Cerita Gubernur BI, Dahsyatnya Dampak Virus Corona Hantam Ekonomi Global

Senin, 06/04/2020 17:42 WIB
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberi keterangan pers (Doc. BI)

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberi keterangan pers (Doc. BI)

[INTRO]

Pandemi virus corona (Covid-19) terjadi sangat cepat di seluruh dunia. Kondisi ini disebut membuat kepanikan di pasar keuangan global. Demikian disampaikan Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, dalam rapat virtual dengan Komisi XI DPR.

Dalam rapat tersebut, Perry menceritakan bagaimana dahsyatnya dampak dari penyebaran virus corona terhadap ekonomi global, termasuk juga Indonesia. Menurutnya resesi ekonomi dunia sudah di depan mata.

"Pandemi Covid-19 merebak sangat cepat di seluruh dunia, dan menyebabkan kepanikan di pasar keuangan global dan resesi ekonomi dunia pada 2020 ini. Penyebaran sangat cepat terjadi di AS, Spanyol, Italia, Jerman, dan Perancis dengan jumlah kasus yang telah jauh lebih besar daripada di Tiongkok," kata Perry, Senin (6/4/2020).

Soal dampak ekonomi, Perry menceritakan, Covid-19 membuat aktivitas ekonomi lumpuh, akhirnya pengangguran meningkat, dan daya beli masyarakat turun drastis.

"Meskipun otoritas di hampir seluruh negara mengeluarkan stimulus fiskal dan bank-bank sentral melakukan penurunan suku bunga dan injeksi likuiditas dalam jumlah besar, tetap saja resesi ekonomi dunia tidak dapat dihindari," papar Perry.

Soal resesi dunia, Perry menceritakan, lembaga moneter internasional (IMF) sudah memperingatkan kondisi tersebut akan terjadi. Resesi akan sangat berat dan memukul ekonomi negara-negara maju, termasuk Amerika Serikat (AS), Eropa, dan Inggris. Negara emerging market seperti Rusia, Brasil, Meksiko, dan Singapura juga akan menghadapi resesi.

"Sementara itu, Indonesia, Tiongkok, dan India termasuk hanya beberapa negara dalam kelompok G20 yang diperkirakan masih tumbuh positif pada tahun 2020 ini. Namun demikian, resesi ekonomi global ini diperkirakan akan short-lived pada tahun 2020 ini sesuai dengan pola V-shape perkiraan dampak dari pandemi Covid-19. Pada tahun 2021, ekonomi global akan meningkat dan semua negara diperkirakan akan tumbuh lebih tinggi," papar Perry.

Kepanikan yang melanda investor keuangan global membuat dana-dana asing dari sejumlah negara, termasuk Indonesia.

Perry mengisahkan, ketidakpastian di pasar keuangan global sangat tinggi, seperti tercermin dari melonjaknya indikator VIX dari 18,8 menjadi 82,7 sebelum turun ke 50,9 setelah stimulus fiskal lebih dari US$ 2 triliun oleh pemerintah AS, serta penurunan suku bunga sebesar 100 bps dan injeksi likuiditas yang besar oleh the Fed.

"Akibatnya, para investor global melepas aset-aset investasinya dari seluruh dunia termasuk dari Indonesia, apakah obligasi, saham ataupun emas, dan menukarkannya ke simpanan tunai dalam mata uang dolar AS. Harga saham dunia anjlok, yield obligasi meningkat, dan harga emas juga sempat turun, sementara mata uang dolar AS semakin menguat dan nilai tukar berbagai mata uang negara lain melemah," tuturnya.

Sementara kondisi anjloknya harga minyak dunia makin memperburuk kondisi pasar keuangan global.

Di Indonesia, keluarnya dana asing menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tertekan. Dalam data BI, Aliran investasi portofolio total yang masuk sebesar Rp 22,9 triliun dalam periode 1-19 Januari 2020 kemudian keluar dalam jumlah yang besar sejak merebaknya pandemi Covid-19, yaitu Rp 171,6 triliun secara neto dalam periode 20 Januari hingga 1 April 2020.

Sebagian besar dana asing keluar dari instrumen surat berharga negara (SBN) Rp 157,4 triliun dan dari saham Rp 13,3 triliun. Dana asing keluar terbesar pada minggu kedua dan ketiga Maret 2020, pemicunya adalah cepatnya penyebaran Covid-19 di AS dan Eropa.

"Pada saat yang sama, dolar AS menguat tajam dan terjadi keketatan pasokan dolar AS di pasar global. Akibatnya, nilai tukar rupiah tertekan sehingga mengalami depresiasi sebesar 12,03% (point-to-point) atau 9,30% secara rerata dalam bulan Maret dibandingkan Februari 2020," jelas Perry.

BI telah melakukan intervensi dalam jumlah besar untuk stabilisasi nilai tukar rupiah, baik secara spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), maupun dengan pembelian SBN dari pasar sekunder. Rupiah berangsur-angsur stabil dan diperdagangkan di sekitar Rp16.400 per dolar sejak Minggu IV Maret 2020.

(Ricardo Ronald\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar