Amnesty dan Kontras Sayangkan Penetapan Tersangka Wartawan Antara

Sabtu, 22/02/2020 22:01 WIB
Ilustrasi kriminalisasi (Foto: Tribun)

Ilustrasi kriminalisasi (Foto: Tribun)

law-justice.co - Amnesty International Indonesia dan Kontras membuat pernyataan bersama, mendesak Polres Aceh Barat untuk membebaskan seorang wartawan LKBN Antara Teuku Dedi Iskandar dari jerat hukum kasus pengeroykan. Menurut dua lembaga itu, Dedi Iskandar bukan pelaku, melainkan korban pengeroyokan.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, kasus Dedi merupakan bentuk kriminalisasi terhadap jurnalis yang sedang bekerja.

“Kami menyesalkan langkah kepolisian yang menetapkan Dedi sebagai tersangka. Dalam kasus ini, Dedi adalah korban kekerasan karena dialah yang dikeroyok oleh lebih dari dua orang. Namun, aparat setempat justru menetapkan dia sebagai tersangka penganiayaan terhadap orang yang mengeroyoknya," kata Usman, dalam siaran pers yang diterima redaksi.

Usman menjelaskan, kasus tersebut terjadi saat Dedi sedang menjalankan tugas sebagai seorang jurnalis. Hukum internasional dan UU Pers menjamin seorang jurnalis yang mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi.

"Pihak yang menghambat bisa terancam pidana. Penetapan tersangka menunjukkan minimnya jaminan kebebasan berekspresi dan kemerdekaan pers,” kata Usman.

Sementara itu, Koordinator KontraS Yati Andriyani mengatakan, saat kejadian Dedi hanya berusaha membela diri dari pengeroyokan sejumlah orang. Polisi, kata Yati, harusnya bisa membedakan mana kasus kekerasan dan mana kasus pembelaan diri.

"Pelaku pengeroyokan Dedi adalah orang yang pernah terlibat kasus pengancaman seorang jurnalis lainnya, terkait kasus di mana Dedi ikut memberitakannya. Artinya, terdapat unsur ancaman terkait profesi Dedi dan itu pelanggaran hukum karena wartawan dilindungi UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers," kata Yati.

“Kami mendesak pihak berwenang untuk mencabut status tersangka Dedi dan menyelidiki kasus ini secara tuntas dan dengan seadil-adilnya. Jangan sampai ada dugaan penetapan tersangka dan pengeroyokan terhadap Dedi karena sikap anti kritik terhadap pemberitaan yang dilakukannya," imbuh dia.

Kronologi

Polres Aceh Barat menetapkan Teuku Dedi Iskandar, wartawan LKBN Antara, sebagai tersangka kasus penganiayaan di Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat. Ia dituduh melanggar pasal 351 jo 352 KUHP tentang penganiayaan. Penetapan tersebut berangkat dari laporan seorang pelaku pengeroyok yang menganiaya Dedi.

Menurut sejumlah informasi, pada Senin, 20 Januari 2020, Dedi sedang duduk di sebuah warung kopi Meulaboh bersama Kabag Humas Polres Aceh Barat untuk meminta klarifikasi terkait kasus kekerasan terhadap jurnalis lainnya. Tiba-tiba ketua PWI Aceh Barat tersebut didatangi seorang rekannya yang membawa serta sekitar lima orang.

Rekan Dedi tersebut kemudian memanggil Dedi ke belakang warung dan menyuruh Dedi menandatangani kuitansi hutang. Merasa tidak memiliki hutang, Dedi pun terkejut dan menolak. Sang rekan dan sekitar lima orang yang dibawa kemudian mengeroyok Dedi.

Penyerangan itu mengakibatkan Dedi mengalami sesak napas akibat benturan di bagian dada dan luka di tangan. Dedi lalu dilarikan ke RSUD Cut Nyak Dhien, Meulaboh.

Namun pada tanggal 20 Februari 2020, Dedi justru dipanggil Polres Aceh Barat untuk didengarkan keterangannya sebagai tersangka kasus penganiayaan.

Latar belakang

Data Amnesty International menunjukan sejak memasuki awal tahun 2020, ada tujuh jurnalis yang menjadi korban penganiayaan dan menerima ancaman, dua jurnalis dikriminalisasi dengan ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat dengan pasal karet, Pasal 45 UU 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Satu orang jurnalis lain berkebangsaan Amerika Serikat, Philip Jacobson, ditahan oleh petugas imigrasi atas tuduhan pelanggaran Pasal 122 UU 6/2011 tentang Keimigrasian.

Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) mencatat selama 2019 terjadi 53 kasus kekerasan terhadap wartawan, didominasi oleh kekerasan fisik sebanyak 20 kasus dan pengrusakan alat kerja sebanya 14 kasus.

Bentuk kekerasan lain adalah teror enam kasus, kriminalisasi lima kasus, pengusiran dan pelarangan liputan empat kasus dan pelarangan pemberitaan tiga kasus.Dalam laporan tersebut, tindakan kekerasan kepada jurnalis paling sering dilakukan oleh aparat polisi.

UU 40/1999 tentang Pers menyebutkan bahwa jurnalis dilarang dihalang-halangi saat meliput berita. Ancaman pidananya berupa hukuman penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta. Dalam hukum internasional, kebebasan pers dan keterbukaan informasi termasuk dalam jenis kebebasan berekspresi, sehingga termasuk dalam hak asasi fundamental.

(Januardi Husin\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar