonesia Baru (LIB) (Foto:BolaSkor.com)

Terkait dengan dana denda Komdis yang dibayar setiap kali divonis bersalah, klub memang harus mempertanyakan itu kepada PSSI karena bukan PT LIB yang mengelola dana denda tersebut. Sebagai orang yang lama menjabat sebagai anggota Komdis PSSI, Nigara mengatakan, pada dasarnya uang denda itu digunakan oleh PSSI untuk melakukan pembinaan-pembinaan pemain muda.

"Uang denda itu tidak banyak kok. Enggak seberapa dibandingkan dengan kebutuhan operasional PSSI. Saya tahu persis. Jadi kalau klub-klub bertanya ke mana uang denda, itu hak PSSI untuk mengelolanya,” kata dia.

Hal senada juga diungkapkan oleh Gusti Randa, mantan pengurus PSSI yang sempat menjadi Plt. Ketua Umum saat Edy Rahmayadi mengundurkan diri. Dia mengatakan, selama ini memang PSSI yang mengelola dana denda disiplin, jadi wajar jika klub-klub menagih hal tersebut kepada PSSI.

“Kalau klub mau protes, kok enggak pernah terima timbal balik uang denda, ya proteslah ke PSSI. Tetapi kalau dibilang uang tersebut dikorupsi, sebetulnya enggak seberapa uang denda itu,” kata Gusti randa saat dihubungi Law-Justice.co, Rabu (27/5/2020).

Dia menjelaskan, bentuk timbal balik yang diperoleh klub atas uang denda tersebut memang tidak akan berbentuk dana segar, namun lebih kepada fasilitas-fasilitas yang bisa menunjang berjalannya kompetisi, seperti pembinaan wasit, pembinaan pemain muda, pembinaan pelatih, termasuk pembinaan suporter.

“PSSI itu harus menciptakan wasit. Belum lagi Timnas yang tidak dibiayai oleh negara, seperti U-16 U-19, U-21, dan U-23. Belum lagi harus mengurusi Liga 3. Jadi kebutuhan PSSI itu banyak sekali, dan uang denda memang tidak seberapa,” ujar Gusti Randa.

Bekas Sekjen PSSI Joko Driyono juga pernah mengatakan, pada tahun 2015 saja, PSSI membutuhkan dana hingga Rp 118,915 miliar untuk menjalankan semua kegiatan organisasi. Hampir Rp 26 miliar di antaranya akan digunakan untuk kegiatan Timnas di semua kelompok usia, sementara Rp 25 miliar lainnya digunakan untuk biaya pertandingan Timnas.

Hanya saja, baik Nigara dan Gusti Randa juga memahami bahwa muncul keingintahuan dari klub karena selama ini PSSI tidak begitu baik dalam hal transparansi keuangan. Klub-klub harusnya diberi penjelesan detail, untuk apa saja uang denda tersebut dipergunakan.

“Transparansi itu harus. Walaupun PSSI itu organisasi independen, tetapi dia terhubung dengan publik. Publik berhak tahu laporan keuangan PSSI,” kata Nigara.

Transparansi tentang keuangan PSSI memang sudah menjadi perdebatan lama. Banyak pihak yang menginginkan lembaga itu membuka pengelolaan keuangan secara terbuka kepada publik, mengingat sepakbola adalah aktivitas olahraga yang memiliki ikatan psikologi dengan masyarakat Indonesia. Terlebih lagi, anjloknya prestasi Timnas Indonesia dan klub di level internasional, membuat banyak pihak curiga bahwa PSSI tidak mengelola keuangan dengan baik.

Forum Diskusi Supoter Indonesia (FDSI) pernah memenangkan gugatan tentang tuntutan transparansi keuangan PSSI di Komisi Informasi Pusat (KIP) pada tahun 2014. PSSI dituntut menerbitkan informasi kepada publik tentang laporan keuangan karena lembaga itu tergolong dalam badan publik yang menerima dana APBN (Kemenpora) dan sumbangan luar negeri dari FIFA.

Dalam putusan No. 199/VI//KIP-PS-A/2014, PSSI dituntut menerbitkan informasi kepada publik tentang laporan keuangan karena lembaga itu tergolong dalam badan publik non pemerintah yang menerima dana APBN (dari Kemenpora) dan sumbangan luar negeri dari FIFA. Putusan tersebut diperkuat oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun Mahkamah Agung membatalkannya pada tingkat kasasi, karena para penggugat dianggap terlambat mengajukan gugatan, berdasarkan pada Pasal 13 Peraturan KIP No. 1 tahun 2013.

Transparansi masih menjadi momok, kendati PSSI berkali-kali mengklaim bahwa mereka sudah transaparan soal anggaran setiap kali kongres digelar.

Klub Tak Tahu Aliran Uang Denda yang Dibayar

Soal ketidakjelasan aliran denda yang dibayarkan klub melalui mekanisme sidang Komite Disiplin PSSI juga dipertanyakan salah satu klub sepak bola yang tengah naik daun dalam kurun waktu lima tahun terakhir, Madura United. Klub besutan pulau Madura itu juga sering menjadi korban Komite Disiplin PSSI. Presiden Madura United Achsanul Qosasi menjelaskan selama ini tidak ada pengaturan besaran denda dari Komite Disiplin PSSI. Vonis denda yang dikeluarkan melalui sidang Komdis yang berdasarkan feeling atau kemauan sepihak Komdis.

"Denda dasarnya adalah feeling Komdis. Semau mereka mungkin, karena belum diatur waktu itu. Saya juga tidak tahu apakah saat ini sudah diatur apa belum," katanya Achsanul Qosasi yang juga sempat menjabat sebagai bendahara umum PSSI.

Dia menambahkan, aturan denda yang dikeluarkan Komite Disiplin, pada saat dia menjabat sebagai Bendahara Umum PSSI tidak ada dalam statuta PSSI. Kata dia, Komite Disiplin langsung memotong anggaran subsidi klub untuk membayar denda yang sudah divonis.

"Nggak ada, itu keputusan PSSI. Mereka memotong langsung subsidi klub. Yang pasti untuk kasus yang sama, dendanya sering berbeda," tambahnya dalam wawancara dengan jurnalis Law-Justice, Lili Handayani beberapa waktu lalu.

Salah satu pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) itu juga tidak bisa menjelaskan soal aliran uang yang sudah dikumpulkan Komite Disiplin. Kata dia, saat mejadi bendahara umum PSSI, tidak pernah ada aliran uang masuk yang berasal dari denda Komdis. Kata dia, uang itu mengalirnya ke BLI (Badan Liga Indonesia).

"Dulu denda itu dikelola BLI (Badan Liga), tidak masuk ke Kas Bendahara. Dulu zaman saya di PSSI sudah punya neraca dan laporan cashflow. Dan dilaporkan kepada anggota di rapat nasional Tahunan PSSI untuk mendapatkan pengesahan. Saat ini saya tidak tahu mekanismenya seperti apa.

"Tidak ada klub yang tahu. Mungkin nanti dilaporkan di kongres atau raparnas. Klub berharap denda itu digunakan untuk pelatihan wasit dan pemberdayaan supporter. Karena denda itu muncul karena ulah wasit dan ulah supporter," kata Achsanul soal pengunaan dana denda klub yang bernilai miliaran rupiah setiap tahunnya.


Salah satu jenis pelanggaran penggunaan flare yang dilakukan suporter sepak bola Persija dengan ganjaran denda puluhan hingga ratusan juta rupiah (Foto: Robinsar Nainggolan/Law-Justice)

Sementara itu, Komisaris Persib Bandung, Umuh Muchtar berharap ada perubahan besar soal transparansi keuangan yang berasal dari denda Komite Disiplin. Kata Umuh, pada periode kepemimpinan PSSI sebelumnya memang sempat mencuat pertanyaan soal transparansi dan aliran uang denda yang cukup besar.

"Kalau dulu kan amburadul gitu. Aturan tidak jelas. Kalau sekarang, udah jelas insha Allah. Memantau yah, saya pantau terus, saya lihat bagaimana perkembangan perkembangan di PSSI gitu. Sangat berbeda, sangat jauh ya, dulu orangnya keliru semua. Sekarang juga kalo untuk pelanggaran mah semuanya juga sudah ada koridor sudah ada aturan yang. Tinggal kitanya aja yang ngikutin aturan nya gak gitu. Tapi kan yang sekarang sekarang kan tidak seperti yang tahun tahun lalu.Dengan pak Iwan, ya ini semua agak tertiblah kondisinya," ujar Umuh kepada Law-Justice.

Umuh bercerita, sebagai salah satu klub yang pernah tersandung masalah dengan Komite Disiplin PSSI ada janji transparansi dari kepemimpinan yang sekarang. Kata Umuh, jika dulu Persib selalu ditolak saat banding. Kini dia berharap, Komite Disiplin PSSI bisa terbuka soal besaran denda yang dijatuhkan agar tidak memberatkan keuangan klub.

"Kalau dulu kan sudah kena denda berapa. kalau sekarang kan kita bisa bergeming. Kalau dulukan kita tidak pernah bisa nanyain mengapa harus segini, kan dulu seenaknya. Kalau sekarang kan nagih kenapa dendanya kok segini, aturan mana, statuta ada, semua sudah jelas ada, tetapi aturannya mana, denda berapa gitu, pasal berapa, nah bingung kan kalau bingung disitu barulah bisa ambil ketetapan," katanya.

Namun Umuh juga tidak bisa menjelaskan aliran dana denda yang katanya untuk pembinaan klub dan stake holder sepak bola  yang diduga menjadi bancakan petinggi PSSI.

"Ya itu kan urusan PSSI, itukan mungkin masukin kas apa gitu kan. Ya itu yang punya udah, saya nggak tau, fasilitas PSSI aja. Ya kan ada dana dana praktis apa gitu, untuk inilah semuanya juga ada gitu ya. Kita nggak mau tahulah pokoknya, statutanya ada, aturannya ada, sudah ikutin aja. Begitu yah. Saya tidak tau, pokoknya itu masuk ke PSSI itu mungkin ada sumber sumbernya gitu. Tidak perlu kita terlalu jauh kesana" tegasnya.

"Kalau tahun lalu, kalau yang sekarang sudah transparanlah, sudah bagus tahun sekarang. Sekarang sudah lain. Sudah jauhlah gitu ya. Buat yang lain gitu. Ya nuntut nuntut, tapi tetep aja sidang segitu aja. Dulu itu, amburadul lah dulu. sekarang sudah ada baguslah. Ya ada perubahan lah dulu ama sekarang gitu. Itu saja, zaman dulu lah jangan, tidak usah diungkit, sekarangkan sudah lebih baik," tambah Umuh ketika ditanya soal tuntutan transparansi yang dulu pernah digulirkan oleh beberapa petinggi klub besar.


Suporter Persib Bandung melemparkan flare ke area lapangan saat pertandingan Liga 1 antara Bhayangkara FC vs Persib Bandung di Stadion Patriot, Bekasi, Minggu (4/6/2017) malam. (Foto: Antara)

Sedangkan, bekas ketua PSSI Djohar Arifin Husein yang juga anggota Komisi Olahraga DPR mengungkapkan ada masalah besar yang perlu dibenahi dalam tubuh PSSI. Termasuk, kata dia soal pengelolaan anggaran denda dan sponsor yang selalu menjadi perbincangan publik.

"Rencananya nanti saya akan memberi saran-saran secara umum untuk PSSI. Waktunya diatur nanti," katanya.

Ketika disinggung apakah saran tersebut termasuk tentang Komdis PSSI, Djohar tak menggubris.

"Yang pasti umum saja, tidak ada yang khusus atau spesifik," jelasnya saat dihubungi Law-Justice, Jakarta, Rabu (27/5/2020).

Amankan Uang, Jalankan Politik Adu Domba Di Tubuh PSSI

Ketua Umum Masyarakat Sepak Bola Indonesia Sarman El Hakim mengatakan, dirinya sebagai salah satu memberi PSSI sangat kesulitan menuntut transparansi pengelolaan keuangan. Soal laporan keuangan, kata dia, hanya pengurus PSSI sendiri yang tahu ke mana dan untuk apa miliaran rupiah uang yang mereka kelola.

“Itu hak publik sebenarnya, juga hak dari semua anggota PSSI. Jadi ketertutupan informasi tentang sumber dana PSSI sampai hari ini hanya mereka yang tahu,” kata Sarman.

Sarman meyakini, ada hal penting yang ingin ditutupi oleh organisasi olahraga terbesar itu. Sebagai orang yang lama berurusan dengan PSSI, Sarman percaya bahwa organisasi nirlaba itu mengelola uang dalam jumlah yang sangat besar. Sayangnya, kata dia, dana-dana tersebut cenderung menjadi ‘kue’ yang diperebutkan para pengurusnya.

Secara umum, sumber keuangan PSSI dibagi menjadi 4 kategori besar. Pertama adalah dana denda Komdis yang nilainya paling sedikit Rp 10 juta per pelanggaran. Setiap tahun, ada ratusan sidang Komdis yang menghasilkan keputusan sanksi administratif untuk klub-klub yang dianggap melanggar. Jumlah total denda disiplin setiap tahunnya tidak kurang dari Rp 5 miliar.


Grafis poin celah dugaan bancakan dana denda dan sponsor di tubuh PSSI (Grafis:Law-Justice)

Lalu ada juga pemasukan dari pemain asing yang direkrut oleh klub. Setiap klub harus membayar Rp 10 juta untuk satu pemain asing yang ia rekrut. Jika masing klub punya jatah 5 pemain asing, tidak kurang dari Rp 1,5 miliar diterima PSSI setiap musimnya.

Pemasukan lainnya adalah subsidi rutin dari FIFA yang jumlahnya juga miliaran rupiah. Pada masa pandemi COVID-19, FIFA menggelontorkan dana Rp 7,7 miliar untuk semua anggotanya, termasuk PSSI. Namun Plt Sekjen PSSI Yunus Nusi membantah jika PSSI telah menerima uang subsidi FIFA tersebut.

Sumber pemasukan lainnya yang paling besar adalah dari sponsor. Dana dari sponsor bisa mencapai 80 persen dari total anggaran tahunan. Pada tahun 2015, mantan Sekjen PSSI Joko Driyono pernah mengungkapkan bahwa pemasukan dari sponsor mencapai Rp 82 miliar dari total anggara Rp119,072 miliar.

Tapi Sarman percaya, sumber-sumber keuangan itu hanya yang tampak di permukaan. Banyak sumber lainnya yang tidak diketahui oleh publik.

“Orang banyak yang tidak tahu bahwa sebetulnya sumber keuangan PSSI itu berlimpah. Misalnya, dalam proyek naturalisasi pemain asing. Pergantian kewarganegaraan karena sepakbola itu ada uangnya, ratusan hingga miliaran rupiah. Belum lagi kalau kita bicara soal mafia pengaturan skor,” ujar Sarman.

Menurut dia, Ketertutupan inilah yang menjadi kuncian PSSI. Orang-orang kuat di PSSI selalu berusaha mencari Ketua Umum yang mampu memberi perlindungan agar mereka tidak transparan.

“Mereka bertahan mencari orang-orang kuat seperti para jenderal dan politisi, untuk menjaga dan melindungi mereka. Nanti kalau sudah tidak bisa melindungi, pasti dijatuhkan dan cari yang baru,” ucap Sarman.

Kondisi itulah yang membuat posisi Ketum menjadi tidak stabil di PSSI. Dalam satu dekade terakhir, publik selalu disuguh oleh konflik Ketum yang berujung pada kongres luar biasa dan pengunduran diri Ketum.

Sarman mengungkapkan, kondisi itu selalu diciptakan oleh kubu-kubu kuat yang ada di tubuh PSSI. Memainkan isu untuk menggoyang posisi Ketum, tegas Sarman, sangat mudah dilakukan di PSSI. Ia menyebut, La Nyalla Mattalitti dan Edy Rahmayadi adalah korban atas konflik yang sengaja diciptakan oleh orang-orang kuat di tubuh PSSI.

“Pasca Nurdin Halid, Presiden tidak lagi ikut campur dalam posisi Ketum. Mulai lah dipolitisir oleh orang-orang lama yang paham bagaimana mudahnya menciptakan konflik di PSSI,” pungkas dia.

Selama ini, Sarman mencurigai bahwa kubu yang paling kuat di PSSI adalah gengnya Joko Driyono dan Ratu Tisha. Mereka adalah orang-orang lama yang paham seluk beluk PSSI, termasuk celah-celah dalam menggeruk sumber keuangan yang ia sebut sebagai ‘kue besar’.

“Lucunya, Mochamad Iriawan dan Cucu (Somantri) tidak mengerti bagaimana mengambil kue ini. Yang pegang Ratu Tisha, orangnya Joko Driyono. Kita tahu lah Joko Driyono ini siapa,” ucap Sarman.


Rekapitulasi denda klub Liga I tahun 2019 (Foto:LigasuperIndonesia)

Oleh sebab itu, pria 54 tahun tersebut tidak heran dengan penguduran diri Ratu Tisha sebagai Sekjen PSSI. Hal itu tidak terlepas dari konflik internal yang memang sudah mendarah daging di PSSI.

“Coba kita lihat, berapa lama Ketum sekarang mampu bertahan. Orang-orangya mungkin sudah berganti, tapi modusnya sama. Pola seperti itu selalu dijaga. Orang-orang pasca Nurdin Halid pasti paham permainan seperti ini,” imbuh Sarman.

Stafsus Menpora, Mahfudin Nigara, juga menyayangkan konflik internal yang kerap sekali terjadi di PSSI. Ia mengatakan, kubu-kubuan pada dasarnya hal yang lumrah terjadi, apalagi untuk organisasi sebesar PSSI. Hanya saja, blok sana-sini yang ada di PSSI telah membuat tujuan bersama untuk memajukan sepakbola jadi terkesampingkan.

"Misalnya, ini kita kumpul berempat. Tapi ada di antara kita yang punya agenda pribadi tersembunyi, yang ia jalankan secara sembunyi-sembunyi dan mengatasnamakan organisasi. Di PSSI terjadi hal-hal seperti itu, termasuk sekelas Ketum," ungkapnya.

“Coba, siapa yang menyangka ada Ketum yang tiba-tiba mencalokan diri menjadi gubernur dan terpilih,” imbuh dia.

Di PSSI, kata Nigara, ada aturan dan protokol organiasi yang disebut statuta. Namun statuta itu sering kali tidak dijalankan dengan baik oleh beberapa orang yang punya ambisi pribadi. Hal itulah yang menghambat kinerja PSSI dalam memajukan persepakbolaan tanah air.

Kenapa orang-orang yang ia sebut menyimpang itu tidak bisa disanksi?

“Kalau yang melanggar itu jumlahnya cukup banyak, misalnya ada 15 orang? Bagaimana mau disanksi? Itulah, saya selalu bilang, masalahnya ini sepele. Tapi menyelesaikannya susah. Kita tidak pernah bisa duduk bareng,” jawab Nigara.

Ia berharap, di bawah kepemimpinan Iwan Bule, situasi seperti itu bisa diatasi. Mundurnya beberapa orang penting PSSI dianggap sebagai upaya untuk kembali menyatukan visi misi antara Ketum dan jajaran di bawahnya.

“Wajarlah Ratu Tisha diganti. Kalau Anda Ketum, tentu Anda mau Sekjen yang sejalan kan? Yang bisa mengerti visi misi Anda,” ujarnya.

Sementara itu, Gusti Randa pesimistis dengan kepengurusan PSSI di eranya Iwan Bule. Ia menuding, PSSI saat ini cenderung diisi oleh orang-orang yang tidak begitu paham dengan sepakbola.

Bahkan, dia mencurigai akan ada warisan kepengurusan dia bersama Joko Driyono dan Ratu Tisha yang akan dihapuskan, misalnya sistem kemandirian klub yang mulai terbangun.

“Ya maaf-maaf. Kami ini orang-orang yang sudah karatan mengurusi organisasi PSSI. Joko Driyono itu kalau disayat kulitnya, darahnya bola semua. Tapi apa, dia malah dituduh terlibat mafia bola. Terlalu mengada-ada itu,” ucap Gusti Randa.

Hal itulah yang menyebabkan Gusti ogah kembali ke PSSI saat ini. Ia menilai, kepemimpinan saat ini tidak menghargai jerih payah yang sudah dibangun kepengurusan sebelumnya.

“Presiden berpesan kepada Menteri agar prestasi sepakbola dibenahi. Sekarang kita sedang sibuk untuk Piala Dunia 2021. Mohon maaf, itu Piala Dunia 2021 kerjaannya saya, Joko Driyono, dan Ratu Tisha. Bagaimana kita akhirnya bisa menang bidding. Tapi seolah-olah orang yang mengurus itu sekarang ditinggalkan,” pungkasnya.

Gusti menambahkan, pada masa pandemi COVID-19 ini merupakan titik nadir ujian terbesar persepakbolaan Indonesia. Sektor bisnis dan keuangan klub akan menjadi masalah besar yang harus segera dicari solusinya oleh PSSI.

“Ini kok bisa-bisanya ada konflik antara PSSI dan PT LIB. Direktur-direktur PT LIB buat mosi tidak percaya pada Dirut mereka, karena rangkap jabatan sebagai Waketum PSSI. Ini organisasi bola atau partai politik sih?” tutup Gusti Randa.


Kontribusi Laporan : Januardi Husin, Bona Ricki Siahaan, Ricardo Ronald, Lili Handayani

 

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar