Bisnis Manis Impor Sampah Beracun dan Berbahaya (Tulisan-II)

Ironis, Penegakan Hukum Mandul Importir Sampah Untung

Sabtu, 15/02/2020 03:30 WIB
Pengolahan sampah impor di salah satu pabrik (Foto:Ecoton)

Pengolahan sampah impor di salah satu pabrik (Foto:Ecoton)

Jakarta, law-justice.co - Kasus impor sampah yang mengandung limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) kian marak selama dua tahun terakhir. Sampah-sampah itu menyelinap dalam kontainer yang seharusnya hanya berisi bahan baku untuk produksi kertas dan plastik dalam negeri. Di hulu, masalahnya terletak pada negara pengekspor dan perusahaan yang mensurvey. Sementara di hilir, penegakan hukum pidananya yang masih mandul.

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 84 tahun 2019 memang memperbolehkan impor limbah untuk bahan baku industri dalam negeri. Dengan catatan, tidak boleh ada limbah yang mengandung unsur-unsur B3. Celakanya, praktik di lapangan, sejak tahun 2018 kerap kali ditemukan limbah B3 terselip dalam kontainer bahan baku kertas.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) berkesimpulan, penyusupan limbah B3 dalam kontainer bahan baku industri dilakukan secara sistematis dan massif. Berdasarkan hasil sidak, penempatan limbah B3 diselipkan di tengah-tengah bahan baku. Jumlahnya pun berkisar antara 20 – 40 persen dalam setiap kegiatan impor.

Direktur Pengelolaan Sampah KLHK Norrizal Tahar menyebutkan, jenis-jenis limbah B3 yang menyelinap dalam kontainer bahan baku industri bentuknya macam-macam. Mulai dari plastik, popok bayi, pempers, baterai bekas, remot kontrol, kabel bekas, dan sebagainya.

Berdasarkan aturan, barang-barang tersebut tidak seharusnya masuk dalam impor bahan baku industri. Norrizal menegaskan, regulasi mengatur bahwa tingkat kontaminasi atau impurities bahan baku impor adalah nol (0) persen. KLHK masih memahami kalau ada selipan-selipan plastik yang berfungsi untuk mengikat bahan baku, misalnya selotip, “Tapi kalau sudah plastik kemasan, kemudian pempers, itu sih limbah dan sampah,” kata dia.

Jika dibiarkan, impurities bisa sangat berbahaya bagi lingkungan. Pabrik tidak akan mengolah impurities menjadi bahan baku industri, sehingga ujung-ujungnya mencemari lingkungan.

“Itu yang terjadi di Desa Bangun (Kecamatan Pungging, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur) dan Desa Tropodo (Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur). Lebih berbahaya lagi kalau impurites-nya itu limbah beracun. Kalau baterai bekas, tingkat kontaminasi logam beratnya tinggi,” ujar Norrizal.

Direktur Penegakan Hukum (Gakum) Pidana KLHK Yazid Nurhuda menjelaskan, dalam UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, impor limbah yang mengandung unsur B3 jelas dilarang.

Sanksinya: “Pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun, dan denda paling sedikit Rp 5 miliar dan paling banyak Rp 15 miliar.

“Nah yang selama ini terjadi adalah impor bahan baku untuk industri terkontaminasi limbah B3. Itu jadi masalah. Walaupun dia punya izin, kalau terkontaminasi limbah B3 itu bentuk pelanggaran pidana. Ada di UU 32/2009 pasal 106,” ujar Yazid.

Selama ini, Dirjen Gakum Pidana KLHK hanya pernah menjerat satu kasus pidana terkait impor sampah yang terkontaminasi limbah B3, karena kegitan tersebut tidak mendapat izin dari Kementerian Perdagangan alias ilegal. Kasus tersebut terjadi pada Juni 2019, ketika Bea Cukai dan KLHK menemukan 87 kontainer impor sampah terkontaminasi B3 yang dilakukan oleh PT ART.

Penyidik KLHK menetapkan korporasi serta 2 warga negara asing berinisial KWL dan LSW sebagai tersangka. Berkas pidananya saat ini sudah berada di Kejaksaan Agung,“Deliknya adalah memasukkan scrap plastik terkontaminasi limbah B3 tanpa izin,” ucap Yazid.


Direktur Penegakan Hukum Pidana KLHK, Yazid Nurhada (Foto:Lily/Law-Justice)

Lantas bagaimana dengan impor yang memiliki izin tapi terkontaminasi limbah B3? Selama ini belum ada delik pidana yang dikenakan baik terhadap perusahaan maupun perorangan. Sanksi yang dikenakan adalah kewajiban reekspor atau pengembalian sampah tersebut ke negara asal.

“Jadi pintu masuknya kan lewat mekanisme impor. Yang punya kewenangan mengecek itu impor benar atau tidak, ya Bea Cukai. KLHK dalam posisi menunggu informasi dari Bea Cukai. First line-nya adalah Bea Cukai,” jelas Yazid.

Sanksi reekspor dipilih karena adanya Konvesi Basel pada tahun 1980, sebuah sebuah perjanjian internasional yang mengatur tentang perpindahan lintas batas limbah berbahaya dan beracun. Dalam konvesi tersebut, jika suatu negara mengekspor limbah ke negara lain, dan negara tujuan menolak ekspor teresbut, negara tujuan bisa mereekspor kembali limbah tersebut ke negara asal.

Perusahaan importir wajib melakukan reekspor bahan baku industri yang ternyata mengandung limbah B3, paling lambat dalam waktu 90 hari. Seluruh biaya reekspor juga ditanggung oleh perusahaan tersebut. Tapi seberapa efektif sanksi reekspor? Yazid mengaku pihaknya belum memiliki data tentang evaluasi kebijakan reekspor, terutama untuk menekan kasus kontaminasi limbah B3 dalam dalam impor bahan baku industri.

“Tapi menimbulkan sedikit efek jera, menurut saya iya. Karena biaya untuk reekspor itu besar, dan perusahaan harus menanggung biaya tersebut,” ujar dia.

Manager Kampanye Perkotaan dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Dwi Sawung mengatakan, kementerian dan lembaga terkait harus lebih serius menyelesaikan kasus impor limbah B3. Mengingat kasus ini terus terulang, Walhi mendukung sanksi pidana terhadap perusahaan importir yang terbukti memasukkan limbah B3 dalam kontainer mereka. Terlebih lagi, pihaknya yakin bahwa masih banyak kontainer-kontainer impor sampah yang lepas dari pengawasan Bea Cukai.

“Reekspors sebetulnya efektifk kalau dijalankan dengan betul. Tapi nyatanya reekspor juga bermasalah. Masih banyak kontainer yang belum dipulangkan ke negara asal,” ujar Sawung.

Selain perusahaan importir, masalah juga terletak pada perusahaan surveyor, yang bertugas memantau barang baku industri sebelum masuk ke wilayah Indonesia. Menurut Walhi, perusahaan surveyor ini tidak bekerja dengan baik.

Yazid Nurhuda menjelaskan, sebelum bahan baku industri itu dinaikkan ke atas kapal untuk dibawa ke Indonesia, harus ada kepastian bahwa barang-barang tersebut sudah memenuhi ketentuan dan peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan lingkungan hidup.

“Siapa yang mengeceknya? Adalah (perusahaan) surveyor. Begitu sampai di sini, kok ternyata enggak sesuai aturan, kan itu yang terjadi. Kita bisa menyimpulkan seberapa efektif mereka bekerja,” ucap Yazid.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Hasan Aminudin menegaskan, Permendag Nomor 84 tahun 2019 sudah cukup jelas mengatur tentang syarat-syarat impor bahan baku industri, yakni tidak boleh terkontaminasi limbah B3. Pihaknya menduga, banyaknya praktik kontaminasi limbah B3 dalam impor bahan baku industri merupakan bentuk permainan manipulatif dari oknum-oknum importir.

“Komisi IV menyampaikan, tindak tegas. Tangkap dan proses hukum sebagai bentuk pembelajaran untuk pengusaha yang bermain-main, mengambil keuntungan di atas persoalan bangsa ini. Termasuk perusahaan surveyor yang mendapat otorisasi untuk melakukan verifikasi limbah. Kalau terbukti bersalah, harus ditindak,” kata Hasan saat ditemui Law-justice.co di gedung DPR RI.

Bea Cukai Kewalahan Hadapi Impor Sampah B3

Menanggapi lemahnya pegawasan, juru bicara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Sudiro mengatakan, bea cukai hanya memeriksa dokumen isi barang yang diajukan oleh importir. Kata dia, Bea Cukai tidak memiliki waktu untuk memeriksa satu persatu isi kontainer. Karena kata dia, sudah ada dokumen dari perusahaan surveyor yang ditunjuk oleh importir.

"Kita tidak usah ngomong data ke belakang deh, kita periksa saja tidak semua kok sampah itu terkontaminasi. Ya mereka yang tidak terkontaminasi itu menuntut disuruh bayarin itu sampah, bisa juga kita dituntut. Misalnya juga kalau ditimbun di pelabuhan, itu kan mereka mesti bayar, misalnya nunggu hasil laboratorium itu 3 hari, perhari saja sudah berapa? Iya kalau 1 kontainer kalau 10 atau 20 atau 100? Mumet kita. Makanya itu gunanya surveyor itu," ujarnya kepada jurnalis Law-Justice, Bona Ricki Siahaan.

Kata Sudiro, Bea Cukai mengakui kesulitan untuk membendung masuknya impor sampah berbahaya dan beracun. Kata dia, lembaganya diminta cepat dan tepat dalam memberikan pelayanan kepada importir. Sehingga, tidak dipungkiri lembaganya sering kebobolan dalam melakukan pengawasan masuknya impor sampah beracun dan berbahaya. Belum lagi soal aturan dwelling time yang memaksa lembaganya bekerja cepat dan hanya melakukan pemeriksaan random sampling.

"Dan juga karena sudah diperiksa surveyor dan diperiksa bea cukai. Tadi seperti sudah disampaikan kita periksa semua, karena tidak mungkin kita periksa semua karena Dwelling time, nanti orang marah dan siapa yang mau bayar. Jadi Bea Cukai temuin kasus yang kemarin itu yang terkontaminasi, kan sebelumnya sudah ada diperiksa oleh surveyor di negara sana. Nah kalau diperiksa Bea Cukai dan double nanti dibilang "Kalian tidak percaya saya?". Kan kewenangannya di Kementerian Perdagangan," ungkapnya.


Suasana inspeksi mendadak KLHK dan DPR soal sampah berbahaya dan beracun di Pelabuhan Petikemas Tanjung Priok (Foto:Beacukai.go.id)

Dia menambahkan, Bea Cukai hanya berperan memberikan izin keluar dari pelabuhan berdasarkan dokumen-dokumen yang diberikan oleh importir. Termasuk juga dokumen dari surveyor soal isi kontainer yang tidak mengandung bahan beracun dan berbahaya. Kata dia, kesalahan masuknya sampah beracun dan berbahaya dari luar negeri ke Indonesia jangan ditimpakan kepada lembaganya. Dia juga meminta agar, publik melihat ada peran dari KLHK dan perusahaan surveyor yang berhak melakukan pengujian barang yang diimpor itu mengandung racun dan berbahaya atau tidak.

"Lah memeriksa itu tidak Bea Cukai sendiri, ada KLHK. Terkontaminasi itu tidak tahu sekarang, dibawa dulu ke laboratorium. Tidak serta merta kelihatan ini terkontaminasi.Ya itu tanya KLHK. Itu kewenangannya ada di KLHK. Karena sampah ini juga sudah dilakukan pemeriksaan oleh surveyor oleh negara asli, Bea Cukai secara manajemen resiko namanya tidak semua sampah diperiksa. Sekarang bayangkan kalau semua kontainer di Tanjung Priok diperiksa? Pasti akan terjadi dwelling time. Sekarang numpuk disana. Makanya secara manajemen risiko tidak semua barang diperiksa, karena apa? Sudah dilakukan pemeriksaan oleh surveyor," jelasnya.

Lembaganya, kata Sudiro meminta perusahaan untuk melakukan ekspor kembali sampah yang terkontaminasi limbah beracun dan berbahaya. Biaya ekspor kembali ke negara asal merupakan kewajiban importir, termasuk menanggung biaya ekspor dan biaya angkut kembali ke negara asal, "Ketika limbah itu terkontaminasi B3 atau mengandung sampah yang lain itu harus di reeksport ke negara asal. Dan yang bertanggungjawab untuk reeksport adalah si pemilik barang atau importir," katanya.

Perusahaan Pengimpor Bungkam

Jurnalis Law-Justice Bona Ricki Siahaan dan Deni Hardimansyah berusaha melacak perusahaan pengimpor sampah yang terkontaminasi limbah beracun dan berbahaya. Kami mendatangi PT Advance Recyle Technology (ART) di kawasan industri Cikupa Tangerang. PT ART diduga terlibat dalam memasukkan limbah skrap plastik yang terkontaminasi limbah B3 ke Indonesia tanpa izin. KLHK menindak 87 kontainer limbah berupa skrap plastik yang terkontaminasi limbah B3 masuk ke Indonesia tanpa izin pada 13 Juni 2019. 24 kontainer diantaranya berada di kawasan berikat PT Advance Recycle Technology (ATP) di Cikupa Tangerang dan 63 kontainer masih di Pelabuhan Tanjung Priok.

Dari hasil penindakan itu, 2 WNA Singapura yaitu LSW dan KWL ditetapkan sebagai tersangka kasus kontainer berisi limbah pada 16 September. Keduanya terbukti memasukkan 87 kontainer limbah berupa skrap plastik yang terkontaminasi. Berdasarkan keterangan keduanya, ke-87 kontainer tersebut diimpor dari Hongkong, Spanyol, Kanada, Australia dan Jepang.

Law-Justice menelusuri pabrik yang menjadi tujuan impor skrap plastik tersebut. Gerbang pabrik dalam keadaan tertutup dan tidak ada kegiatan operasional. Menurut pernyataan penjaga pabrik tersebut, PT Advance Recycle Technology sudah lama tak beroperasi. "Sudah 4 bulan perusahaan tutup" Ujar satpam yang tak mau disebutkan namanya tersebut.


Sebaran perusahaan produsen pulp and paper yang juga turut mengimpor limbah sampah (Foto:Ecoton)

Padahal perusahaan itu mendapatkan keistimewaan dari Direktorat Bea dan Cukai sebagai kawasan berikat yang artinya di dalam kawasan berikat ini diberlakukan aturan-aturan khusus terkait kepabeanan. Aturan-aturan khusus dalam kawasan berikat ini diberlakukan atas barang yang dimasukkan dari luar daerah pabean atau dari dalam daerah pabean lainnya.

Aktivitas dalam kawasan berikat ini meliputi industri pengolahan barang dan bahan baku, kegiatan rancang bangun, rekayasa, penyortiran, pemeriksaan awal, pemeriksaan akhir dan pengepakan. Barang dan bahan baku yang dimaksud bisa dari impor atau berasal dari dalam daerah pabean Indonesia lainnya.

Law-Justice juga menelusuri perusahaan Pindo Deli Pulp & Paper Mills yang juga melakukan impor sampah dari luar negeri. Kami mendatangi anak perusahaan Sinar Mas Grup yang berada di Sinar Mas Land Plaza Tower IIJI MH Thamrin Kav 22/51 Sinar Mas Land Plaza Tower II Lt. 7-9, 12,1 Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat 10350, DKI Jakarta. Namun sayang, saat dimintai keterangan Pindo Deli enggan berkomentar terkait impor sampah tersebut.

Perusahaan Diuntungkan Sampah Impor

Menurut Manager Kampanye Perkotaan dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Dwi Sawung, persoalan impor sampah tidak akan selesai kalau pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan larangan impor limbah bahan baku dari luar. Walhi telah lama menyelidiki, bahwa bisnis impor sampah ini sangat menggiurkan, “Kami menduga, mereka (perusahaan imprtir) ini dapat untung 2 kali lipat. Di dalam negeri dibayar (oleh produsen kertas), di luar negeri juga dibayar oleh negara pengekspor sampah,” kata Sawung.

Sampah selalu menjadi masalah, bahkan di negara-negara maju di Amerika dan Eropa. Biaya daur ulang (recycle) sampah masih terbilang mahal, sehingga ada kebutuhan untuk mengekspor sampah ke luar. WWF mencatat, ada sekitar 300 juta ton sampah plastik diproduksi setiap tahunnya, “Pernah ada masalah reekspor sampah dari Filipina ke Kanada. Kanada menolak reekspor karena merasa sudah membayar ke perusahaan pengimpor sampah di Filipina,” ujar Sawung.

Hubungan diplomatik antara Filipina dan Canada sempat memanas pada awal tahun 2019 karena persoalah impor sampah. Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengecam praktik impor berjuta-juta ton sampah rumah tangga sejak tahun 2013.

Menurut analisis WALHI, bisnis impor sampah ini juga yang menghambat tata kelola sampah dalam negeri. Sampai saat ini, pemerintah belum mengambil peran penting dalam tata kelola sampah untuk dijadikan bahan baku industri, “Padahal tata kelola sampah kita itu sangat potensial untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri, terutama kertas dan plastik,” ucap Sawung.

“Kita harus stop impor, sambil membenahi manajemen sampah dalam negeri.Kalau pun mau impor, harus benar-benar bahan baku yang sudah dalam bentuk cacahan kertas atau plastik. Harus sudah homogen. Itu baru bisa disebut bahan baku, karena setengah dari proses pengolah sudah dilakukan di negara asalnya. Bukan kita mengambil dalam bentuk masih utuh seperti sekarang ini,” imbuh dia.

Kontribusi Laporan : Januardi Husin, Bona Ricki Siahaan, Ricardo Ronald, Lili Handayani

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar