Ketika Gubernur Edy Rahmayadi Harus Berurusan dengan Masalah Babi

Sabtu, 15/02/2020 11:42 WIB
Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi (Medcom.id)

Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi (Medcom.id)

Medan, law-justice.co - Aksi demo memprotes rencana Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi berlangsung di Lapangan Merdeka, Medan pada Senin (10/2/2020). Ribuan orang berpakaian putih dengan aksesori kain ulos berdemonstrasi di depan kantor DPRD Sumut meneriakkan "save babi!" sambil membentangkan spanduk bernada serupa.

"Kami makan dari babi. Anak kami kuliah dari babi. Save babi, save babi," kata koordinator demonstrasi, Boasa Simanjuntak, sebagaimana dikutip dari Antara.

Aksi ini dipicu oleh isu bahwa Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi akan memusnahkan seluruh babi di seantero provinsi. Ini dilakukan guna memutus penyebaran penyakit African Swine Fever (ASF) dan hog cholera (kolera babi). Kolera babi sudah ada vaksinnya, sementara ASF belum.

Dua penyakit ini intinya menyerang saluran pencernaan babi. Ia juga bisa menular pada hewan ternak lain seperti sapi atau kambing, tapi tidak ke manusia. Babi dapat terjangkit karena beberapa faktor, termasuk makanan yang kotor. Babi-babi mati sejak September tahun lalu.

Ketua Gabungan Usaha Peternakan Babi Indonesia (Gupbi) Bali I Ketut Hari Suyasa mengatakan pemusnahan memang bisa jadi salah satu opsi, tapi dia berharap itu ditempatkan sebagai pilihan terakhir. Pemusnahan, katanya, dapat memicu keributan antara pemerintah dan peternak terkait ganti rugi.

Ia lantas menjelaskan karena kasus ini, meski saat ini pasokan di pasar relatif masih aman, namun harga jual produksi anjlok dari sebelumnya Rp28 ribu per kilogram. "Sekarang jatuh ke tingkat paling bawah. Ndak enak saya bilangnya (harga). Biar tidak terjadi kepanikan," kata Hari saat dihubungi, Selasa (11/2/2020).

Keadaan di Sumut memengaruhi daerah lain karena wilayah ini adalah produsen daging babi kedua terbesar setelah Bali, menurut data Badan Pusat Statistik. Tahun 2018, provinsi tersebut menghasilkan 43.308 ton daging babi, sementara Bali 164.164 ton.

Penanganan Pada Januari 2020 lalu, Edy mengaku dilema untuk menetapkan wabah demam babi Afrika ini sebagai bencana karena dengan demikian berarti ia harus memusnahkan seluruh babi ternak di wilayahnya. Menurutnya itu sangat merugikan peternak.

Karenanya mantan Ketua PSSI dan Pangkostrad ini meminta waktu satu bulan untuk berpikir mencari jalan keluar. Belakangan, Edy membantah hendak memusnahkan seluruh babi ternak di daerah kekuasannya. "Yang mau memusnahkan siapa?" katanya Senin (10/2/2020) lalu.

Ia juga sempat mengatakan tak memilih opsi memusnahkan babi karena pemerintah daerah tak mungkin membayar ganti rugi yang diperkirakan mencapai Rp6 triliun--dengan asumsi harga satu babi Rp3 juta. Ia mengaku hanya akan "memusnahkan" babi yang sudah terinfeksi.

Ia juga mengatakan peternak harus mengantisipasi penyebaran penyakit dengan cara "membersihkan tempat" ternak. Namun, menurut Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Fadjar Sumping Tjatur Rasa, pemusnahan babi bukanlah solusi terbaik.
Menurutnya yang mesti difokuskan adalah mengendalikan penyakit melalui penerapan bio security dan pengawasan lalu lintas babi dan produk turunannya. "Babi yang sakit jangan dibawa ke mana-mana, juga bangkai babi jangan dibuang ke sungai atau di lapangan, tetapi dikubur. Dan bekas kandangnya didisinfeksi," katanya.

Beberapa bulan lalu, ditemukan ratusan bangkai babi di sejumlah sungai di Kota Medan. Bangkai-bangkai yang ditemukan ternyata terkena penyakit dan menimbulkan bau busuk.

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan I Ketut Diarmita mengatakan pihaknya telah berkoordinasi dengan pemprov dan instansi terkait untuk mengendalikan penyakit ini.

Beberapa yang telah dilakukan adalah menyalurkan bantuan dalam bentuk disinfektan, sprayer, Alat Pelindung Diri (APD), kantong bangkai, pendirian posko, spanduk, brosur, poster, dan bantuan operasional untuk penanganan dan penguburan bangkai.

"Pada saat kondisi ASF terkendali, maka pemerintah akan berupaya menyediakan kembali babi yang telah dipastikan bebas dari penyakit, khususnya ASF," kata Ketut lewat keterangan tertulis.

Cara-cara ini, sampai sekarang, tampak belum terlalu efektif mengatasi masalah. Buktinya, angka babi mati terus bertambah, juga wilayah penyebarannya. Pada Oktober lalu, hampir 2.000 babi mati di tujuh kabupaten/kota.

Angkanya meningkat pada Desember menjadi 30 ribu babi mati di 16 kabupaten/kota. Data terakhir menyebut penyakit ini sudah ditemukan di 18 kabupaten/kota. 46 ribu babi sudah mati. (Tirto)

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar