Ketika Indonesia Dihantui Krisis Pangan Dunia

Kamis, 16/04/2020 11:56 WIB
Sejumlah pekerja memanen padi di area persawahan Desa Hutabohu, Kabupaten Gorontalo, Gorontalo, Selasa (24/3/2020). Harga beras jenis Situ Bagendit naik dari Rp 9 ribu per kg menjadi Rp10 ribu di tingkat petani akibat gagal panen di sejumlah wilayah karena musim kemarau yang melanda hingga bulan Februari lalu.  (Antara)

Sejumlah pekerja memanen padi di area persawahan Desa Hutabohu, Kabupaten Gorontalo, Gorontalo, Selasa (24/3/2020). Harga beras jenis Situ Bagendit naik dari Rp 9 ribu per kg menjadi Rp10 ribu di tingkat petani akibat gagal panen di sejumlah wilayah karena musim kemarau yang melanda hingga bulan Februari lalu. (Antara)

Jakarta, law-justice.co - Pandemi Corona telah memukul industri penerbangan, pasar saham, sampai harga minyak akibat penurunan aktivitas ekonomi dunia. Kini mengancam ketahanan pangan global. Indonesia tak kalis darinya. Beras, daging kerbau atau sapi, dan gula berpotensi langka jika pemerintah tak melakukan langkah taktis.

Akhir bulan lalu, Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) menyatakan bahwa krisis pangan dunia berpotensi terjadi pada April dan Mei karena rantai pasokan terganggu kebijakan negara-negara dalam menekan penyebaran virus corona. Misalnya, pemberlakuan karantina wilayah atau lockdown, pembatasan sosial, dan larangan perjalanan.

Lockdown dan pembatasan sosial, menurut FAO, sangat memengaruhi sektor pertanian. Khususnya di komoditas bernilai tinggi, seperti sayuran dan buah-buahan yang membutuhkan banyak tenaga kerja dalam produksinya.

Sementara komoditas bahan pokok yang padat modal relatif tak terpengaruh. Begitupun sektor peternakan terpengaruh dalam hal pemenuhan pakan hewan ternak, proses penjagalan, serta pengolahan daging.

Italia, seperti dilansir World Economic Forum, terancam tak bisa memaksimalkan masa panen Mei mendatang karena kehilangan 200 ribu pekerja akibat lockdown. Pekerja mesti digilir dengan jam kerja terbatas. Sementara masa panen membutuhkan tenaga berjumlah besar dengan jam kerja panjang.

Di Amerika Serikat, menurut analis Rabobank Christine McCracken seperti dilansir Bloomberg, perusahaan pengolahan daging telah mengalami penurunan produksi 20-30 %. Pekerja di sana terpaksa tinggal di rumah sesuai kebijakan pembatasan sosial yang berlaku.

Lalu, larangan perjalanan menurut FAO berdampak kepada distribusi pangan. Kebijakan ini membatasai operasional pelabuhan, truk pengangkut, sampai penerbangan yang berperan penting dalam mendistribusikan pangan lintas wilayah dan negara.

Hans Muylaert-Gelein, Direktur Manajerial Fruits Limited, sebuah perusahaan ekspor buah dan sayuran di Afrika Selatan dengan tujuan utama ke Inggris, menyatakan perusahaannya terkendala mengirim produk karena pesawat yang beroperasi sedikit. Sementara pesawat yang tetap beroperasi menetapkan tarif selangit.

Kebijakan larangan perjalanan juga mengganggu ketersediaan pekerja migran musiman bagi negara dalam melaksanakan masa petik tanaman. Misalnya Spanyol yang bulan ini akan memasuki musim panen.

Melansir World Economic Forum, semestinya 16 ribu buruh tani musiman dari Maroko telah tiba di Spanyol. Namun hal itu tak terjadi lantaran Maroko melarang penduduknya ke luar negeri.

Padahal, menurut data Eurostat pada 2017, Spanyol adalah produsen dan pemasok buah terbesar di Eropa dengan 40,1 % kapasitas produksi. Negara ini juga produsen sayuran terbesar kedua di Eropa dengan 17,3 % kapasitas produksi, di bawah Italia yang memiliki kapasitas produksi sebesar 17,8 %. Maka, kendala panen di Spanyol sangat mungkin berimbas kepada produksi buah dan sayur Eropa.

Belum lagi ditambah kebijakan negara-negara pengirim pangan menghentikan ekspor. Vietnam dan Kazakhstan adalah dua negara yang telah mensetop komoditasnya lari ke luar negeri. Melansir Reuters, Vietnam memutuskan untuk menunda perjanjian ekspor beras guna memenuhi cadangan dalam negerinya.

Kementerian Keuangan Vietnam dalam keterangan resminya hendak mencadangkan 270.000 ton beras dan 80.000 ton gabah untuk memenuhi kebutuhan pangan warganya selama pandemi corona. “Ketahanan pangan dalam negeri harus menjadi prioritas utama,” kata Kementerian Keuangan Vietnam.

Sementara itu, Kazakhstan menunda sementara ekspor komoditi penting sejak 22 Maret lalu sampai waktu yang belum ditentukan. Salah satu komoditi yang dipangkas adalah daging dan gandum.

Meskipun bukan pemain ekspor utama dunia, tapi pasokan Kazakhstan penting bagi negara di Kawasan Asia Tengah. Uzbekistan dan Tajikistan, misalnya, menggantungkan 95 % kebutuhan gandumnya kepada Kazakhstan.

Chief Economist FAO, Maximo Torero Cullen dalam laporannya berjudul Coronavirus Food Supply Chain Under Strain, What to Do? yang terbit di situs resmi FAO pada 24 Maret, melihat masalah lain dalam rantai pasokan makanan adalah nilai tukar mata uang. Menurutnya, bagi negara dengan nilai tukar mata uang rendah dan berstatus importir akan semakin sulit mengakses pangan.

Dalam laporan selanjutnya yang terbit pada 29 Maret, Cullen menyatakan krisis pangan saat ini akan sangat berdampak kepada negara dengan ketahanan pangan domestik paling lemah.

Seperti negara-negara yang telah memiliki masalah kelaparan dan tak bisa memproduksi pangan di dalam negeri. Oleh karena itu, ia menyarankan kerja sama lintas negara dunia dalam mengamankan pasokan pangan. Bukan justru membatasi ekspor.

Panic Buying dan Daya Beli Menambah Masalah

Senior Economist FAO, Abdolreza Abbassian kepada Reuters pada 21 Maret menyatakan, panic buying adalah masalah lain yang memengaruhi kelangkaan pangan di lapangan sementara rantai pasokan terganggu.

“Ini bukan masalah pasokan, tapi perubahan kebiasaan dalam memenuhi pangan. Bagaimana jika banyak pembeli berpikir tak bisa mendapatkan pangan pada Mei atau Juni? Itulah yang akan membuat krisis pangan,” kata dia.

Merujuk data Nielsen, penduduk Inggris mulai melakukan panic buying dan menimbun makanan sejak Februari. Beberapa jenis makanan pun hilang di tingkat retail seperti pasta, daging kaleng susu UHT dan sup kaleng.

Data Nielsen mencatat penjualan pasta dan daging kaleng meningkat 60 %, susu UHT melonjak lebih dari 80 %, dan sup kaleng meningkat 65 % dibandingkan tahun sebelumnya di bulan yang sama.

Selain itu, Abdolreza menyatakan tingginya angka pengangguran menjadi masalah di hilir. Daya beli makanan akan menurun dan bisa semakin memperburuk gangguan rantai pasok. Ketika banyak makanan tak terbeli, penghasilan di tingkat hulu menurun. Sementara biaya produksi sudah semakin tinggi. Industri pangan akan terancam.

Organisasi Buruh PBB (ILO) dalam laporan mutakhirnya menyatakan penurunan PDB global sebesar 2-8 % berpeluang menciptakan 5,3 - 24,7 juta pengangguran di seluruh dunia. Ini menyebabkan potensi kehilangan pendapatan di tingkat pekerja sebesar US$ 860 juta sampai US$ 3,44 miliar.

Di Indonesia, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat 1,5 juta orang telah kehilangan pekerjaan akibat Corona. Sebanyak 10,6 % di antaranya atau sekitar 160 ribu orang kehilangan pekerjaan karena PHK, sedangkan 89,4 % lainnya dirumahkan.

Rinciannya, 160.067 pekerja terkena PHK dari 24.225 perusahaan. Sedangkan yang dirumahkan sebanyak 1.080.765 pekerja dari 27.340 perusahaan. Sementara di sektor informal yang dirumahkan sebanyak 265.881 pekerja dari 30.466 perusahaan.

Di dalam negeri, penurunan daya beli sudah mulai dirasakan pengusaha makanan dan minuman. Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Rachmat Hidayat menyatakan, hasil survei persepsi kepada 450 anggota GAPMMI menyatakan terjadi penurunan bisnis sebesar 30 - 40 %.

“Misalkan produk makanan kemasan menurun karena kurangnya konsumsi. Karena konsumen makanan dan minuman itu paling banyak kalangan bawah,” kata Rachmat, kemarin (14/4).

Akibat penurunan daya beli ini, kata Rachmat, industri makanan dan minuman terancam kehilangan triliunan rupiah.

Indonesia dalam Bahaya Ketahanan Pangan

Menyikapi peringatan FAO, Presiden Jokowi meminta para menteri menjaga ketersediaan bahan pokok di dalam negeri di tengah pandemi Corona. Secara khusus ia meminta Mendagri Tito Karnavian mengingatkan kepala daerah untuk menjaga ketersediaan bahan pokok. Ia tak ingin terjadi kelangkaan sehingga harga pangan melonjak.

“Mungkin panen yang ini baik, tapi panen pada penanaman bulan Agustus dan September nanti harus dilihat secara detail, sehingga tidak mengganggu produksi rantai pasok maupun distribusi dari bahan pangan yang ada,” kata Jokowi.

Kekhawatiran Jokowi tak berlebihan. Indonesia termasuk di dalam mata rantai pasokan pangan global. Indonesia menjadi importir pangan untuk sejumlah komoditi.

Salah tiganya adalah beras, gula, dan daging. Ketiganya kini sedang terancam kelangkaan karena produksi dalam negeri tak memadai dan impor terganggu kebijakan penekanan pandemi corona negara lain.

Panen masa tanam pertama (MT1) pada April ini diperkirakan tak mendapat hasil maksimal. Penyebabnya keterlambatan musim tanam karena iklim cuaca yang kurang mendukung serta meningkatnya gangguan hama, seperti tikus.

“Diperkirakan produksi gabah turun hingga 50 %,” kata Direktur Utama PT Perkebunan Nusantaran (PTPN) VIII Wahyu melalui siaran pers yang diterima 3 April lalu.

Berdasarkan pantauan Wahyu di lapangan, produksi petani pun turun dari 5 – 6 ton per hektare menjadi 3 – 3,5 ton per hektare. Ia pun menyatakan kenaikan harga beras terjadi lantaran ketidakseimbangan pasokan dan permintaan.

Kemungkinan karena efek panic buying selama penyebaran virus corona. Harga beras medium di Kawasan Lembang Jawa Barat, misalnya, menyentuh Rp 12 ribu per kilogram. “Melampaui harga ketetapan pemerintah di kisaran Rp 8.500,” kata Wahyu.

Pengamat pangan Khudori menyatakan pemerintah perlu memastikan ketersediaan beras untuk setidaknya enam bulan ke depan di luar impor. Sebab Vietnam, sebagai negara asal beras impor Indonesia telah membatasi ekspornya. Sementara Thailand menaikkan harga berasnya nyaris 100 %.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, pada 2018 Indoensia mengimpor 767,2 ribu ton beras dari Vietnam. Menjadikan Vietnam sebagai pengekspor beras terbesar kedua ke negeri ini setelah Thailand yang mengekspor 795,6 ribu ton. Di tahun itu, total impor beras Indonesia sebanyak 2,2 juta ton dari seluruh negara asal atau senilai US$ 1.037.128,4.

“Susah mencari negara pengekspor lain di tengah pembatasan Corona,” kata Khudori kemarin (15/4).

Ancaman terhadap stok beras, kata Khudori, juga datang dari kemungkinan penyebaran corona di desa, tempat panen berlangsung. Mengingat, saat ini seluruh provinsi telah terdampak virus ini.

Begitupun tak ada larangan mudik dari pemerintah yang berpeluang membawa Covid-19 dari penduduk kota ke desa. Jika banyak yang tertular di kampung, proses panen bisa terganggu.

“Bukan soal jumlah yang positif, tapi kepanikannya. Orang bisa takut keluar rumah. Terus siapa yang manen?”, katanya.

Khudori juga menyoroti gula yang harganya sudah sangat tinggi akibat langka di pasar. Hal itu lantaran pemerintah tak memprediksi kemungkinan anjloknya stok gula saat kondisi masih normal. Semestinya, pemerintah telah menghitung kemungkinan terburuk dengan menambah stok dalam hitungan impor.

Namun, yang terjadi adalah izin impor baru terbit awal Maret sejak diajukan pada 2019 lalu. Padahal, untuk memenuhi konsumsi dalam negeri, sepertiga pasokan gula dari impor. “Kisaran konsumsi per bulan 3,7 juta ton,” ujarnya.

Pernyataan Khudori selaras dengan fakta lapangan dan pendapat Kemenperin soal kelangkaan. Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) kenaikan harga gula terjadi di sejumlah provinsi. Di DKI Jakarta harga naik menjadi Rp 19.200 per kilogram, di Banten Rp 19.050, Jawa Timur Rp 18.700, dan Jawa Barat Rp 17.450.

Harga lebih tinggi terdapat di porvinsi luar Jawa. Maluku mencapai Rp 20 ribu per kilogram dan Kalimantan Tengah Rp 21 ribu. Seluruh kenaikan harga itu jauh dari harga eceran pokok yang telah ditetapkan pemerintah, yakni Rp 12.500 per kilogram.

Kementerian Perindustrian menyatakan, kondisi ini terpengaruh kelangkaan di lapangan. Terjadi pembatasan pembelian di tingkat eceran. Untuk membeli lebih dari tiga kilogram harus ke distributor.

Begitupun karena biaya produksi sudah tinggi akibat bahan baku gula rafinasi mengalami kenaikan dari Rp 9.000 menjadi Rp 11.000 per kilogram.

“Operasional industri kecil jadi terganggu,” kata Direktur Jenderal Industri Kecil Menengah dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian kepada wartawan, Minggu (12/4).

Komoditi lain yang dikhawatirkan mengalami kelangkaan, adalah daging kerbau dan sapi. Menurut Khudori, produksi keduanya di tingkat domestik masih sangat kecil, sehingga sangat rawan hilang dari pasar dengan kondisi rantai pasokan pangan global saat ini yang tak menentu. Impor daging sapi dan kerbau masih 30 – 35 %.

Berdasarkan hasil survei konsumsi bahan pokok (VKBP) 2017 dan survei sosial ekonomi nasional (Susesnas) BPS 2019, ketersediaan daging sapi/kerbau dari produksi nasional sampai Mei tahun ini 165,4 ribu ton.

Sedangkan konsumsi daging sapi/kerbau nasional 2,66 kilogram per kapita per tahun. Perkiraan kebutuhan konsumsinya sampai Mei 2020 mencapai 302,3 ribu ton. Maka, untuk mencukupinya masih dibutuhkan stok sebanyak 103 ribu ton dari impor.

Pemerintah telah mengagendakan impor daging kerbau 25 ribu ton dari India pada bulan ini dan menargetkan mengimpor sebanyak 100 ribu ton sepanjang 2020. Namun, impor bulan ini terkendala dengan kebijakan lockdown corona di India. Sementara, stok daging kerbau di Bulog saat ini hanya 113.2 ton.

Selama ini, untuk pemenuhan kebutuhan daging sapi, pemerintah mengandalkan impor dari sejumlah negara. Namun menurut data BPS pada 2018 yang terbanyak dari Australia, yakni 100.6237,8 kg. Sementara, melansir CNN, Australia kini tengah terkendala dalam melakukan ekspor akibat biaya logistik yang tinggi imbas Corona.

Hal ini bisa berimbas kepada kemampuan Indonesia dalam mengimpor daging sapi. Sebab dalam kondisi normal pada 2018, Indonesia mengeluarkan US$ 321.858,4 dan terancam membengkak dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar saat ini. Sedangkan, pemerintah masih butuh untuk memenuhi penanganan Corona di dalam negeri yang memakan uang tak sedikit.

Kementan dan Bulog Masih Optimis Pangan Tercukupi

Akan tetapi tak seperti Presiden Jokowi yang khawatir, lembaga di bawahnya masih optimistis pangan terjaga. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menjamin stok pangan dalam negeri saat ini surplus meskipun terjadi keterlambatan impor.

“Tantangan yang akan dihadapi adalah krisis pangan sesudah Covid-19. Oleh karena itu kami akan bekerja,” kata Syahrul di kantornya, kemarin (14/4).

Pernyataan Syahrul tak diperkuat laporan stok pangan dari provinsi. Misalnya Dinas PKH Jawa Barat melaporkan di wilayahnya terjadi defisit daging sapi untuk kebutuhan yang mencapai 88.012 ton.

Meskipun begitu, Kementan telah melakukan tindakan untuk menyelamatkan petani. Caranya dengan merelaksasi KUR sektor pertanian mulai 1 April lalu. Kementan pun bekerja sama dengan Grab untuk melakukan distribusi pangan selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Indonesia memang tak menerapkan larangan distribusi pangan selama pandemi corona, sebab tak ada kebijakan lockdown. Sementara kebijakan PSBB di sejumlah daerah tetap memperbolehkan distribusi pangan dan pekerjaan di bidang pangan. Khudori menyebut hal ini salah satu celah untuk tetap menjaga produksi pangan domestik.

Dari sisi Bulog, Sekretaris Perusahaan Perum Bulog Awaludin Iqbal menyatakan stok beras akan aman sampai Juli. Hal ini karena pihaknya masih memiliki stok 1,4 juta ton dan masih banyak beras tersebar di swasta dan petani.

“Di daerah kami masih melakukan pembelian. Dengan masa panen di April-Juni, akan cukup,” kata Iqbal kepada Katadata.co.id, kemarin (14/4).

Iqbal pun menyebut perkiraan hasil panen setiap bulan mencapai 3,2 juta ton. Angka tersebut menurutnya mencukupi kebutuhan bulanan nasional yang berada di kisaran 2,5-3 juta ton. “Dalam 1-3 bulan harga beras stabil,” kata dia.

Untuk daging kerbau, Iqbal menyatakan proses impor dari India masih tetap berlangsung dan akan segera datang. India menjadwalkan menyudahi lockdown pada pekan ini dan menurut Iqbal proses untuk sampai ke Indonesia tak lama. Hanya 2-3 minggu.

“Aman. Kalau lainnya seperti kecap itu kan selera. Tapi bahan pokoknya sudah aman,” ujarnya.

Direktur Bulog, Budi Waseso pada 9 April lalu dalam rapat virtual dengan Komisi IV DPR menyatakan surat perizinan impor (SPI) telah dikantongi untuk 50 ribu ton GKP.

Ia pun menuturkan 29 ribu ton gula kristal mentah yang diimpor anak usaha Bulog, PT Gendhis Manis, telah sampai di Jawa Tengah. Sehingga produksi pemenuhan gula bisa segera dilakukan. (Katadata.co.id)

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar