Muhammad AS Hikam:

Perppu KPK, Jokowi akan Ikuti Kemauan Parpol dan Oligarki

Rabu, 09/10/2019 10:32 WIB
Ilustrasi (Koran Tempo/Islami.co)

Ilustrasi (Koran Tempo/Islami.co)

law-justice.co - "Men make their own history, but they do not make it as they please; they do not make it under self-selected circumstances, but under circumstances existing already..." (Karl Marx, "The 18th Brumaire of Louis Bonaparte.")

Dikabarkan oleh media bahwa Fraksi PDIP di DPR RI resmi kompak menolak penerbitan Perpu KPK oleh Presiden Jokowi (PJ). Berita tsb sejatinya sama sekali tak mengejutkan, setidaknya untuk saya. Mengapa? Karena beberapa pentolan politisi partai berlambang banteng tersebut telah menyatakan pandangan sama secara terpisah-pisah. Toh signifikansi politik penolakan resmi itu perlu dicermati.

Kekompakan FPDIP adalah salah satu gambaran tentang bagaimana "positioning" para elite PDIP, khususnya PJ, dalam konstelasi pemerintahan pasca Pilpres 2019. Fokus saya adalah dinamika pergulatan politik dalam isu penerbitan Perpu KPK yang sempat digagas oleh PJ pasca ketok palu DPR yang mengesahkan UU KPK baru hasil revisi UU lama.

Tesis utama saya adalah bahwa dalam periode ke dua pemerintahannya, kendati PJ menang telak sebagai RI-1, tetapi kekuasaan riil beliau tak berada di atas pimpinan partai, terutama PDIP. Perolehan suara rakyat yang memilih beliau secara langsung dalam Pilpres 2019 adalah 55%, perolehan yang jelas mengatasi semua parpol termasuk PDIP. Dalam konstelasi politik riil, sayangnya, toh posisi petugas partai yang diberikan terhadap PJ bergeming dan semakin akan ditegaskan dalam proses pengambilan keputusan strategis.

Fakta "keras" politik ini merupakan hasil dari hubungan dialektika antara struktur dan agensi yang dalam hal ini berupa relasi parpol dan presiden. Selama nyaris lima tahun terakhir ini pihak yang disebut pertama, berhasil tampil lebih dominan ketimbang yang disebut terakhir. Gampangnya, PJ memang Presiden, yang menurut konstitusi adalah orang pertama dalam pemerintahan, tetapi karena partai berhasil memosisikan beliau sebagai petugas partai, maka secara riil politik PJ mesti tunduk kepada, dan berada di bawah kontrol sepenuhnya dari, partai yang dalam hal ini diwakili oleh sang Ketum DPP.

Secara pribadi sebagai tokoh dan pemimpin, PJ bukanlah seorang Gus Dur (GD), atau Mega, atau SBY, apalagi Suharto yang semuanya adalah pemimpin parpol saat menjadi Presiden. GD kendatipun memimpin parpol yang tak besar, PKB, tetapi memiliki basis massa riil yang sangat besar yakni kaum nahdliyyin dan non nahdliyyin yang mendukungnya. PJ tidak memiliki keduanya. Suara pemilih, yang secara legal konstitusional sangat kuat, tak bisa serta dikonversi menjadi kekuatan politik riil sebagaimana kader parpol atau massa.

Dari dimensi kapasitas kharisma, komponen yang masih sangat penting dalam kepemimpinan di Indonesia, PJ jelas memilikinya. Tetapi jika dibandingkan dengan para mantan Presiden diatas, rasanya juga belum setara kendati kemungkinan menuju ke sana bukannya tertutup.

Konsekuensi dr dialektika egensi dan struktur tersebut adalah bahwa kemauan dan upaya PJ utk melangkah "melampaui" kehendak partainya akan memunculkan dilema bagi beliau: Akankah resikonya bisa dihadapi PJ sendirian, atau justru sebaliknya yakni keterasingan dari parpol pendukung dan elit politik lain?

Fakta yang nyata lainnya adalah bahwa PJ bukan seorang politisi yang punya jam terbang tinggi di kancah nasional dalam lingkaran elit politik saat ini. Beliau bisa muncul dan besar dengan mengandalkan pada popularitasnya sebagai sosok pemimpin bersih, merakyat, sederhana, dan kerja keras. Namun politik tetap saja merupakan dunia yang masih "asing" dan mungkin juga memusingkan beliau. Ironisnya, dan beda dengan para pemimpin sebelumnya, nyaris tak ada tim khusus yang beliau bentuk untuk membantu membangun kekuatan mandiri vis-a-vis parpol dan kelompok oligarki yg sangat berpengaruh.

Pilihan PJ dalam dinamika relasi politik elite jadinya tak terlalu banyak. Kalau beliau nekad melawan parpol dan oligarki, hasilnya adalah ketidaksinkronan dan disharmoni dalam pemerintahan. Kalau menerima dan tunduk kepada keduanya maka keberlangsungan presidensinya akan terjamin. Namun hal itu mungkin harus ditebus dengan tergerusnya populartias sebagai pemimpin yang mandiri di mata sebagian rakyat, yang bisa jadi berpotensi membesar seiring dengan waktu dan dinamika politik yang ada!.

Dengan adanya dilema itu, menghadapi kontroversi terkait penerbitan Perpu KPK ini, saya makin cenderung memperkirakan bahwa PJ akan memilih jalan pragmatis dengan mengikuti kemauan parpol dan oligarki. Adalah sebuah keajaiban politik jika PJ memilih mengabaikan partainya dan tetap menerbitkan Perpu KPK.

Barangkali lamanya PJ mengumumkan keputusannya, bukan karena beliau masih harus bernegosiasi atau meyakinkan pihak parpol, tetapi lebih karena beliau mencari cara terbaik agar tak mengecewakan masyarakat sipil yang mendukung beliau. Khususnya mereka yang masih berharap dan percaya kepada komitmen beliau terhadap penguatan demokrasi dan pemberantasan korupsi di negeri ini.

Akankah beliau berhasil dalam upaya meyakinkan masyarakt sipil dan kelompok pro demokrasi? Kita lihat saja nanti. Yang jelas, pilihan harus ditetapkan PJ dengan segala resikonya. Dan kekompakan FPDIP adalah pertanda yang kuat bahwa struktur, bukan agensi, yang unggul (prevailed) saat ini. Wallahu a`lam.

Muhammad AS Hikam adalah mantan Menteri Negara Riset dan Teknologi pada Kabinet Persatuan Nasional.

(Tim Liputan News\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar