Agus Rahardjo:

Jika Melibatkan Orang Penting, Penanganannya Pasti Susah dan Lama

Kamis, 31/10/2019 08:31 WIB
Agus Rahardjo (Deni Hardimansyah/law-justice.co)

Agus Rahardjo (Deni Hardimansyah/law-justice.co)

law-justice.co - Dilantik menjadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi  (KPK) menjadi momen yang sangat berharga bagi seorang Agus Rahardjo. Padahal, saat itu ia baru saja hendak menikmati masa pensiunnya, namun ia justru diangkat menjadi pimpinan lembaga yang sejak lama ia kagumi.

Sebenarnya, tidak mudah menggantikan posisi Abraham Samad, tapi keseriusan Agus dalam mengemban tugas, membuatnya diakui juga sebagai pimpinan yang cukup progresif dalam penindakan perkara korupsi.

Agus dan empat pimpinan KPK lainnya memulai tugas di gedung Merah Putih ketika kisruh Cicak vs Buaya mencapai puncaknya. Ketua KPK sebelumnya, Abraham Samad, melakukan sebuah gebrakan besar dengan menjegal langkah Budi Gunawan menjadi Kapolri.

Tak ayal, saat Agus resmi terpilih sebagai suksesor pimpinan KPK pada tanggal 17 Desember 2015, publik meragukan kapabilitas Agus. Terlebih lagi, ia merupakan pimpinan KPK pertama yang tidak memiliki latar belakang di bidang hukum.

Sebelum menjadi ketua KPK, Agus adalah seorang insinyur dan pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Publik (PPKPBJ) yang kemudian menjadi Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Ia juga pernah menjadi Direktur Sistem dan Prosedur Pendanaan Bappenas.

Dengan latar belakangnya yang minim di bidang penyidikan dan penindakan, Agus harus mampu menjadi penghubung empat pimpinan KPK lainnya. Alexander Marwata dan Laode M. Syarif yang memilik latar belakang di bidang hukum; Saut Situmorang, mantan anggota Badan Intelijen Negara (BIN); dan Basaria Panjaitan, mantan penyidik Bareskrim Mabes Polri.

Agus menuturkan, saat menjadi ketua LKPP ia sangat mengagumi dan hormat pada institusi KPK, lembaga yang paling berpengaruh pasca reformasi. Sebagai lembaga independen yang memiliki wewenang penuntutan, KPK merupakan institusi unik yang terbukti mampu menjebloskan para politisi dan pejabat ke jerusi besi.

Jika menilik masa kecil Agus yang harus berjuang untuk melanjutkan pendidikan di kota kelahirannya, Magetan, Jawa Timur, “air mata” adalah simbol yang tepat untuk mengekspresikannya. Agus mengaku pernah menjadi seorang penjahit saat masih duduk di Sekolah Dasar. Pekerjaan pertamanya setelah lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah menjadi seorang satpam hotel.

Tekadnya yang kuat untuk mengubah nasib menuntun Agus masuk ke perguruan tinggi paling elit di Jawa Timur, Instiut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), pada tahun 1975.

“Berbicara masa kecil selalu membuat saya menangis,” kata Agus.

Setamatnya dari ITS dengan gelar insinyur, suami Tutik Supriyati itu menemui jalannya menjadi seorang PNS di  Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Agus bahkan diberi kesempatan melanjutkan program doktor di Arthur D. Little Management Education Institute, Cambridge, Amerika Serikat.

Pulang ke tanah air, karier Agus semakin moncer di Bappenas. Jabatan tertingginya adalah Direktur Sistem & Prosedur Pendanaan Bappenas pada 2005. Setahun kemudian, ia dipercaya menjadi kepala Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Publik (PPKPBJ), kemudian menjadi pelopor sekaligus Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).

Pertengahan 2015, Agus memasuki masa pensiunnya menjadi PNS. Baru saja hendak menikmati masa penisun, ia diminta untuk mengikuti seleksi pimpinan KPK. Merasa terpanggil, Agus pun mengirimkan semua berkas-berkas persyaratan seleksi. Bagi Agus, menjadi pimpinan KPK ia niatkan untuk menabung amaliyah semasa hidup.

“Kalau orang muslim kan meninggal inginnya khusnul khotimah. Ya mencari amal. Ini untuk mewujudkan khusnul khotimah,” tutur Agus.

Grafis: Christopher Mait/law-justice.co

Gayung bersambut melebih ekspektasi. Bukan hanya terpilih menjadi pimpinan KPK, Agus juga dipercaya sebagai ketua. Dalam pemungutan suara di Komisi III DPR RI, Agus memperoleh 53 suara. Tertinggi dibandingkan rekan-rekannya seperti Basaria Pandjaitan yang mendapat 51 suara, Alexander Marwata sebanyak 46 suara, Laode M. Syarif dan Saut Situmorang masing-masing mendapatkan 37 suara.

Alexander Marwata mengatakan, Agus memang pantas menjadi pimpinan KPK. Walapun tidak memiliki latar belakang hukum, pengalaman Agus di sektor pengadaan barang dan jasa sangat berarti dalam upaya pemberantasan korupsi.

“Sebagian besar korupsi kita kan di sektor pengadaan barang dan jasa. Saya pikir pak Agus sangat kompeten di situ. Dia juga paling senior di antara kami,” kata Alex saat dimintai tanggapan mengenai sosok Agus Rahardjo.

Dua pertama, kata Alex, Agus sering mengajak para pimpinan KPK untuk duduk satu meja guna mengambil keputusan bersama. Sayang, kebiasaan tersebut lambat laun jarang terlaksana karena kesibukan masing-masing pimpinan.

“Di bidang penindakan, Pak Agus sangat progresif,” ucap Alex.

Hal senada juga diutarakan oleh Wakil Ketua KPK lainnya, Laode M. Syarif. Bagi Laode, Agus adalah sosok yang sangat tegas dalam upaya pemberantasan korupsi. Agus memiliki komitmen untuk memperbaiki sistem pencegahan demi menutup celah-celah korupsi.

“Beliau tegas. Mempunyai sikap anti korupsi yang jelas. Dia tuh tidak suka basa basi. Kalau A bilang A, kalau B bilang B. Saya termasuk pimpinan yang paling dekat dengan pak Agus. Kami sering diskusi untuk mengambil keputusan,” kata Laode.

Walau begitu, kepemimpinan Agus selama empat tahun ini bukan tanpa cela. Menurut Alex, Sifat Agus yang paling mencolok adalah sering terbawa emosi di muka umum. Hal itu diakui sendiri oleh Agus, bahwa kadang ia tidak bisa mengontrol amarah.

“Kadang-kadang sama staf, kalau kerjanya lambat atau tidak sesuai dengan ekspektasi dia, ya dia marah. Meskipun, setelah itu dia minta maaf. Cuma kadang-kadang marah di depan banyak orang. Itu kan enggak elok. Sering kami ingatkan, kalau marah jangan di depan banyak orang,” tutur Alex.

“Dia itu paling enggak bisa basa basi. Terlalu terus terang. Kadang, sama wartawan sering banget terpancing. Memberikan informasi yang belum saatnya dikatakan. Sering saya pegang kaki dia, beri kode agar jangan dulu bicara ke media,” tambah Laode.

Dalam kinerja pemberantasan korupsi, Indonesia Corruption Watch (ICW) sempat menyentil Corruption Perception Indeks (CPI) Indonesia yang cenderung stagnan pada masa kepemimpinan Agus Rahardjo. Skor CPI Indonesia dari tahun 2015-2018 berturut-turut adalah 36, 37, 37 dan 38. Jauh dari target pimpinan yang menginginkan skor CPI kita mencapai angka 50.

ICW juga sempat menyinggung 18 kasus besar yang masih mangkrak di KPK. Misalnya kasus suap Pertamina, Bank Century, suap pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia, kasus hibah kereta api dari Jepang di Kementerian Perhubungan, proyek pengadaan alat kesehatan di Kementerian Kesehatan, kasus Pelindo II, atau kasus suap Rolls Royce ke pejabat PT Garuda Indonesia.

Namun ICW mengapresiasi sektor penindakan yang dilakukan oleh KPK di era Agus, yang cenderung meningkat setiap tahunnya. Sepanjang tahun 2018, KPK telah menetapkan 261 orang sebagai tersangka dengan jumlah kasus sebanyak 57. Tertinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, yang hanya menetapkan 128 orang sebagai tersangka dan hanya 44 kasus.

Beberapa kasus besar yang cukup mengejutkan adalah Korupsi E-KTP yang menjerat Ketua DPR RI Setya Novanto (2015), Kasus suap Reklamasi yang menjerat Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi (2016), Kasus PLTU Riau-1 yang menjerat Dirut PLN Sofyan Basir dan Menteri Sosial   Idrus Marham (2018), dan Korupsi dugaan suap dana hibah KONI yang kini menjerat Menpora Imam Nahrawi (2019).

Agus mengatakan, tidak mudah bagi pimpinan KPK dalam menangani setiap kasus yang melibatkan orang-orang besar. Selain membutuhkan waktu yang lebih lama dan rumit, tekanan dari pihak-pihak luar juga semakin besar.

“Kalau kasusnya besar, melibatkan orang penting dan orang besar, penanganannya pasti susah sekali dan lama. Pressure-nya juga cukup kuat. Baik pada saya sendiri maupun pada lingkungan saya dan keluarga saya,” kata Agus.

Karena itu, menjadi pimpinan KPK telah banyak mengubah hidupnya. Ia harus menjaga jarak dengan banyak orang, terutama pihak-pihak yang rentan tersandung kasus di KPK. Selain itu, Agus juga harus membatasi aktivitasnya di ruang publik.

“Sebelumnya saya enggak pernah pakai topi, tapi gara-gara kalian (wartawan) saya jadi lebih sering pakai topi kemana-mana,” kata Agus.

Desember nanti, Agus dan tiga pimpinan lainnya bakal purna tugas di KPK. Masih menjadi teka-teki, apakah Agus tetap bekerja di lembaga tertentu atau benar-benar menikmati masa pensiunnya. Agus mengatakan, “Dari awal saya tidak pernah merencanakan mau kemana. Berjalan saja mengikuti arus. Nanti kalau ada pengabdian di tempat lain, yang bisa memberi manfaat kepada masyarakat, pasti akan saya lakukan.”

Tapi dua rekan Agus, Alex Marwata dan Laode, kompak menebak bahwa Agus kemungkinan besar akan serius mengurus bisnis keramba ikannya di Teluk Lampung. Usaha itu sudah ia rintis empat tahun lalu saat pensiun dari PNS.

“Dia hobi bercocok tanam dan beternak ikan. Dia mau lanjutkan pemeliharaan ikan Kerapu yang sudah lama dia kerjakan. Aku pikir itu yang akan dia kerjakan untuk selanjutnya,” kata Laode. 

Bahan rujukan: CNN Indonesia, Tagar.id, Viva News

(Januardi Husin\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar