Di Balik Krisis Harga Pangan (Tulisan III)

Jejaring Mafia dan Pejabat di Kuota Impor Bawang Putih

Minggu, 03/05/2020 15:01 WIB
Stok bawang putih impor di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur (Foto:Denni Hardimansyah/Law-Justice)

Stok bawang putih impor di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur (Foto:Denni Hardimansyah/Law-Justice)

Jakarta, law-justice.co - Mahalnya harga bawang putih yang sempat menembus angka Rp 60 ribu per kilogram memunculkan asumsi miring soal adanya praktik kotor dan kartel dalam bisnis impor bawang putih. Setiap tahun, diduga terjadi praktik curang untuk mengakali kuota impor. Bahkan, tak tanggung-tanggung mereka berani menciptakan anak perusahaan baru untuk mendapatkan kuota impor komoditas holtikultura seperti bawang putih. Sehingga, satu grup perusahaan besar bisa mendapatkan kuota impor yang lebih besar dengan cara membentuk anak perusahaan baru dan sama-sama mengajukan impor produk holtikultura.

Tak hanya itu, banyak perusahaan besar yang mengikuti lelang impor produk pangan seperti gula dan bawang putih itu dimiliki oleh kelompok perusahaan besar yang berafiliasi dengan pejabat-pejabat yang kini berkuasa.

Dari penelusuran law-justice.co, ada puluhan perusahaan yang mengikuti proses lelang produk holtikultura pada tahun 2018. Namun, setelah ditelusuri ada beberapa perusahaan yang berafiliasi dengan pejabat tinggi di negeri ini.

Bahkan dari dokumen yang diterima law-justice, ada nama direksi dari perusahaan PT Lumbung Mineral Internasional, Bahlil Lahadalia. Perusahaanya mendapatkan jatah impor bawang putih sebanyak 10 ribu ton pada tahun 2018.

Siapa Bahlil Lahadalia? Bahlil adalah Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Kabinet Indonesia Maju Presiden Joko Widodo-Ma`ruf Amin. Bahlil Lahadalia dilantik menjadi Kepala BKPM ke-19 pada 23 Oktober 2019.

Sebelumnya, Bahlil Lahadalia adalah Ketua Umum BPP HIPMI periode 2015–2019. Bahlil juga memiliki 10 perusahaan di berbagai bidang di bawah bendera PT Rifa Capital sebagai holding company.

Ada juga perusahaan PT Maju Makmur Jaya Kurnia yang diduga dimiliki oleh Timothy Savitri dan Marah Laut C. Noer. Seperti kita tahu, Marah Laut C. Noer adalah pasangan dari anak bekas Wakil Presiden Jusuf Kalla, Chairani Jusuf Kalla.

Dalam data yang kami terima, perusahaan itu mendapatkan jatah RIPH sebesar 20 ribu ton dan izin SPI dari Kemendag sebesar 17 ribu ton. Sementara realisasi dari data Bea Cukai sebesar 25 ribu ton pada tahun 2018. Kala itu, Jusuf Kalla mertua dari Marah Laut C. Noer masih menjadi wakil presiden mendampingi Joko Widodo.

Kedekatan-kedekatan dengan penguasa itu diduga menjadi senjata utama untuk mendapatkan jatah impor bawang putih selama beberapa tahun terakhir. Mahfum saja, Indonesia sepanjang tahun selalu membuka kran impor bawang putih.


Dokumen negara soal kepemilikan perusahaan pengimpor bawang putih (Foto:Law-Justice)

Syarat dari Kementerian Pertanian dalam penerbitan izin RIPH mewajibkan untuk menanam sekian persen dari kuota impor komoditas holtikultura yang disetujui. Namun dalam kenyataannya, banyak perusahaan yang tidak menjalankan kewajiban tanam sesuai dengan aturan. Mereka cenderung akal-akalan dalam melakukan wajib tanam.

Menurut sumber Law-Justice, permasalahan ada pada proses awal RIPH dan implementasi RIPH tersebut. Kata dia, ada keganjilan dan kecurangan dalam sistem penerbitan RIPH dan SPI yang selama ini berjalan.

"Untuk mendapatkan RIPH itu harus ada kewajiban wajib tanam minimum 5 persen dari volume impor yang diajukan. Masalah prosedurnya itu berjalan semestinya atau tidak. Kedua setelah mendapatkan RIPH bisa mengajukan SPI kan surat persetujuan impor dari Kemendag," ujarnya kepada Law-Justice.

Hal itu sejalan dengan kenyataan di lapangan. Misalnya, PT Sedap Agri Makmur yang diwajibkan menanam bawang putih di Dusun Jeruk, Desa Purworejo, Kecamatan Ngantang. Perusahaan ini diwajibkan menanam bawang putih seluas 85 hektare pada masa impor 2018-2019. Hingga Juli 2018, realisasinya baru 10,05 hektare yang tersebar di enam desa.

Soal kedekatan penguasa dan pengusaha dalam upaya mendapatkan kuota impor sudah bukan cerita lama. Namun, hal itu serasa sulit diberantas bahkan diduga semakin parah dalam praktiknya.

Dia juga menyoroti pemain-pemain atau perusahaan besar yang terlibat dalam impor bawang. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir hanya perusahaan itu saja yang mendapatkan RIPH dan SPI untuk melakukan impor bawang. Hal itu menurut dia proses RIPH dan SPI hanya berdasarkan kedekatan dengan lingkar kekuasaan di lembaga saja. Dia memberikan contoh, ada kerjasama dengan orang-orang dalam gerakan pemuda tani di era menteri pertanian sebelumnya.

"Apalagi waktu jamannya Mentan yang sebelumnya, Amran. Amran kan bikin tuh kegiatan yang namanya Gempita, Gerakan Muda Petani Indonesia. Ada orang-orang Gempita yang ikut mengurusi RIPH dan implementasi wajib tanam," ungkapnya.

Menurut dia, perusahaan-perusahaan yang mengajukan RIPH juga diduga merupakan perusahaan rekanan dari pejabat di lingkungan Kementan dan Kemendag. Sehingga, perusahaan lain yang ingin melakukan bisnis murni sulit untuk mendapatkan rekomendasi dari kedua lembaga tersebut.

Dia juga menambahkan, keran impor bisa diajukan sepanjang tahun. Karena stok bawang putih di China berlimpah dan tidak mudah rusak sehingga bisa dilakukan impor sepanjang tahun.

"Kalau bawang itu kan kebanyakan mayoritas impornya dari China, China tidak ada kayak kalender, dia bisa storage bawangnya itu sampai jutaan ton. Dan dia pakai bahan kimia yang bikin produk bawangnya itu tahan lama tidak jamuran. Jadi, kesulitannya bawang atau masalah itu kebanyakan anehnya, justru pada saat petaninya mau panen justru keran impor dibuka," tambahnya.

Tidak heran jika mafia terus mencari celah masuk untuk bermain impor pangan. Karena jika merunut data Badan Pusat Statistik (BPS) importasi holtikultura seperti bawang putih ini memang menggiurkan. Sepanjang Januari-Mei 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat volume impor bawang putih sudah mencapai 70.834 ton atau senilai US$ 77,3 juta (Rp 1,1 triliun; asumsi kurs Rp 14.000/US$).

Sementara sepanjang tahun 2018 total volume impor bawang putih mencapai 582.995 ton dengan nilai US$ 493,9 juta atau setara dengan Rp 6,9 triliun. Jumlah sebesar itu tentu saja akan mengundang sejumlah pihak pemburu rente turut mengambil untung.

Kementerian Pertanian sendiri menjelaskan kebutuhan bawang putih nasional sekitar 560.000-580.000 ton per tahun atau sekitar 47.000 ton per bulan, dimana kemampuan produksi dalam negeri hanya sekitar 85.000 ton.

Mafia dan Kartel Mainkan Impor Bawang Putih
Persaingan usaha antar importir bawang putih sebetulnya berkali-kali dikeluhkan oleh Forum Komunikasi Pengusaha dan Pedagang Pangan (FKP3), sebuah organisasi antar pengusaha pangan di Surabaya, Jawa Timur. FKP3 pernah membuat laporan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tentang adanya dugaan kartel importir bawang putih untuk mendapatkan RIPH dan SIP pada tahun 2020.

FKP3 mendesak KPPU untuk mencegah rencana pertemuan Perkumpulan Pelaku Usaha Bawang Putih dan Umbi Indonesia (Pusbarindo) pada hari Sabtu, 21 Desember 2019, pukul 10.00 WIB. Mereka menduga, Pusbarindo yang terdiri dari 41 perusahaan importir itu, sedang merencanakan kerjasama penerbitan RIPH dan SPI.

“Berdasarkan informasi, pelaku usaha yang tidak tergabung dalam Pusbarindo kouta RIPH tidak dapat diterbitkan,” demikian salah satu bunyi petikan surat aduan FKP3 kepada KPPU yang ditandatangani oleh Sekretaris FKP3 Aminullah.

Saat dikonfirmasi tentang kebenaran aduan tersebut, Aminullah membenarkan bahwa mereka pernah berkirim surat kepada KPPU di Jakarta.

“Betul, kami pernah melaporkan ke KPPU terkait ‘kecurangan’ itu,” kata Aminullah kepada law-justice.co melalui pesan singkat, Jumat (2/4/2020).

Ia mengatakan, pertemuan Pusbarindo berpotensi menciptakan kartel importir bawang putih, sehingga harus dilakukan pencegahan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Tahun lalu, dalam sebuah kesempatan di Surabaya, Aminullah pernah memprotes terkait proses keluarnya RIPH dari Kementan yang ia anggap sangat terlambat dikeluarkan.


Data alokasi impor dan kepemilikan perusahaan importir bawang putih (Foto:Repro/Law-Justice)

Normalnya, RIPH untuk pengusaha importir bawang putih keluar setiap bulan Desember. Tapi rekomendasi itu baru keluar pada 15 April 2019. Keterlambatan itu membuat harga bawang putih sempat mahal di pasaran. Aminullah menduga, ada persaingan usaha yang tidak sehat di balik kebijakan RIPH karena hanya 8 dari 87 importir yang mendapatkan izin RIPH bawang putih tahun 2019.

FKP3 juga sempat memprotes harga bawang putih yang ditetapkan oleh pemerintah di atas Rp 30.000 per kilogram. Menurut mereka, melihat harga di negara importir, masyarakat seharusnya bisa menikmati harga bawang putih dengan kisaran Rp 18.000 – Rp 20.000 per kilogram.

“Kalau melihat biaya masuk dari negara asal sampai pelabuhan dan biaya truk sampai gudang distributor itu Rp 14.000 sampai Rp 15.000 per kilogram. Seharusnya importir bisa menjual Rp 18.000 sampai Rp 20.000. Kami menyayangkan Kementan yang meminta importir menjual Rp 25.000 sampai Rp 35.000. Ini merugikan masyarakat," kata Aminullah.

Terkait adanya kartel importir pangan di Indonesia, Ketua Asosiasi Hortikultura Nasional Anton Muslim Arbi meyakini bahwa banyak oknum di pemerintahan yang pengusaha importir yang bermain mengatur RIPH dan SPI. Ia melihat ada skema yang sama terjadi setiap tahunnya menjelang impor bawang putih.

“Bawang langka, harga mahal, impor besar-besaran,” kata dia kepada Law-Justice.co.

Sudah lama Anton mencurigai bahwa sistem atau regulasi tentang impor adalah dalang dari krisis bawang putih yang terjadi setiap tahunnya. RIPH dan SPI yang dikeluarkan oleh kedua lembaga itu menjadi kunci mati bagi perusahaan yang ingin meraup untung besar dari praktik impor bawang putih.

Persoalannya, kata Anton, ada ketidakjelasan dalam proses pemilihan siapa-siapa saja perusahaan yang mendapatkana RIPH dan SPI. Dari sekian ratus perusahaan yang mengajukan diri menjadi importir,hanya segelintir yang disetujui.

“Kenapa hanya sedikit? Biar bisa diatur lebih mudah. Dapat jatah impor berapa, harus ‘setor’ berapa,” terang Anton.

Data RIPH 2018-2019 (Foto:Repro/Law-Justice)

Dia mengatakan, tawar-menawar ‘setoran’ adalah rahasia umum dalam bisnis impor pangan, terutama komoditas bawang putih dan gula. Rata-rata, importir kelas menengah tidak sanggup memenuhi permintaan tersebut. Itu pula yang menyebabkan terjadinya praktik penimbunan sehingga stok menipis
dan harga menjadi mahal di pasaran.

“Jadi, sebetulnya, perusahaan yang nakal menimbun bawang itu juga adalah korban. Kenapa perusahaan itu bermain? Karena ‘setorannya’ juga tinggi. Itu sebetulnya gampang dilacak, kalau KPK kerja yang benar,” ucap Anton.

Keyakinan tentang adanya kartel bawang putih ini juga diperkuat oleh Wakil Ketua Umum Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Ngadiran. Saat dihubungi law-justice.co pada Sabtu (2/5/2020), ia memastikan bahwa kelangkaan dan melonjaknya harga bahan pangan impor di pasaran karena ada oknum yang mempermainkan stok sehingga distribusi terhambat.

"Mafia pangan memang tidak rahasia lagi, sudah berlangsung lama. Coba tunjukan kepada saya terkait impor pangan apa yang tidak ada mafianya?," tanya Ngadiran.
Menurut dia, krisis pangan yang terhadi hampir setiap tahun menjelang bulan puasa, bukan karena kenaikan permintaan di masyarakat. Tapi ada gangguan pasokan bahan pokok yang terjadi karena impor tersendat.

"Ini yang dimanfaatkan mafia mencari keuntungan setinggi-tingginya. Pengajuan impor terlambat, bisa karena ada yang pesan terlebih dahulu (oknum mafia) atau yang ambil kebijakan pun tidak memahami. Seperti sudah di-setting," kata Ngadiran.

"Saya tantang, coba, pejabat mana yang berani bersumpah bahwa tidak dapat upeti, hadiah, atau sebutan lain terkait dengan perijinan untuk impor pangan?," pungkasnya.


Stok bawang putih impor di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur (Foto:Denni Hardimansyah/Law-Justice)

Sementara itu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengaku terus mengawasi pergerakan di lapangan soal komoditas pangan seperti gula dan bawang putih. Menurut Anggota KPPU Guntur Syahputra Saragih, pengawasan KPPU bekerjasama dengan Satgas Pangan Mabes Polri. Kata dia, hal itu untuk memberikan efek sanksi hukum kepada perusahaan importir yang terbukti melakukan kartel, penimbunan hingga menjual di atas harga pasaran.

"Menjadi prioritas kami untuk, mengawasi, bahkan dulu kami pernah ada melakukan, sampai pada pemberian sanksi, untuk bawang putih. Bawang putih dulu kita pernah kemudian, untuk bawang putih beberapa tahun lalu, juga kita masih dalam proses penyidikan, untuk tahun 2020 memang belum masuk pada penyidikan, namun kami senantiasa melakukan kajian. Jadi ini tahapan kajian menemukan indikasi untuk kemudian masuk ke masih di wilayah direktorat ekonomi kemudian, bisa masuk ke kalau memang ditemukan kuat bisa masuk ke penyidikan pemberkasan sampai ke persidangan," katanya dalam teleconfrence kepada media massa beberapa waktu lalu.

Dia memastikan tim dari KPPU mengawasi titik rawan penyelewengan impor pangan. Bahkan, termauk praktik kartel yang diduga sering terjadi baik pada masa pendemi atau pun masa normal.

"Persoalan misalnya terjadi rawan penyelewengan, dan membuka celah mafia, didalam konteks persaingan, penyelewengan atau dalam hal ini kami adalah misalnya kartel, yang ada dikami itu dilakukan oleh pelaku usaha yang pada saat kondisi tidak relaksasi, ataupu pada saat relaksasi. artinya pelanggaran persaingan usaha tidak serta merta, diabaikan. relaksasi hanya prosesnya," ungkapnya.

Pengatur Impor Bawang Putih Diam
Tim investigasi Law-Justice.co mencoba mendapatkan data pembanding soal SPI impor bawang putih dalam kurun waktu 3 tahun terakhir. Kami juga berusaha menghubungi humas Kementerian Perdagangan untuk kepastian jawaban dari Menteri Perdagangan, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Suhanto dan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Indrasari Wisnu Wardhana.

Namun harapan mendapatkan informasi soal pengawasan gudang impor bawang putih, pengawasan adanya kerjasama penimbunan sehingga harga meningkat, dan over kuota impor tak berbalas.

Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Suhanto, Dirjen Perdagangan Luar Negeri Indrasari Wisnu Wardhana dan Dirjen Konsumen dan Tata Tertib Niaga Veri Anggrino tidak merespon sama sekali telp maupun pesan dari tim investigasi.

Begitu juga Kementerian Pertanian mulai dari Menteri Pertanian, Dirjen Holtikultura pun diam tidak membalas permohonan wawancara dari tim investigasi. Sedangkan Direktorat Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, hanya menjanjikan data alokasi impor yang diterima oleh perusahaan importir di Indonesia.

Semua pejabat Kemendag dan Kementan kompak diam tutup mulut, tidak mau merespon interview. Ada apa? Jangan-jangan para pejabat ini sudah "masuk angin" dan kebanyakan mencium aroma sedap dari bisnis bawang putih saat wabah Corona. Jika benar begitu, keterlaluan!


Kontribusi Laporan : Januardi Husin, Bona Ricky Siahaan, Lili Handayani, Ricardo Ronald

(Tim Liputan Investigasi\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar