Esensi Menolak Yogya Rasa Glodok

Selasa, 26/11/2019 13:15 WIB
Ilustrasi. (watyutink.com)

Ilustrasi. (watyutink.com)

Jakarta, law-justice.co - Sepertinya Yogyakarta adalah inceran para pengembang untuk menguasai tanahnya. Karena dari bebarapa propinsi di Indonesia, Yogyakarta memiliki keistimewaan tersendiri. Walaupun ada 3 propinsi yang istimewa, seperti DKI Jakarta dan Daerah Istimewa Aceh.

Kenapa Yogyakarta menjadi daerah istimewa, karena sebelum bergabung dengan Negara kesatuan Republik Indonesia, Yogyakarta memiliki sistem pemerintahan berbentuk kerajaan (Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat dan Pakualaman) dan kebudayaan sistem pemerintahan kerajaan masih melekat pada masyarakat ataupun aparat di pemerintahan Yogja yang selalu patuh dan mengikuti semua peraturan yang di keluarkan oleh raja.

Seperti halnya individu yang tak ingin kehilangan identitasnya, maka masyarakat Yogyakarta akan mempertaruhkan diri untuk identitas budaya tersebut. Keistimewaan Yogyakarta merupakan mahar atas bergabungnya Ngayogyakarto ke Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Melalui amanat Sri Sultan yang kemudian disebut Amanat 5 September tersebut merupakan bentuk dukungan Kerajaan Ngayogyakarto Hadiningrat terhadap NKRI. Ketika Indonesia diproklamasikan sebagai suatu negara merdeka oleh Soekarno-Hatta. Sebenarnya Kerajaan Yogyakarta dan begitu juga kerajaan-kerajaan lain di wilayah bekas jajahan Belanda bisa saja melepaskan diri dari NKRI.

Ternyata Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII memberikan dukungan terhadap NKRI dan dalam amanat yang ditandatangani Sri Sultan bersama Paku Alam menyatakan “Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.” Isi lain dari amanat Sri Sultan tersebut adalah, “Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada di tangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kamipegang seluruhnya.”

Sedangkan amanat Paku Alam VIII yang menyatakan, “Bahwa Negeri Paku Alaman jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.” Berikutnya, “Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Paku Alaman, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Paku Alaman mulai saat ini berada ditangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja Kami pegang seluruhnja.”

Sementara Keistimewaan Yogyakarta juga di dukung oleh para founding father terutama soekarno dengan payung hukum piagam penetapan. Payung hukum ini sebenarnya sudah dikeluarkan oleh Soekarno yang duduk di BPUPKI dan PPKI pada 19 Agustus 1945. Piagam penetapan ini kemudian diserahkan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII pada 6 September 1945. Isi piagam penetapan itu adalah, “Piagam Kedudukan Sri Paduka Ingkeng Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono IX" Kami, Presiden Republik Indonesia, menetapkan:

Ingkeng Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrahman Sayidin Panotogomo, Kalifatullah Ingkang Kaping IX Ing Ngayogyakarta Hadiningrat, pada kedudukannya, Dengan kepercayaan bahwa Sri Paduka Kangjeng Sultan akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga, untuk keselamatan Daerah Yogyakarta sebagai bagian daripada Republik Indonesia.

Kemudian Keistimewaan Yogyakarta dikuatkan dalam hal Sejarah Pembentukan Pemerintahan DIY terkait dengan perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia sesuai UUD 1945, Pasal 18 & Penjelasannya yang menjamin hak asal-usul suatu daerah sebagai daerah swa-praja (zelfbestuurende landschaappen).

Berdasar putusan Mahkamah tentang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, saat ini Yogyakarta merupakan salah satu daerah istimewa yang dimiliki Indonesia. "Yogyakarta menjadi daerah istimewa karena faktor sejarah”.

Gugatan Kepemilikan Tanah

Kepemilikan tanah sekarang lagi diributkan ole seorang warga keturunan dan menjadi mahasiswa hukum UGM yang bernama Felix Juanardo Winata, 20 tahun, seorang mahasiswa semester 5 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, melayangkan gugatan terkait UU No. 13/2012 tentang Keistimewaan DI Yogyakarta ke Mahkamah Konstitusi.

Adapun permohonan gugatan itu telah diterima panitera MK dengan tanda terima nomor 1926/PAN.MK/XI/2019 tanggal 15 November 2019. Felik mendalilkan legal standing atau posisinya pada dua hal, yakni:

Pertama, sebagai WNI keturunan Tionghoa yang lahir di Jakarta, dan tinggal di Tangerang Kota, Provinsi Banten.
Kedua, hak konstitual dia untuk dapat memiliki tanah di DIY telah dilanggar oleh UU Keistimewaan.

Dalam permohonannya, Felix menyebut pengaturan tanah di Pasal 7 ayat (2) huruf d dalam UU Keistimewaan telah melegitimasi aturan lama, yakni Instruksi Wakil Kepala Daerah DIY Nomor K.898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah Kepada Seorang WNI Non-Pribumi.

Sementara dalam Instruksi tahun 1975 ini, tiga golongan warga non-pribumi yang dilarang punya kepemilikan tanah yakni “Europeanen" (Eropa, kulit putih); “Vreemde Oosterlingen" (Timur Asing) yang meliputi orang Tionghoa, Arab, India maupun non-Eropa lain. Hal itu jelas dan sudah mengikat.

Adapun gugatan itu juga terjadi sebelumnya dan dilakukan pada tahun 2015 oleh Handoko WNI keturunan juga menggugat Instruksi Wakil Kepala Daerah Nomor K.898/I/A/1975 ke PTUN Yogyakarta dan Mahkamah Agung. Gugatan itu ditolak oleh kedua institusi, karena Instruksi 1975 bukan kewenangan diskresi PTUN Yogyakarta. Sedangkan MA mengaku tak memiliki kewenangan untuk uji materi atas keputusan tersebut, karena Instruksi 1975 bukan bagian dari undang-undang. Bahkan gugatan tersebut juga didukung pengusaha di Malioboro.

Yogya Ora Didol

Ketika muncul lagu Jogja Ora di dol karya Jogja Hip Hop Foundation dalam rangka memberikan kado spesial untuk kota Yogyakarta tercinta. Lagu itu memberikan pesan tersendiri bagi warga Yogya atau pemerintahnya, juga buat Sri Sultan sebagai Gubernur dan Raja Ngayogjokarto Hadiningrat.

Jogja Ora Didol atau Jogja Tidak Dijual merupakan pernyataan keras sekaligus sikap mereka melihat kondisi kotanya saat ini. Mereka berharap, Jogja bakal tetap menjadi kota istimewa yang mempertahankan nilai luhur kebudayaan yang saat ini mulai luntur dengan pembangunan mall atas nama modernitas.

Keresahan dalam tuntutannya, mereka ingin agar penyelenggara pemerintahan Yogja bisa mempertahankan kebudayaan serta mengajak warganya turut serta dalam pembangunan yang lebih manusiawi. Sementara dalam kondisi seperti sekarang ini kita bisa melihat, bagaimana potensi tanah di Yogya menjadi daya tarik para tuan tanah yang sekarang menguasai diberbagai wilayah di Indonesia.

Sebagai anak yang lahir dan besar di Yogya, kebetulan sekarang tinggal di Jakarta, saya merasa prihatin kalau tanah di Yogya dikuasai oleh para tuan tanah. Nanti saya tidak akan melihat lagi keakraban warga yang saling bergotong royong, tanpa harus meninggikan pagar rumahnya. Saya juga tidak akan melihat guyup rukun warga yang membuat daya tarik wisata tersendiri. Sebab kepemilikan tanah yang dibebaskan pasti akan merusak kultur budaya setempat. Coba bayangkan saja, jika tanah Yogya dikuasai oleh para rente, semua akan berubah. Yogya akan menjadi Glodok Yogya dan cukup daerah Pajeksan saja.yang berubah fungsi, dari tempat para jaksa (Pajekso). Yogja tetap harus menjadi Daerah Istimewa dan suasana keramahan yang melekat sampai sekarang.selalu dipertahankan. Jangan sampai lagu Yogyakarta karya Kla Project, syairnya akan berubah menjadi...

Terhanyut aku akan nostalgi
Saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama
Suasana Glodok Yogja.... (sumber watyutink.com)

Himawan Sutanto
Aktivis 1980-an

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar