H. Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Saat Tentara Harus Tanggung Dosa Istri Hanya Karena Cuitan Medsos

Senin, 25/05/2020 10:16 WIB
Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (istimewa)

Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (istimewa)

Jakarta, law-justice.co -  

Ditengah hiruk pikuk berita mengenai pandemi virus corona, terselip kabar soal sanksi terhadap tentara yang harus menanggung “dosa “ sang istri karena cuitannya di sosial media. Sebagaimana diberitakan law-justice,co 20/05/2020,Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) kembali menjatuhi hukuman kepada salah seorang anggotanya akibat postingan sindiran istri prajurit tersebut kepada pemerintah di sosial media.

Seperti apakah duduk persoalannya ? Apakah peristiwa seperti ini baru kali ini saja terjadinya ?, Secara hukum, sudah tepatkah seorang tentara menanggung perbuatan yang dilakukan oleh istrinya?. Dengan adanya peristiwa ini sebenarnya mengisyaratkan fenomena apa ?

Duduk Perkara

Kasus ini bermula  ketika istri Serda K yang menggunakan akun facebook dengan nama Ajeng Larasati memposting sebuah tautan berita soal Konser `Bersatu Melawan Corona` yang juga turut melibatkan Presiden Indonesia. "Semoga Allah mengampuni dosa2 mu pakde," tulis akun Ajeng Larasati di laman facebooknya.

Ajeng kemudian membalas komentar dari salah satu akun yang menanyakan soal konser itu. Ia menyoroti soal konser yang tidak memperhatikan anjuran jaga jarak di tengah pandemi Corona. "Sedih ya bu Mona ya.. punya pemimpin yg plin plan gitu.. Ntah mau di bawa kmn bangsa ini," ucap Ajeng dalam kolom komentar postingannya.

Atas adanya postingan  tersebut, suaminya yang merupakan  anggota TNI AD  berinisial Serda K kemudian  dilakukan penahanan, demikian sebagaimana dinyatakan oleh Kadispen TNI AD Kolonel Inf Nefra Firdaus. Serda K ditahan karena istrinya mengunggah tulisan yang dianggap menyerang Presiden Indonesia. 

“Sidang Disiplin Militer terhadap Serda K akan dipimpin oleh Komandan Kodim Pidie sebagai Atasan Yang Berhak Menghukum dari Serda K dan sudah dijadwalkan untuk digelar pada jam 10.00 hari Rabu  20 Mei 2020, di Makodim Pidie,” tambah Nefra.

Selain itu kata dia, pihaknya mendorong proses hukum terhadap istri Serda K. Perempuan berinisial AL itu diduga melanggar UU ITE. "Mendorong proses hukum terhadap Saudari AL dalam kapasitasnya sebagai anggota Persatuan Istri TNI AD atas dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik," jelas Nefra.

Bukan Yang Pertama

Kasus suami yang harus menanggung “dosa”istrinya ini bukan hanya menimpa Serda K, sebelumnya Anggota TNI Rindam Jaya yang berada di bawah komando Kodam Jaya, Sersan Mayor T juga dijatuhi hukuman disiplin berupa penahanan ringan selama 14 hari. T dihukum lantaran istrinya, SD melakukan penghinaan terhadap pemerintah.

"Menjatuhkan hukuman disiplin militer kepada Sersan Mayor T (anggota Rindam Jaya) berupa penahanan ringan sampai dengan 14 hari," kata Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat, Kolonel Inf. Nefra Firdaus dalam keteragannya, Minggu (17/5/2020).

Hukuman disiplin terhadap Sersan Mayor T berdasarkan hasil sidang putusan yang dilaksanakan di Markas Besar TNI AD, pada Minggu (17/5). Sidang tersebut dipimpin langsung KSAD Jenderal Andhika Perkasa dan dihadiri oleh Wakil KSAD Mayjen TNI Moch Fachruddin beserta jajarannya.

Nefra menyebut T ditahan lantaran tidak bisa menjalankan perintah kedinasan terkait penggunaan sosial media. Dalam hal ini, T tidak dianggap tidak dapat membina istrinya terkait penggunaan sosial media, di mana ada aturan soal ini di instansi TNI yang menjadi kesatuannya.

Sementara itu, Nefra menyebut TNI AD mendorong agar SD, yang tergabung dalam Persatuan Istri TNI AD atau Persit, diproses secara hukum pidana. SD diduga melakukan penghinaan terhadap pemerintah. Dalam komentar di akun facebooknya  dia menuliskan kata-kata dalam bahasa Jawa `mugo rezim ndang tumbang sblm akhir tahun 2020` yang artinya `semoga rezim segera tumbang sebelum akhir tahun 2020`.

Seorang teman SD mengingatkan lewat kolom komentar terkait pekerjaan sang suami yang mendapat gaji dari pemerintah. SD balas mengomentari dengan kalimat `sing gaji TNI bkn negoro ning rakyat, duite seko rakyat` yang artinya `yang menggaji TNI bukan negara tapi rakyat, uangnya dari rakyat`. 

Oleh karena perbuatannya itu SD diduga diduga telah melanggar pasal UU nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik.

Sebelum Serda K dan Sersan Mayor T terkena musibah karena ulah istrinya, pada bulan Oktober 2019 lalu, tiga istri anggota TNI juga terseret kasus serupa. Mereka kompak memberi tanggapan nyinyir soal penusukan mantan Menko Polhukam Wiranto di Mendes, Pandeglang, Banten, 10 Oktober lalu di akun Facebooknya.

Ketiga anggota TNI tersebut adalah anggota POMAU Lanud Muljono Surabaya Peltu YNS, Komandan Distrik Militer Kendari Kolonel HS, dan Sersan Dua Z.Untuk Kolonel HS dan Serda Z, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa menjelaskan, para anggota TNI tersebut mendapatkan sanksi atas ulah istri-istri mereka.

"Proses administrasi (hukuman terhadap HS dan Z) sudah saya tanda tangani. Tetapi besok akan dilepaskan oleh Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) Hasanuddin di Makassar karena masuk ke Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara," ujar Andika di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (11/10/2019), sebagaimana dikutip dari Kompas.com.

Sementara itu terhadap para istri, mereka akan diarahkan ke peradilan umum. Mereka dianggap melanggar UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 8 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) pasal penyebaran kebencian dan berita bohong.

TNI AU menegaskan, dalam urusan politik, posisi prajurit TNI AU dan keluarganya (KBT/Keluarga Besar Tentara) sudah jelas, netral. Oleh karena itu, KBT dilarang berkomentar, termasuk di media sosial yang berdampak pendiskreditan pemerintah maupun simbol-simbol negara. KBT yang kedapatan melanggar, dikenakan sanksi sesuai aturan berlaku.

Pantaskah Mereka Dihukum ?

Soal tentara yang harus menanggung “dosa” istrinya memunculkan polemik dimasyarakat kita. Ada yang berpendapat bahwa istri seorang tentara sewajarnya untuk di hukum jika melakukan perbuatan di media sosial yang tidak pada tempatnya.

Alasan mereka sewajarnya untuk di hukum disampaikan oleh Kadispen AU Marsma TNI Fajar Adriyanto yang menyebutkan bahwa mereka pantas dihukum karena melanggar UU Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer."Dasarnya Hukum Disiplin Militer, berlaku untuk semua yang paling mendasar. Hukum itu meliputi apa saja, salah satunya harus mematuhi pimpinan dan pimpinan di TNI telah mengeluarkan perintah dilarang untuk berpolitik praktis, kedua mengomentari kegiatan politik dan juga menghina pemerintah. Dari situlah dia kena," kata Fajar saat sebagaimana dikutip liputan6.comSabtu (12/10/2019).

Selain itu mereka dianggap melanggar ketentuan UU nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik terkait dengan  pasal penyebaran kebencian dan berita bohong.

Tapi tidak semua orang sependapat dengan kebijakan jajajaran TNI yang menghukum prajuritnya karena ulah istrinya.Peneliti Senior Imparsial Anton Aliabbas menilai, tindakan TNI yang menghukum prajuritnya bahkan sampai memenjarakan akibat ulah sang istri sangat berlebihan. Sebab, pelaku dugaan tindak pidana bukan prajurit yang bersangkutan."Itu berlebihan, hukuman yang semestinya tidak dibebankan kepada prajurit. UU 25 Tahun 2014 itu mengatur disiplin bagi prajuritnya, bukan bagi keluarganya," kata Anton sebagaimana dikutip merdeka.com, Jumat (11/10).

Dia menambahkan, dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh istri atau keluarga tidak bisa ditimpakan dan tidak mengikat kepada prajurit TNI."Pertama, dugaan tindak pidananya sendiri kan harus dibuktikan pengadilan baru dinyatakan bersalah atau tidak. Kedua, yang melakukan bukan prajuritnya, tapi istrinya," ujarnya.Meskipun hukuman itu terkait pembinaan, kurungan 14 hari penjara yang dikenakan kepada para prajurit, sekali lagi, dalam pengamatan Anton, tidak tepat.

Sementara itu, komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Yuniyanti Chuzaifah mengatakan, sanksi yang diberikan kepada istri anggota TNI, selain memberikan rasa jera, harus edukatif dan memberikan rasa adil.“Memproses istri-istri TNI yang berhadapan dengan hukum harus proporsional, tidak berlebihan, memegang prinsip fair trial, dan hak asasi sebagai perempuan,” ujar Yuniyanti sebagaiman dikutip law-justice.co Rabu (16/10).

Pengaturan Yang Sumir ?

Para TNI yang dihukum dituduh  melanggar UU Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer.Pada hal kalau kita cermati di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2014 sama sekali tidak dijelaskan secara detail perihal keluarga militer terikat dengan hukum disiplin militer. Ataupun juga sebaliknya bahwa anggota TNI menanggungjawabi apa yang dilakukan oleh keluarganya.

Di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer Pasal 8 terkait jenis pelanggaran hukum disiplin militer, yang terdiri atas segala perbuatan yang bertentangan dengan perintah kedinasan, peraturan kedinasan, atau perbuatan yang tidak sesuai dengan tata tertib militer; serta perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan pidana yang sedemikian ringan sifatnya.

Di Sapta Marga dan sumpah prajurit juga disebutkan bahwa subjeknya selalu disebut “saya” atau “kami”. Sehingga tidak ditemukan dasar hukum yang menyatakan bahwa hukum disiplinnya TNI juga mengikat keluarganya.

Sejauh ini belum ditemukan sebuah dokumen  untuk mengetahui sejauh mana batasan dan keterikatan antara TNI dengan keluarganya. Karena dokumen TNI sifatnya memang tertutup. Oleh karena itu setiap pelanggaran seyogyanya dicarikan alas hukumnya pasal berapa dan diperaturan apa seseorang itu dikenakan hukuman atau dihukum karena melanggar suatu ketentuan. Batasan pertanggungjawaban anggota TNI dan keluarganya secara hukum ini penting agar supaya  publik bisa memahami dan tidak menimbulkan ketakutan, terutama bagi keluarga TNI.

Karena secara hukum, istri TNI itu statusnya masih orang sipil bukan personil milieter. Karena statusnya masih dianggap sebagai orang sipil maka dengan sendirinya perilakunya masuk kategori perbuatan individu karena tidak mengatasnamakan institusi TNI. Sehingga kurang pas rasanya kalau tindakan istri TNI sebagai subyek hukum individu itu dikait kaitkan dengan suaminya.

Jikapun ingin menjerat pelakunya dengan hukum penghinaan terhadap Presiden  tetap ada syarat yang mesti dipenuhi. Salah satunya, Jokowi harus membuat aduan dan pelaporannya sendiri. Karena penghinaan kepada presiden itu adalah delik aduan bukan delik umum.

Delik aduan merupakan tindak pidana yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan. Sedangkan delik biasa adalah tindak pidana yang dapat dituntut tanpa diperlukan adanya suatu pengaduan.

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa terhadap permohonan pemrosesan peristiwa pidana yang termasuk delik aduan hanya dapat ditindaklanjuti oleh yang berwajib (dalam hal ini pemerintah yang diwakili oleh polisi, kejaksaan, dan hakim) apabila didahului dengan pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan, sedangkan permohonan pemrosesan peristiwa pidana yang termasuk delik biasa dapat ditindaklanjuti oleh yang berwajib tanpa harus didahului dengan pengaduan terlebih dahulu.

Sebagai delik aduan maka orang atau penguasa yang merasa dihina martabat dan kehormatannya harus melaporkan sendiri pelakunya kepada pihak yang berwenang menanganinya. Hal ini pernah dilakukan oleh mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang melaporkan sendiri orang yang dianggap menghinanya. SBY saat itu didampingi oleh istrinya melaporkan Zainal Maarif  ke Polda Metro Jaya pada hari minggu tanggal 29 Juli 2007/7/2007 didampingi almarhum Ani Yudhoyono/ istrinya. Laporan ke Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK) Polda Metro Jaya diterima oleh  Irjen Pol Adang Firman yang saat itu menjadi Kapolda Metro Jaya.

Selain bersifat delik aduan, agar bisa diproses hukum, di postingan para istri TNI tersebut harus benar-benar menjelaskan bahwa itu tertuju ke orang yang akan mengadu. Jadi harus disebut namanya. Pada hal postingan postingan ibu ibu TNI itu kebanyakan tidak menyebutkan nama seseorang atau pejabat tertentu.

Sementara itu menghukum para istri TNI ini dengan tuduhan pelanggaran UU ITE Pasal 28 tentang dugaan ujaran kebencian atau penyebaran berita bohong harus juga bisa dibuktikan kebencian atau berita bohong/ macam apa yang disebarkan oleh istri istri TNI itu.

Pasal 28 ayat 2 UU ITE berbunyi, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Ungkapan istri TNI yang berbunyi : "Sedih ya bu Mona ya.. punya pemimpin yg plin plan gitu.. Ntah mau di bawa kmn bangsa ini," apakah ini suatu ujaran kebencian atau berita bohong ?, bukankah itu ucapan yang mengandung fakta ?.

Demikian juga ungkapan  dalam bahasa Jawa `mugo rezim ndang tumbang sblm akhir tahun 2020` yang artinya `semoga rezim segera tumbang sebelum akhir tahun 2020`, apakah ini suatu ujaran kebencian atau berita bohong ?.

Sementara diluar itu berseliweran pernyataan yang mengandung kebohongan dilakukan oleh penguasa tapi dianggap sebagai hal yang biasa-biasa saja seperti terekam dalam meme-meme yang beredar luas di sosial media terkait dengan kinerja Presiden yang diberi judul #PranksidenGadungan.

  1. Prank 50juta masker
  2. Prank sdh beli 2jt avigan
  3. Prank pnangguhan cicilan 1tahun
  4. Prank pengangguran digaji
  5. Prank traktor
  6. Prank mobil Esemka
  7. Prank mobil Esemka laku 6000 unit
  8. Prank stop utang luar negeri
  9. Prank stop impor pangan
  10. Prank persulit investasi asing
  11. Prank buy-back indosat
  12. Prank 10jt lapangan kerja
  13. Prank kabinet diisi professional
  14. Prank tdk bagi2 jabatan
  15. Prank kabinet ramping
  16. Prank penguatan KPK
  17. Prank besarkan Pertamina dlm 5tahun
  18. Prank cetak 3juta lahan pertanian
  19. Prank buka Bank Tani
  20. Prank swasembada pangan
  21. Prank bangun 50ribu puskesmas
  22. Prank janji berapapun anggaran pendidikan
  23. Prank pertumbuhan ekonomi 8persen
  24. Prank ekonomi meroket
  25. Prank dollar 10rb
  26. Prank tidak menaikan BBM
  27. Prank tidak menaikan TDL
  28. Prank tidak impor garam
  29. Prank tidak impor gula

Ada benarnya juga ucapan dari Rocky Gerung, bahwa hoaks terbesar itu adalah bikinan penguasa. Tapi faktanya dianggap sebagai biasa-biasa saja tidak diproses hukum sebagaimana mestinya.

Terkait dengan perbuatan istri istri tentara maka tidak pas rasanya menghukum istri TNI itu karena nyinyirannya sebab bagaimanapun seorang perempuampun  punya  hak politik termasuk istri anggota TNI untuk mengkritisi kinerja penguasa. Hak ini seharusnya dijamin dan tak boleh terhambat karena status pernikahannya. 

Apalagi kalau kemudian “dosa” itu harus merembet ke suaminya yang dikenakan sanksi misalnya dicopot dari jabatannya atau ditahan untuk beberapa hari lamanya.

Lebih tepat kiranya kalau perbuatan para istri TNI itu masuk ranah pelanggaran  etika atau kepatutan saja.  Karena hanya melanggar etika maka proses penyelesaian cukup dengan  memberikan teguran dan pembinaan kepada istri-istri anggota TNI tersebut. Mereka bisa dibina oleh organisasi persatuan istri tentara (Persatuan Istri Prajurit Kartika Chandra Kirana) dan tidak dibawa proses pidana. Kepolisian tidak  perlu melanjutkan masalah para istri tersebut ke ranah proses hukum melalui mekanisme peradilan umum.

Hak politik perempuan dijamin antara lain di dalam Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) atau International Convention on Elimination of All Forms of Discrimation Againts Women (ICEDAW)—sebuah kesepakatan hak asasi internasional yang secara khusus mengatur hak-hak perempuan.

Selain itu Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan " "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang". Kemerdekaan menyampaikan pendapat tersebut juga sejalan dengan Pasal 9 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia.  Yang menjadi pertanyaan adalah : Apakah kebebasan menyatakan pendapat bagi seorang perempuan itu harus hilang ketika yang bersangkutan menikah dengan seorang tentara ?

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar