Dr. Socratez S.Yoman, Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua; Pelanggaran Berat HAM dan Sejarah Pepera 1969

Akar Persoalan Papua; Rasialis,Kapitalis,Kolonialis & Militerisme

Selasa, 24/09/2019 00:01 WIB
Aksi protes atas penyerbuan dan ucapan rasis terhadap mahasiswa Papua di Surabaya (Faja.co.id)

Aksi protes atas penyerbuan dan ucapan rasis terhadap mahasiswa Papua di Surabaya (Faja.co.id)

Papua, law-justice.co - Pada artikel ini, penulis menulis dengan judul artikel: Akar Persoalan Papua: Rasialisme, Kapitalisme, Kolonialisme dan Militerisme, Pelanggaran Berat HAM dan Sejarah Pepera 1969.  Ini semua sebagai akar masalah yang sebenarnya yang membelenggu, melumpuhkan,  menghancurkan dan juga terjadi proses pemusnahan etnis  rakyat dan bangsa West Papua secara sistematis, terpogram, terstruktur digalakkan oleh penjajah Indonesia dengan berlindung dibalik jargon "NKRI" harga mati dan kedaulatan Negara.

Apakah benar Rasisme, Kapitalisme, Kolonialisme dan Militerisme, Pelanggaran Berat HAM dan Sejarah Pepera 1969  adalah AKAR MASALAH West Papua? Para pembaca yang mulia dan terhormat, ikuti ulasan-ulasan berikut, tapi penulis tidak akan membahas dua topik, yaitu Pelanggaran Berat HAM dan Sejarah Pepera 1969.

RASISME ialah musuh utama dunia. Rasisme ialah musuh semua umat manusia apapun latar belakang dan status sosialnya. Perbuatan rasisme yang merendahkan martabat manusia adalah melawan Hukum TUHAN dan melawan TUHAN. Ujaran rasisme adalah kejahatan kemanusiaan yang luar biasa. Ujaran rasisme membangkitkan kemarahan seluruh umat manusia di planet ini. Karena semua umat manusia yang beragama dan beriman bahwa manusia adalah gambar dan rupa Allah. Seperti dalam pendahuluan Kitab Suci, undang-undang orang Kristen.

Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita..."(Kejadian 1:26). Lebih lanjut TUHAN Allah berfirman:
"Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia. ...Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawahnya kepada manusia itu."(Kejadian 2:18,21-22).

Dari kedaulatan dan perspektif TUHAN Allah sudah jelas dan sempurna. Kita semua adalah dijadikan oleh TUHAN Allah sesuai gambar dan rupa-Nya. Karena keyakinan iman kita  bahwa nilai kemanusiaan lebih tinggi dalam perspektif Allah  maka tindakan rasisme dan kekerasan terhadap mahasiswa Papua di Malang, Surabaya, Jogyakarta dan Semarang pada 15-17 Aguatus 2019 yang dilakukan oleh organisasi massa radikal seperti: Front Pembela Islam (FPI), Pemuda Pancasila (PP), Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI (FKPPI) dan didukung oleh aparat keamanan setempat telah memicu kemarahan rakyat dan bangsa West Papua dengan kelompok solidaritas dengan demonstrasi damai di Tanah Papua, kota-kota studi di luar Papua hingga beberapa kota di Luar Negeri, di kawasan Pasifik, Asia Tenggara, Eropa, Afrika dan Amerika Serikat.

Perlakuan rasisme terhadap pemain Persipura di luar Papua terjadi di depan Negara dan aparat keamanan, tapi Negara dan aparat keamanan TNI-Polri selalu diam seribu bahasa. Rasisme terhadap Natalius Pigai: Foto Natalis Pigai digandengkan dan disejajarkan dengan foto Monyet yang sudah viral tapi Negara dan aparat TNI-Polri membisu 1000 bahasa.

Ujaran rasisme terhadap "pahlawan nasional" katanya menurut  Indonesia: Frans Kaisepo dalam mata uangnya  Indonesia Rp 10.000. Nurazisah Asril dalam akunnya: "Saya tidak setuju dengan gambar uang baru yang mukanya menyerupai monyet.!!! Bukannya memasang wajah pahlawan malah memasang wajah seperti itu." Ujaran rasisme yang dilandasi kebencian ini yang sudah menjadi viral, tetapi para penguasa dan aparat keamanan membiarkannya dengan diam dan membisu.

Negara dan aparat keamanan membiarkan pelaku kriminal dan pembunuh orang asli dari Kelompok Warga Nusantara/Milisi Merah Putih di Jayapura pada 29-30 Agustus yang menewaskan Evert Mofu, Marcellino Samon, Maikel Kareth dan banyak luka-luka serius. Aparat TNI-Polri juga menembak mati 7 orang dan 1 orang luka berat di Deiyai pada 28 Agustus 2019: Nama-nama korban: Yustinus Takimai (17), Aminadab Kotouki (24), Hans Ukago (25), Marinus Ikomou (35), Alpius Pigai (29), Ev. Derison Adii (24), Pilemon Waine (19) dan Yemi Douw (23/luka tembakan).

Tindakan dan perilaku rasisme Negara dan aparat TNI-Polri terbuka dan telanjang. Perlakuan kriminal dari TNI-Polri dan Barisan Nunsansara/Milisi Merah Putih dibiarkan. Sebaliknya, para pemrotes rasisme dan pemimpin pejuang keadilan, perdamaian, kesamaan derajat dan martabat manusia dikejar, ditangkap, dipenjarakan dan dikriminalisasi. Kejahatan Negara dan aparat keamanan TNI-Polri berjalan telanjang di siang bolong.

Demo melawan Rasisme di Wamena dan Jayapura 23 September 2019. Dalam menyikapi demo damai melawan Rasisme ini disikapi dengan sikap aparat keamanan yang rasis dan represif. Watak dan perilaku rasisme aparat TNI-Polri/Brimob terlihat pada hari ini. Beberapa siswa SMP dan SMA dan mahasiswa ditembak mati dan yang lain luka-luka. Selain ditembak mati aparat keamanan dengan watak rasisme menjemur mahasiswa di depan matahari dengan mata menghadap matahari.

Perbuatan sangat tidak manusiawi, biadab, kejam dan kental dengan kebencian dilatarbelakangi dengan ras Melayu  yang lebih manusiawi dengan ras  Melanesia yang sama dengan monyet, anjing, babi dan kera. Karena itu ditembak mati tidak masalah, dijemur di matahari tidak salah dan direndahkan martabat tidak berdosa karena ras Papua bukan manusia.

Kapitalisme. Rakyat dan bangsa West Papua tidak saja menjadi korban rasisme sebagai akar persoalan, tetapi juga menjadi korban kepentingan kapitalisme global/internasional. Greg Paulgrain dalam bukunya Bayang-Bayang Intervensi Perang Siasat John F.Kenney dan Allen Dulles atas Sukarno (2017) menulis sebagai berikut.

Dag Hammarskjold, Sekretaris Jenderal PBB di 1961 dibunuh dalam perjalanan di Kongo pada 17/18 September 1961 hanya karena kepentingan ekonomi, tambang emas di Papua, Allan Dulles, Kepala CIA Amerika terlibat dalam kematian Hammarksjold. John F. Kennedy ditembak  mati hanya karena perdebatan/perebutan emas di West Papua, tentu ada alasan dan kepentingan lain.

Presiden pertama, founder father, Ir. Sukarno kehilangan kursi kepresiden dengan isu bahaya Komunisme karena kepentingan Kapitalisme global, terutama emas di West Papua. Jonathan Rumbiak yang lebih populer John Rumbiak sebagai pelopor, pejuang dan perintis Hak Asasi Manusia di West Papua  dilumpuhkan karena konspirasi kepentingan Kapitalisme global, terutama emas di West Papua.

Para pejuang dan pahlawan keadilan dan perdamaian rakyat dan West Papua dari Arnold Clemens Ap dan kawan-kawan sampai peristiwa penembakan dan pembunuhan rakyat Papua pada bulan Agustus 2019 HANYA kepentingan Kapatalisme/ekonomi atau emas di West Papua. Penguasa dan aparat keamanan TNI-Polri berpandangan bahwa monyet-monyet  HARUS dibasmi dengan berbagai cara yang wajar dan tidak karena menghalangi kebebasan mereka untuk merampok, mencuri dan menjarah emas di perut bumi West Papua. 

Kolonialisme. Sudah jelas dan pasti bahwa pendudukan dan penjajahan Indonesia di West Papua ialah kepentingan ekonomi, politik dan keamanan. Herman Wayoi, pelaku dan saksi sejarah dan juga orang West Papua terpelajar tahun 1960an mengabadikan dengan tepat: "Pemerintah Indonesia hanya berupaya menguasai daerah ini, dan menggantinya dengan Etnis Melayu dari Indonesia.

Hal ini terbukti dengan mendatangkan transmigrasi dari luar daerah dalam jumlah ribuan untuk mendiami lembah-lembah yang subur di Tanah Papua. Dua macam operasi yaitu Operasi Militer dan Operasi Transmigrasi menunjukkan indikasi yang tidak diragukan dari maksud dan tujuan untuk menghilangkan Ras Melanesia di tanah ini.

Rakyat Papua yang terbunuh dalam operasi-operasi militer di daerah-daerah terpencil atau pelosok pedalaman dilakukan tanpa prosedur dan pandang bulu apakah orang dewasa atau anak-anak. Memang ironis, ketidakberpihakan hukum yang adil menyebabkan nilai orang Papua dimata aparat keamanan Pemerintah Indonesia tidak lebih dari binatang buruan" (Sumber: Pemusnahan Etnis Melanesia: Yoman, 2007, hal. 143).

Nilai orang Papua dimata pemerimtah dan aparat keamanan Indonesia tidak lebih dari binatang buruan dilatari dan didukung dengan pandangan dan keyakinan rasisme terhadap orang-orang asli Papua. Penguasa dan aparat keamanan TNI-Polri menilai rendah orang Papua sebagai ras yang paling rendah di bumi ini, maka harus dimusnahkan dengan moncong senjata.

Dengan semangat dan keyakinan pemerintah dan aparat keamanan Indonesia yang sudah mengakar seperti itu: Rakyat Papua diberikan stigma dan mitos seenak nya, semaunya dan sesukanya selama ini. Contoh: Mitos primitif, terbelakang, terbodoh, tertinggal, belum maju, belum bisa, GPK, GPL, OPM, Separatis, Makar, KKSB dan monyet, kera dan bermacam-macam ujaran kebencian yang dimunculkan selama ini.

Bukti kekejaman dan brutalnya Indonesia dan aparat keamanan terlihat juga dalam proses pelaksanaan Pepera 1969.  Kekejaman Indonesia itu dilatari merasa superior dan juga manusia dan menanggap orang Papua manusia kelas dua setara dengan monyet dan kera. Pandangan dan keyakinan rasisme Indonesia sudah terlihat dalam pelaksanaan Pepera 1969 penuh rekayasa dan konspirasi kejahatan kemanusiaan ini.

Militerisme. Amiruddin al Rahab dalam bukunya Heboh Papua: Perang Rahasia, Trauma dan Separatisme memberikan kesimpulan dengan sempurna: "ABRI: Wajah Indonesia di Papua (hal.41) ...Papua berintegrasi dengan Indonesia dengan tulang punggungnya pemerintahan militer (hal.42)..."ABRI adalah Indonesia, Indonesia adalah ABRI" (hal. 43). "...Freeport adalah militer" (hal. 46) dan "....Transmigrasi adalah militer" (hal.46).

Tidak rahasia umum, " Transmigrasi yang didalamnya juga masuk keluarga ABRI dan para pensiunan ABRI kian membuat orang takut sekaligus merasa tanahnya dirampas. Para purnawirawan ABRI yang ikut dalam pemukiman transmigrasi sekaligus menjadi intel Kodam 17 Cenderawasih dalam mengawasi daerah itu." (Yoman, 2007, hal. 418).

Operasi militer Indonesia di West Papua itu terbukti dengan didatangkannya ribuan anggota TNI dan Brimob ke West Papua pada bulan Agustus-September 2019 untuk menekan rakyat dan bangsa West Papua tidak menentang  RASISME sebagai akar persoalan bangsa West Papua yang disembunyikan selama ini. 

Negara dan aparat keamanan Indonesia bekerja sekuat tenaga untuk pengalihan dan pembolokkan akar persoalan, yaitu RASiSME, salah satu contoh:  Negara melalui BIN membawa 61 orang Papua  ke Jakarta pertemuan dengan Presiden Ir. Joko Widodo di Jakarta dengan tuntutan yang tidak ada relevansi dan keadaan yang dihadapi dan dialami rakyat Papua.

Kesimpulan

Rasisme adalah musuh Allah. Rasisme sebagai musuh seluruh umat manusia. Rasisme ialah kejahatan kemanusiaan. Rasisme ialah musuh orang Muslim, musuh orang Hindu, musuh orang Budha, musuh orang Konghucu, musuh kaum Atheis, musuh orang Kristen. RASISME ialah musuh kita bersama sebagai umat manusia. Mari kita sama-sama lawan dan brantas RASISME.

Akar Persoalan rakyat dan bangsa West Papua selama 57 tahun sejak 1961 ialah RASISME bukan Separatisme. Pemerintah dengan aparat keamanan  selama ini dengan sekuat tenaga dengan berbagai siasat menyembunyikan RASISME dengan stigma  separatis, makar dan OPM. Persoalan RASISME selalu ditutupi dengan persoalam politik, yaitu NKRI harga mati. Yang jelas dan pasti: Akar permasalah konflik di West Papua yang paling utama ialah RASISME.

Doa dan harapan saya, artikel ini menjadi berkat dan sedikit memberikan pencerahan kepada semua pihak. Tuhan memberkati Indonesia dan Rakyat Papua...

(Editor\Roy T Pakpahan)

Share:




Berita Terkait

Komentar