`Rumitnya` Ungkap Kematian Dua Mahasiswa Kendari

Sabtu, 19/10/2019 15:40 WIB
Randi, Mahasiswa Universitas Halu Oleo gugur saat melakukan aksi unjuk rasa di Gedung DPRD Sulawesi Tenggara, Kota Kendari, Kamis (26/9/2019). (Harianaceh.co.id)

Randi, Mahasiswa Universitas Halu Oleo gugur saat melakukan aksi unjuk rasa di Gedung DPRD Sulawesi Tenggara, Kota Kendari, Kamis (26/9/2019). (Harianaceh.co.id)

Jakarta, law-justice.co - Pelaku di balik meninggalnya dua mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra), pascabentrokan usai unjuk rasa pada 26 September 2019 nampaknya masih sulit diungkap polisi.

Hingga kini, polisi belum berhasil mengetahui siapa yang menewaskan Randi (21) dengan tembakan di dada kiri bawah ketiak hingga tembus dada kanan dan Muhammad Yusuf Kardawi (19) yang meninggal akibat luka parah di kepala.

Polisi saat ini masih berkutat melakukan sidang disiplin enam orang anggotanya yang berstatus terperiksa. Mereka adalah perwira berpangkat AKP berinisial DK dan lima anggota berpangkat bintara masing-masing GM, MI, MA, H, dan E.

GM, MI, MA, H, dan E menjalani sidang disiplin di Kendari pada Kamis (17/10/2019). Sedangkan DK akan melakoni agenda serupa pada Jumat (18/10).

Kabid Propam Polda Sultra AKBP Agoeng Adi Koerniawan menyebut, kelima anggota Reskrim Polres Kendari itu dinilai melanggar peraturan disiplin anggota Polri Pasal 4 huruf D, F dan L.

Bunyi pasal 4 huruf D, F dan L adalah melaksanakan tugas sebaik-baiknya dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab. Menaati segala peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku dan menaati perintah kedinasan yang sah dari atasan yang berwenang.

"Perintah pak Kapolri, pada saat pengamanan unjuk rasa tidak boleh membawa senjata api. Tapi faktanya berdasarkan hasil pemeriksaan, mereka diduga membawa senjata api," katanya seperti melansir beritagar.id.

Menurut Agoeng, sejumlah saksi akan dihadirkan dalam sidang disiplin itu. Namun, saksi dimaksud justru dari internal Polri. "Sampai sekarang, pihak mahasiswa tidak ada yang menghadiri," tuturnya.

Terbukti menembak

Sementara itu, Karo Provos Dit Propam Mabes Polri Brigjen Hendro Pandowo menyebut enam polisi ini terbukti membawa senjata saat aksi 26 September 2019 lalu. Mereka menembak tiga kali ke udara. "Dua dari tiga orang menembak ke atas," katanya.

Belakangan, setelah diperiksa, keenam polisi yang membawa senpi ini diketahui tidak ikut apel sebelum pengamanan demonstrasi. Padahal nama mereka masuk dalam surat perintah (sprint).

"Mereka langsung bergabung dengan teman-temannya di DPRD Sultra. Padahal, dalam apel itu, Kapolres Kendari mengingatkan untuk tidak membawa senjata api," jelasnya.

Hendro mengklaim berdasarkan keterangan keenam polisi itu, tidak seorang pun menembak mahasiswa --termasuk Randi dan Yusuf. "Tidak mengakui menembak (mahasiswa)," katanya berdalih.

Namun keterangan Hendro ini bertolak belakang dengan video rekaman yang diperoleh Beritagar.id. Berdasarkan video, bunyi tembakan terdengar sampai 11 kali.

Merujuk hasil investigasi Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Randi dan Yusuf meninggal karena tertembak peluru tajam. Namun, Hendro mengaku belum tahu soal laporan KontraS.

Dan jika benar dua mahasiswa itu ditembak, polisi perlu melakukan uji balistik. Selongsong dan proyektil pun akan diuji balistik di Australia dan Belanda.

Hendro mengatakan uji balistik di luar negeri ini adalah demi objektivitas investigasi Mabes Polri. Sementara Kapolda Sultra Brigjen Pol Merdisyam menyebut pemilihan Australia dan Belanda karena mereka punya alat yang canggih.

"Independen dan tidak ada intervensi. Karena terperiksa adalah anggota Polri. Jika diperiksa mabes Polri bisa diragukan hasilnya," ujar Hendro menjelaskan.

Namun, saat ditanya kapan alat bukti itu dikirim ke Australia dan Belanda, Hendro mengaku belum tahu karena ditangani tim Bareskrim Mabes Polri. "Prosesnya sudah berjalan, saya dan rekan saya akan mengecek," tuturnya.

Kepercayaan pada polisi bisa turun

Sementara itu, Kepala Divisi Pembelaan HAM KontraS Arif Nur Fikri mencoba membandingkan proses uji balistik kasus 26 September di Kendari dan peristiwa 21-23 Mei di Jakarta. Peristiwa di Jakarta juga memakan korban jiwa akibat tembakan.

"Pertanyaannya kita tidak pernah mendapatkan informasi terkait uji balistik dalam peristiwa 21-23 Mei sampai ke Belanda atau Australia," kata Arif dalam pesan melalui aplikasi Whatsapp.

Jika proses pengujian ini merupakan langkah serius pihak kepolisian, maka perlu diapresiasi. Hanya saja, Arif menilai janggal jika dibandingkan dengan kasus 21-23 Mei yang sampai saat ini tidak diketahui dalang penembakannya.

Menurut Arif, bila polisi tidak bisa mengungkap penembakan dua mahasiswa UHO, ketidakpercayaan publik terhadap kinerja polisi akan bertambah.

"Khususnya terkait proses transparansi dan akuntabilitas serta memenuhi hak atas keadilan bagi kedua keluarga korban," pungkasnya.

Adapun Aliansi Mahasiswa Sultra Bersatu kembali menggeruduk Mapolda Sultra untuk mempertanyakan perkembangan pengungkapan kasus kematian Randi dan Yusuf, Kamis (17/10). Koordinator aksi Rahman Manangkiri menyebut, polisi terkesan tidak serius mengungkap kasus ini.

"Bagaimana mungkin masyarakat bisa percaya kepada polisi, sementara polisi sendiri tidak percaya sama dirinya sendiri. Buktinya, mereka memilih uji balistik ke luar negeri," kata Rahman.

(Ade Irmansyah\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar