Digadang Jadi Obat Corona, Ini 4 Fakta Remedesivir

Jum'at, 01/05/2020 18:04 WIB
ilustrasi untuk obat corona (kompas)

ilustrasi untuk obat corona (kompas)

Jakarta, law-justice.co - Belum lama ini, obat Ebola buatan perusahaan farmasi Amerika Serikat, Gilead, ramai diperbincangkan.

Kabar itu mencuat setelah adanya klaim dari para ilmuan bahwa obat Remdesivir efektif membantu pemulihan pasien positif virus corona atau Covid-19. Pasien yang diberi obat remdesivir memiliki waktu pemulihan sepertiga lebih cepat dari pasien yang tak diberikan obat.

Sebenarnya apa obat remdesivir?

Dikutip dari Financial Times, berikut adalah 4 fakta seputar obat Ebola tersebut.

1. Obat untuk Menangani Ebola

Remdesivir adalah obat antivirus yang menargetkan replikasi mekanisme virus untuk menghentikan mereka bereproduksi. Obat ini awalnya dikembangkan oleh Gilead, perusahaan biokteknologi di California, untuk menangani Ebola, namun tak pernah disetujui.

Akhirnya para peneliti mencoba menggunakan remdesivir untuk menangani virus Covid-19 karena obat ini menunjukkan efek pada penyakit akibat virus corona lainnya. Bulan lalu, Gilead memperoleh status `orphan drug` untuk remdesivir dari Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA).

Namun obat ini hanya diperuntukkan bagi penyakit yang menyerang kurang dari 200 ribu orang di AS.
2. Menarik Minat Banyak Investor

Percobaan awal yang dilakukan oleh Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular AS (NIAID) menunjukkan pasien yang mengonsumsi obat remdesivir 31% sembuh lebih cepat. Angka kematiannya pun rendah, hanya 8%, dibandingkan dengan 11%. Namun secara statiftik tidak signifikan.

Anthony Fauci, direktur NIAID, mengatakan, dia sangat optimistis pada remdesivir. Menetapkan sebuah obat yang dapat mereplikasi mekanisme virus bisa membuat terobosan lain, katanya. Meski data remdesivir perlu dianalisis lebih jauh, Dr Fauci mengatakan hal ini harus diumumkan.

"Kapanpun Anda memiliki bukti jelas bahwa sebuah obat bekerja, kamu memiliki kewajiban etis untuk segera memberitahu orang dalam grup placebo, sehingga mereka memiliki akses," tuturnya.

3. Ada Bukti Obat ini Tidak Bisa Bekerja

Sebuah percobaan dipublikasikan dalam jurnal medis The Lancet yang menunjukkan hasil yang mengecewakan. Dilakukan di Cina, studi itu hasilnya menunjukkan tak ada manfaat bagi mereka yang meminum remdesivir.

Para pasien Corona Covid-19 yang meminum remdesivir rata-rata sembuh dalam rata-rata 21 hari, dibandingkan dengan mereka yang meminum placebo dalam rata-rata 23 hari. Bisa jadi ada sedikit perbaikan jika pasien meminumnya lebih cepat.

Jika mereka meminumnya pada 10 hari pertama setelah mengalami gejala, mereka bisa sembuh dalam rata-rata 18 hari. Beberapa analisis mendukung hal tersebut, masuk akal apabila mengonsumsi obat antivirus sebelum virus Corona Covid-19 menyebar luas untuk merusak beberapa bagian tubuh. Namun para penulis memperingatkan bahwa hal ini secara statistik tidak signifikan.
4. Ada Beberapa Masalah dalam Penelitiannya
Percobaan harus melibatkan cukup banyak pasien untuk bisa dianggap secara statistik signifikan. Percobaan NIAID melibatkan ribuan pasien di seluruh dunia. Sementara yang di Cina melibatkan 237 pasien, namun jatuh jauh dari target yang lebih besar.

Ini dikarenakan Cina mampu mengatasi wabah, sehingga tak banyak pasien untuk dapat dikaji. Selain itu, mereka harus bisa memenuhi standar ilmiah yang kuat untuk menarik kesimpulan tentang apakah obat itu bisa bekerja.

Percobaan di Cina yang pertama kali mencapai hal ini, ada kendali di mana sekelompok pasien yang menerima obat remdesivir dan ada kelompok yang tidak. Kebanyakan studi tidak memiliki kendali.
Gilead bahkan mempublikasikan studi mereka sendiri yang tidak memiliki kelompok pengendali, dan membandingkan orang-orang yang meminum remdesivir selama lima hari dengan yang meminumnya selama 10 hari. Hal itu membuatnya semakin sulit untuk menarik kesimpulan yang lebih luas. (ayobandung)

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar