Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Mempertanyakan Kinerja OJK, Kenapa Tidak Dibubarkan Saja?

Kamis, 30/04/2020 15:22 WIB
Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (istimewa)

Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (istimewa)

Jakarta, law-justice.co - Akhir-akhir ini banyak muncul keluhan di masyarakat terkait dengan adanya lembaga keuangan yang telah membuat nasabahnya menderita. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebut aduan konsumen sepanjang 2019 lalu didominasi produk jasa finansial yang dianggap telah merugikan nasabah. 

Ketua Harian YLKI Tulus Abadi  YLKI  mencatat, 46,9% atau hampir separuh aduan konsumen merupakan sektor keuangan seperti perbankan, asuransi, pinjaman online (pinjol) atau sejenisnya. 

"Pengaduan konsumen produk jasa finansial sangat dominan, yakni 46,9 persen yang meliputi 5 komoditas yakni, bank, uang elektronik, asuransi, leasing, dan pinjaman online," katanya dalam konferensi pers di Kantornya, Jakarta, Selasa (14/1/2020).

Salah satu kasus sektor keuangan yang mendapatkan perhatian luas public adalah skandal yang terjadi di Asabri dan jiwasraya. Belakangan muncul kasus lagi yaitu yang menimpa Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya Cipta. Tiga kasus besar ini menjadi sorotan meskipun belum jelas sejauhmana penanganannya.

Munculnya banyak kasus di sektor keuangan ini sungguh membuat miris kita semua  ditengah pandemic corona. Dengan merebaknya kasus kasus dilembaga keuangan ini, perhatian orang akhirnya tertuju pada satu lembaga yang bernama Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Keberadaan lembaga ini pantas untuk dipelototi  karena lembaga inilah yang dianggap paling bertanggung jawab atas terjadinya banyak kasus disektor keuangan yang merugikan warga negara Indonesia.

Sebenarnya OJK atau Otoritas Jasa Keuangan itu lembaga seperti apa  ?, Mengapa lembaga  ini akhhir akhir ini panen kritik terkait dengan kinerjanya ?.Apakah otoritas jasa keuangan ini masih dianggap punya jasa ? Kedepan sebaiknya bagaimana ?

Mengenal OJK

Pembentukan OJK dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan untuk melakukan penataan kembali lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan di Indonesia. 

Pembentukan OJK merupakan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan UndangUndang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. 

Undang Undang tersebut  mengamanatkan pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang mencakup perbankan, asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura dan perusahaan pembiayaan, serta badan badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat pada umumnya. 

Pembentukan OJk juga didasarkan pada pertimbangan perkembangan industri keuangan yang berjalan cukup pesat ditengah arus  proses globalisasi dan kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi keuangan telah menciptakan industri keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait satu sama lainnya. 

Selain itu pembentukan OJK juga didasarkan pada adanya konglomerasi lembaga jasa keuangan dimana   jasa keuangan besar memiliki beberapa anak perusahaan di bidang keuangan yang berbeda-beda kegiatan usahanya. Misalnya, bank memiliki anak perusahaan dalam bentuk asuransi, perusahaan sekuritas, perusahaan pembiayaan, dan dana pension dan lain lainnya. Konglomerasi lembaga keuangan tersebut mendorong terciptanya kompleksitas kegiatan usaha lembaga jasa keuangan dan komponen pendukungnya

Dengan kompleksita lembaga keuangan tersebut kiranya  permasalahan di industri jasa keuangan yang semakin beragam pula, antara lain meningkatnya pelanggaran di bidang jasa keuangan dan belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, mendorong diperlukannya fungsi edukasi, perlindungan konsumen, dan pembelaan hukumnya. Berdasarkan dasar pemikiran tersebut kiranya perlu dibentuk suatu lembaga yang dapat mengatur dan mengawasi semua lembaga jasa keuangan secara terintegrasi, yaitu OJK.

Keberadaan OJK  telah disahkan melalui UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan disahkannya OJK maka  Indonesia memiliki lembaga independen baru dalam hal pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan . Terbentuknya OJK, membuat kewenangan-kewenangan yang selama ini dimiliki oleh Bank Indonesia (BI) dan Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan (Bapepam-LK)  berpindah kepada OJK. 

Dengan lahirnya OJK maka  BI akan lebih bertanggung jawab dalam menangani masalah makro (macro-prudential supervision) yang fokus pada kestabilan sistem keuangan dengan cara memitigasi risiko sistemik, dan OJK berwenang dalam menangani masalah mikro (micro-prudential supervision) yang fokus pada kesehatan institusi perbankan secara individual. Peran Bapepam-LK terhadap pengaturan dan pengawasan Pasar Modal dan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) juga dialihkan ke OJK. 

Oleh sebab itu, OJK memiliki kekuasaan sangat besar (superbody) seperti diatur dalam UU Nomor 21/2011. OJK mengatur dan mengawasi industri pasar modal dan lembaga keuangan non-bank (LKNB), hasil pengalihan dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK). OJK juga mengawasi secara perorangan melalui perlindungan konsumen. 

Dari sisi sumber daya manusia (SDM), OJK didukung oleh 2.600 karyawan, terdiri atas 1.200 karyawan dari Bank Indonesia (BI), 900 karyawan dari Kementerian Keuangan, ditambah 500 karyawan hasil rekrutmen. Jumlah itu ditambah lagi sekitar 500 karyawan dari proses rekrutmen. Dengan jumlah karyawan sebanyak itu, OJK diharapkan dapat menjalankan fungsi pengaturan dan pengawasan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK yang menjadi payung hukum kelahirannya.

Jika dilihat dari proses kelahirannya, maka proses lahirnya OJK mendapat dukungan sangat besar dari berbagai lembaga keuangan Internasional. Dalam buku Kudeta Putih “Reformasi dan Pelembagaan Kepentingan Asing dalam Ekonomi Indonesia” (Salamuddin Daeng, Syamsul Hadi, PhD, Indonesia Berdikari, 2012), menyebutkan bahwa OJK adalah proyek LoI IMF 1998 - 2003 yang harus dibentuk untuk memenuhi dan memperkuat pasar keuangan.Dengan demikian kehadiran OJK dicurigai akan melapangkan bagi jalannya dominasi modal asing di Indonesia.

Menurut Salamudin Daeng, Peneliti Indonesia for Global Justice, ditinjau dari sisi substansi, OJK lahir mengandung filosofi neoliberal yakni menghilangkan peran dan campur tangan negara dalam perekonomian. OJK menghilangkan control negara dalam sektor keuangan. Negara digantikan dengan lembaga independen, otonom, yang bekerja untuk melakukan liberalisasi pasar keuangan. OJK menjadi perpanjangan tangan institusi keuangan global dalam rangka membuka secara luas pasar keuangan nasional bagi penguasaan asing.

Terlepas dari hal itu, sejak OJK secara resmi mulai bekerja pada 1 Januari 2014 yang lalu, banyak harapan dibebankan kepadanya. Dengan kehadiran lembaga baru di sektor jasa keuangan ini diharapkan jasa keuangan bisa  terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel diperlukan untuk membentuk perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil.

OJK diharapkan  mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Terbentuknya OJK memberikan harapan yang tinggi kepada pemerintah Indonesia, komunitas Industri Jasa Keuangan, dan bahkan masyarakat Indonesia secara umumnya. 

Harapan terhadap OJK harus tertangani secara wajar, yaitu dalam hal kemampuan untuk melakukan eksekusi operasional sesuai dengan tuntutan komunitas, maupun kemampuan untuk menjadi lembaga independen yang mengedepankan praktik terbaik dari good corporate governance dan manajemen risiko sehingga tidak ada reputasi yang terciderai. Sebagai lembaga pengawas independen di Indonesia, OJK saat itu diharapkan mampu membuat sektor jasa keuangan beroperasi lebih baik. 

Panen Kritikan

Harapan seringkali memang tidak sesuai dengan kenyataan. OJK yang kini  sudah berjalan sekitar tujuh tahun  mendapat sorotan publik yang ingin mengkritisinya. Publik ingin mengetahui dan mendapat kepastian bahwa keberadaan OJK benar-benar memberi manfaat alias ada jasanya bagi industri keuangan yang diawasinya. Publik pun ingin memastikan bahwa kehadiran OJK memberi manfaat dan mampu memberi jasa bagi masyarakat luas dan berdampak positif terhadap perekonomian nasional Indonesia.

Pertanyaan publik seputar manfaat OJK itu adalah wajar, mengingat lembaga ini diberi kewenangan yang luas untuk mengatur dan mengawasi industri jasa keuangan. OJK juga memiliki karyawan yang cukup besar untuk menjalankan roda organisasinya. Untuk kegiatan operasionalnya, OJK mendapatkan pendanaan dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) selain diberi kewenangan untuk menarik iuran dari industri keuangan. 

Tetapi apakah harapan kehadiran OJK itu sudah bisa memberikan nilai plus alias mampu memberikan jasa / manfaat bagi sektor industri keuangan yang diawasinya sehingga mampu meningkatkan perekonomian Indonesia ?.

Dari suara suara yang berkembang ternyata masih banyak yang merasa kehadiran lembaga ini kurang mendatangkan manfaat bahkan terkesan memberatkan keuangan negara.  Menurut Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI), Burhanuddin Abdullah keberadaan OJK sebenarnya  bukan sebuah solusi untuk mengatasi krisis keuangan. Keberadaan OJK, justru  memberatkan keuangan negara karena sistem penggajian di Indonesia mengenal honorarium untuk tiap pejabat atau karyawan.Demikian juga dengan pembentukan OJK, ujung ujungnya memerlukan SK dan honorarirum yang tdak sedikit jumlahnya.

Kritik keras dilontarkan Ketua Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) Franciscus Welirang yang menilai keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tidak menjadi lembaga pengawas cross section atau industri yang sekaligus memiliki usaha keuangan bank dan non keuangan bank.

Dia menganalogikan peran lembaga ini punya dua arti yakni seperti kebun binatang dan pemilik sirkus. Terapi, OJK hanya mengawasi kebun binatang saja dalam artinya, kapan binatang butuh makan dan lainnya."Bagaimana bank dengan asuransi, karena kadang transaksi bank perlu asuransi. Bagaimana bank dengan securities atau leasing. Pengawasan sirkus seperti itu yang selama ini belum saya lihat," ungkapnya.

Franciscus Welirang menegaskan keberadaan OJK justru membuat perusahaan ogah untuk melantai di Bursa Efek Indonesia. Hal ini terkait pungutan yang besar dari lembaga tersebut. OJK harus meyakinkan para pengusaha akan manfaat dari pungutan tersebut dan mengeluarkan standar operasional agar pungutan transparan.

"Kondisi rumit, dikhawatirkan akan mempengaruhi performa emiten di lantai bursa. Pada akhirnya, pengembangan pasar modal di Indonesia bisa jadi terancam terhambat," katanya.Dia mengatakan tidak menutup kemungkinan jika industri lebih memilih melantai di Singapura daripada listing di Indonesia.

Kritik juga disampaikan oleh Anggota Komisi XI DPR RI Ahmad Najib Qodratuullah yang mengakui bahwa selama ini kinerja  OJK memang tidak maksimal dan optimal sehingga menyebabkan maraknya investasi bodong.“Hal itu pula yang buat kita seringkali bertanya tanya kenapa pada akhirnya kita mempertanyakan kinerja mereka dalam melaksanakan tupoksi mereka,” ujar Najib sapaannya kepada KedaiPena.Com, Sabtu, (16/11/2019).

Senada dengan Najib, rekan sesama di Senayan, Harry Poernomo mengaku mempertanyakan kinerja lembaga pengawasan keuangan tersebut terkhususnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK).“Memang masih banyak ditemukan kelemahan OJK dalam hal pengawasan induatri jasa keuangan, sementara perkembangan industri jasa keuangan berkembang sangat cepat baik dari aspek teknologi maupun skema bisnisnya,” papar Harry terpisah.

Harry pun mencontohkan kasus-kasus besar yang belum bisa ditangani oleh OJK adalah semacam asuransi Jiwasraya, Asabri  dan Bumiputera.“Sampai kini belum ada penyelesaiannya. Sudah sangat jelas bahwa kasus-kasus tersebut patut diduga penyebabnya adalah salah urus dan lemahnya pengawasan regulator yakni OJK,” pungkasnya.

Munculnya kasus kasus besar seperti Jiwasraya, Asabri dan Bumiputera memang menghasilkan pertanyaan, kemanakah OJK yang seharusnya berperan utama sebagai regulator industri jasa keuangan dalam pencegahan berbagai permasalahan besar ini. Dalam kasus jiwasraya misalnya negara telah dirugikan hingga Rp13,7 triliun. Dimana hal ini disinyalir sebagai peran OJK yang tidak optimal melakukan pengawasannya."Ini dampak dari kelalaian OJK. OJK tidak ada tata kelola yang baik," ujar Pengamat Asuransi Irvan Rahardjo sebagaimana dikutip  Okezone, Rabu (22/1/2020).

Seyogyanya ketika kondisi  keuangan Jiwasraya sedang buruk, OJK sudah melakukan penghentian program saving plan atau bahkan program saving plan tersebut tidak seharusnya diberi izin. Hal ini mengingat Jiwasraya yang diduga melakukan manipulasi laporan keuangan. Karena itu bisa dikatakan OJK telah gagal dalam melakukan pengawasan di industri asuransi. Sebagai bukti, literasi asuransi tidak mengalami perbaikan.

Selain itu, kasus Jiwasraya yang sebenarnya telah berlangsung lama juga merupakan bukti tidak adanya integritas yang dimiliki OJK dalam melakukan pengawasan. "Tidak ada integritas dalam melakukan pengawasan. Buntutnya muncul persoalan di industri asuransi," kata Irvan Rahardjo.

Kritik pedas juga disampaikan oleh Ekonom Faisal Basri.Dalam unggahan berjudul "Skandal Jiwasraya dan Asabri: Negara Abai Melindungi Rakyat", Faisal mengingatkan kasus Jiwasraya dan Asabri sebenarnya sudah lama muncul.

Sebagai lembaga yang diatur undang-undang untuk memberikan izin operasi perusahaan asuransi, OJK yang mengizinkan berbagai produk asuransi."OJK juga yang diberikan tugas mengawasi perusahaan asuransi. OJK membuat aturan. Jika terjadi pelanggaran, OJK-lah yang menyidik, menuntut, dan mengenakan sanksi," ujarnya sebagaimana dikutip cnn. Indonesia 14/01/2020.

Kiranya deretan kritik terhadap OJK bisa bertambang panjang jika dikaitkan dengan kinerjanya yang terkesan memble dalam mengawasi mengawasi keberadaan investasi-investasi bodong yang menjamur di Indonesia. Belum adanya lembaga lembaga keuangan seperti LKM (lembaga keuangan mikro) palsu yang juga banyak tersebar dan merugikan nasabahnya.

Selain kinerjanya yang dianggap kurang optimal, OJK juga dibayang bayangi penyelewengan internal karena kewenangannya yang sangat besar (supebody) dan jumlah alokasi anggaran yang besar pula. Dalam hal ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pernah mengungkapkan empat temuan yang memuat 9 permasalahan terkait perencanaan dan penggunaan penerimaan pungutan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 

Beberapa permasalahan bahkan dinilai perlu mendapat perhatian antara lain keputusan Dewan Komisioner OJK menyewa gedung Wisma Mulia 1 dan 2, tetapi kemudian hanya memanfaatkan sebagian gedung Wisma Mulia 2 mengakibatkan pengeluaran uang untuk sewa gedung 1 dan sebagian gedung Wisma Mulia 2 menjadi tidak bermanfaat sebagaimana dikutip cnn. Indonesia 29/05/2020.

Padahal,  Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK mengamanatkan OJK untuk menerima, mengelola, serta mengadministrasikan pungutan secara akuntabel dan mandiri.Apalagi, pungutan merupakan satu-satunya sumber anggaran OJK sejak 2016 lalu yang digunakan untuk membiayai kegiatan operasional, administratif, pengadaan aset, dan kegiatan pendukung lainnya.

Dalam hal ini OJK  dituntut transparan mengingat lembaga ini menggunakan dana yang dipungut dari industri jasa keuangan. Tuntutan agar OJK bersikap adil kepada semua pelaku industri jasa keuangan telah disuarakan berulang kali oleh Asosiasi Emiten Indonesia (AEI). Alasannya, tidak semua emiten bergerak di industri keuangan sehingga pungutan tersebut semestinya tidak dibebankan kepada emiten non keuangan. 

Pertimbangannya, adanya klausul yang menyatakan sisa anggaran disetor ke kas negara bisa menimbulkan moral hazard untuk tidak melakukan penghematan. OJK bisa cenderung menghabiskan anggaran ketimbang menyetor ke kas negara. Padahal, pungutan sektor jasa keuangan untuk membantu anggaran OJK itu dipastikan akan dibebankan pada konsumen.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), lembaga ini memang diberikan kewenangan untuk melakukan pemungutan dimana -dana pungutan tersebut akan digunakan untuk menggaji pejabat, dan pegawai OJK.

Disinilah dikhawatirkan keberadaan OJK justru menjadi parasit dalam ekonomi karena  memiliki potensi merugikan nasabah industri keuangan melalui pemerasan sistematis dan masif terhadap ekonomi nasional dan keuangan rakyat.

Pernah Digugat

Ternyata OJK bukan hanya panen kritikan saja. Lembaga ini  pernah pula digugat keberadaannya karena dianggap hanya sebagai parasite bagi ekonomi bangsa. Adalah Tim Pembela Kedaulatan Ekonomi Bangsa yang mendaftarkan gugatan terhadap Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK). 

Saat itu salah satu anggota tim, Salamuddin Daeng mengatakan, pasal yang mereka gugat yakni, Pasal 1 angka 1 UU OJK. Alasannya, mereka merasa kata independensi tidak memiliki cantolan hukum, termasuk pada Pasal 33 Undang -Undang Dasar (UUD) 1945.

Dalam pasal 33 ayat 1 UUD 1945 jelas berbunyi Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan. Bahkan pada ayat 4 pasal yang sama dinyatakan perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional."Kata independen tidak menemukan induknya," ujar Salamuddin Daeng, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (27/2) sebagaimana dikutip Riau.com

Jika merujuk pasal 23 D UUD 1945 pun, yang dimungkinkan memiliki independensi hanyalah Bank Sentral yakni Bank Indonesia. Namun, entitas OJK bukan turunan dan/atau lembaga operasional dari fungsi dan tugas bank sentral.Selain itu, keberadaan OJK juga dianggap akan menimbulkan banyak masalah bagi negeri ini. 

Mengingat penumpukan kewenangan dalam satu tangan atau badan seperti pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan jasa keuangan lainnya, sehingga dapat menimbulkan moral hazard."Kewenangan yang dimiliki OJK sangat powerfull. Tapi ga punya lembaga pengawas sehingga ini berpotensi jadi sindikat bidang keuangan," ucapnya.

OJK, kata dia juga cenderung menjauhkan peran negara dan memperbesar peran pasar keuangan. "Akibatnya, kepentingan publik untuk adanya stabilitas keuangan, penurunan, kejahatan keuangan dan perlindungan konsumen akan lebih sulit dicapai," ungkapnya.Dalam surat pendaftaran Nomor 1146-1/PAN.MK 11/2014, pemohon gugatan tersebut terdiri dari Salamuddin Daeng, Ahmad Suryono, dan Ahmad Irwandi Lubis.

Namun gugatan yang dilayangkan oleh Tim Pembela Kedaulatan Ekonomi Bangsa ini kandas ditengah jalan. Pasalnya Mahkamah Konstitusi (MK)  menolak gugatan Tim Pembela Ekonomi Bangsa yang meminta agar OJK dibubarkan. 

Majelis Hakim MK yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat menolak semua gugatan pemohon atas beberapa pasal di UU OJK yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945."Dalam provisi menyatakan permohonan provisi atau pengajuan pemohon tidak dapat diterima," ujar Ketua MK Arief Hidayat di ruang sidang Gedung MK, Jakarta, Selasa (4/8/2015).

Menurut Hakim, pembentukan OJK sebagai pengawas sektor perekonomian dengan tujuan untuk menjaga kestabilan dan pertumbuhan ekonomi merupakan kebijakan hukum terbuka. Untuk itu, pembentukan OJK yang didasarkan pada pasal 33 UUD 1945 dinilai sudah tepat sebagai dasar hukum kewenangan pembentukan OJK.

1.1 Frasa "dan bebas dari campur tangan pihak lain" yang mengikuti kata "independen" dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

1.2 Frasa "dan bebas dari campur tangan pihak lain" yang mengikuti kata "independen" dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;

1.3 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011, Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253) selengkapnya menjadi "Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini".

Proyeksi Ke Depan

Meskipun lahir dari amanat UU BI namun OJK memiliki kedudukan yang independen sama dengan BI. OJK mengambil alih tugas BI dalam bidang pengawasan perbankkan, non bank dan pasar modal. Sementara BI hanya memiliki keweangan dalam urusan moneter. Jika melihat kedudukan,tugas, fungsi OJK dalam sektor keuangan sebagaimana dalam UU No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, maka dapat dikatakan bahwa kedudukan OJK dari sisi kewenangan OJK jauh lebih luas dari BI.

Lembaga ini memiliki hak membuat regulasi, memberikan sanksi, dan menentukan anggaran mereka sendiri. Kekuasaan tersebut berpotensi menjadikan OJK sebagai sindikat keuangan baru yang mengeruk dana rakyat untuk kepentingan memperbesar kekuasaanya sendiri.

Dikhawatirkan adanya pemisahan tugas moneter (ditangan BI) dengan pengawasan perbankkan di tangan OJK bisa  menyebabkan tidak terintegrasinya sistem keuangan yang berdampak pada stabilitas keuangan negara.Sementara sumber pembiayaan OJK dari pungutan akan membebani sektor perbankkan, non bank asuransi, yang pada akhirnya beban-beban tersebut akan jatuh ke tangan rakyat.

Setelah tujuh tahun beroperasi OJK di Indonesia sepertinya lembaga ini tidak boleh seenaknya berkeliaran begitu saja tanpa pengawasan optimal dari pihak pihak terkait atau yang berwenang mengawasinya. Karena karena kalau dibiarkan maka potensi abuse of powernya akan semakin merajalela.

Dengan mempertimbangkan kondisi sebagaimana dikemukakan diatas maka nasib OJK harus jelas mau dibawah kemana lembaga pengawas dan pengatur industri keuangan ini. Beberapa alternative antara lain :

  1. Saya sangat setuju munculnya wacana untuk membubarkan OJK. Berkaca pada kasus –kasus yang tejadi belakangan ini mulai skandal Jiwasraya hingga Asabri,Taspen dan yang lain lainnya dimana peran pengawasan dari OJK tidak berasa. Sektor asuransi mandek dimana  kinerja sektor asuransi  cenderung stagnan dan hanya berkontribusi sekitar 2,3% saja dari Produk Domestik Bruto (PDB). Belum lagi keluhan keluhan dari lingkungan industry LKM yang banyak menipu nasabahnya seolah olah tanpa peran pengawasan dari OJK. Sejak awal keberadaan lembaga ini memang patut dicurigai karena lahirnya  OJK adalah proyek LoI IMF 1998 - 2003 yang harus dibentuk untuk memenuhi dan memperkuat pasar keuangan.Sehingga  kehadiran OJK dicurigai hanya untuk melapangkan jalannya dominasi modal asing di Indonesia.Kalau OJK dibubarkan maka fungsi pengawasan oleh OJK bisa dikembalikan ke Bank Indonesia (BI) dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bappepam LK).
  2. Jika OJK dengan berbagai alasan tidak ingin dan tidak bisa dibubarkan maka sekurang kurangnya lembaga ini harus diawasi. Kiranya perlu dibentuk Dewan Pengawas Otoritas Jasa Keuangan (Dewas OJK), dimana wakil pemerintah juga ada di sana, guna memonitor kinerja OJK dalam mengawasi industri sektor jasa keuangan. Karena pada prinsipnya  tidak boleh ada lembaga yang tidak diawasi. Supaya terjadi check and balances, bisa berjalan sebagaimana mestinya. Pengawasan terhadap OJK sangat penting agar kedepannya tak ada lagi asuransi ataupun industri jasa keuangan yang bisa "nakal" lantaran lemahnya kinerja OJK-nya. Jangan sampai karena lemahnya OJK rakyat yang menjadi korbannya. Selain itu untuk melindungi dana nasabah diberbagai lembaga keuangan khususnya skala mikro agar dibentuk Lembaga Penjamin Polis Asuransi seperti halnya Lembaga Penjaminan Simpanan untuk industri Perbankan sebagaimana diperintahkan UU No 40 tahun 2014. Anehnya sampai sekarang  lembaga penjaminan polis asuransi tersebut belum juga terbentuk. Pada hal pembentukan lembaga semacam itu sangat penting guna melindungi dana masyarakat pemegang polis.
  3. Sehubungan dengan jebloknya kinerja OJK dalam menjalankan fungsi pengawasan, kami mengharapkan rekan rekan anggota DPR yang ada di komisi XI untuk memeriksa dan meninjau ulang anggaran yang diajukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebesar Rp6,06 triliun untuk tahun depan. Sebab, di tengah menurunnya kualitas pengawasan ke industri, OJK dinilai perlu fokus untuk melakukan pembenahan. Perlu dicek dahulu posting penggunaan anggaran baik jenis pengunaan maupun besarnya anggaran. Sehingga menjadi transparan penggunaan anggarannya. Dana sebesar itu akan digunakan untuk keperluan apa dan oleh siapa supaya jelas pertanggunggjawabannya.

 

 

(Editor\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar