Kajian Awal dari Ridwan al-Makassary:

Hizbut Tahrir Indonesia dan Banser NU dalam Kisruh Papua 2019

Jum'at, 06/09/2019 00:21 WIB
Demo berakhir rusuh di Manokwari, Papua (Liputan6)

Demo berakhir rusuh di Manokwari, Papua (Liputan6)

law-justice.co - Kisruh Tanah Papua (baca: Papua dan Papua Barat) 2019 adalah kado pahit di Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) yang ke-74. Beberapa oknum yang meneriakkan kata “monyet” dalam aksi “insiden Bendera Merah Putih”, yang katanya “tergeletak di selokan” pada 16 Agustus 2019, di depan asrama Papua Kamasan III Surabaya, telah memantik gelombang demonstrasi anti-rasis di Papua.

Murungnya demo damai, yang memobilisasi massa orang asli Papua dalam jumlah besar, telah bersalin rupa (baca: ditunggangi kelompok Papua merdeka) menjadi demo anarkis di Manokwari, Sorong, Deiyai dan kota Jayapura; untuk menyebut beberapa. Berbagai penjelasan telah terbit guna memahami akar penyebab kisruh tersebut.

Pemerintah RI menuding Benny Wenda, tokoh ULMWP yang memperjuangkan separatisme Papua di luar negeri, sebagai otak di belakang gelombang demonstrasi anarkis. Sebagian lagi, melalui analisis intelijen, menilai penyebabnya adalah negara adidaya yang menggunakan proxy war dan beberapa teori konspirasi lainnya. Teori konspirasi menarik dibaca tapi acap gagal membaca fenomena yang terjadi.

Ada pula yang menunjuk batang hidung keluarga Cendana, terutama Tommy Soeharto sebagai dalang. Bahkan, terdapat klaim keterlibatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dalam kisruh Papua dan Papua Barat. Misalnya seorang politisi Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Teddy Gusnaidi, yang menyatakan bahwa pendukung HTI yang mengompori dan memframing agar terjadi gejolak dengan cara menyebarkan foto-foto OPM.

Perlu dicamkan bahwa HTI saat ini telah dilarang oleh negara pada Mei 2017, mengikuti pelarangan di berbagai negara Muslim di dunia. Hanya di negara multikultur, seperti Inggris dan Australia mereka bebas bergerak selama tidak melanggar hukum setempat.

Karenanya, perspektif yang lebih luas tentang sejarah, dinamika dan pergerakan HTI di Tanah Papua diperlukan untuk menilai peran HTI dalam kisruh Papua. Selain itu, hiruk pikuk Banser NU yang diminta dibubarkan di Papua, dalam tuntutan kelompok Papua Mrdeka di Sorong, akan dikaji singkat. Ada upaya yang mempertautkan upaya pembubaran Banser NU dengan HTI, di mana sejarah perjumpaan keduanya acap bermusuhan di tanah air. 

Secara historis, tidak ada dokumen terulis yang menjelaskan detil kapan, bagaimana dan siapa pembawa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) ke Papua. ICG (2008) hanya menyebutkan HTI dibawa ke Papua pada awal tahun 2000-an oleh aktivis dari Jawa dan Sulawesi yang datang bekerja di Papua.

Selain itu, disebutkan pada Agustus 2007 terdapat 300 orang peserta dari Papua yang telah menghadiri konferensi internasional HTI di Stadium Utama di Jakarta. Osman (2018), penulis prolific HTI, hanya menyebutkan keterlibatan "evangelis” Islam, ustad Fadhlan Garamatan sebagai penganjur Islamisasi dan disokong HTI dalam kegiatannya di Papua. 

Sejatinya, penyebaran HTI di Indonesia, termasuk di Papua, tidak terlepas dari transmisi dakwah. Menurut Ismail Yusanto, Juru bicara HTI, penyebaran HTI di Papua terkait dengan transmisi dakwah, di mana para aktornya adalah para alumni daerah yang berkuliah di berbagai universitas di Jawa.

Bibit-bibit HTI di Indonesia, menurut Yusanto, telah disemai dari kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Gadjah Mada (UGM), yang menyebar hingga ke ujung timur Indonesia. Jika mencermati transmisi dakwah tersebut, maka mungkin saja HTI sudah hadir di Papua sebagai pemikiran sebelum era reformasi 1998, dalam bentuk organisasi bawah tanah (underground organization).

Yusanto menceritakan pada penulis bahwa tahun 1998 sebelum reformasi, beliau telah diundang mengisi sebuah pengajian di salah satu masjid di Abepura, kota Jayapura, yang kemungkinan pengundanya tertarik pada ajaran HTI. 

Aktivis HTI terkemuka di Papua adalah Jafar Abdullah. Seorang informan menjelaskan bahwa tahun 1999 dan 2000an Jafar telah menyebarkan ide khilafah di wilayah Abepura. Masa itu, Jafar telah mengaum di mimbar-mimbar Jum’at di kota Jayapura. Dia memiliki pengikut yang cukup banyak dengan seringnya dia berceramah di masjid-masjid atau diundang memberi pengajian di rumah-rumah.

Dalam nada yang sama, Tony Wanggai, Ketua Nahdlatul Ulama (NU) Papua dan anggota Majelis Rakyat Papua (MRP), menyatakan telah berjumpa dengan Jafar tahun 2005, dalam sebuah rapat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Papua. 

Senada dengan itu, Idrus Al-Hamid, Rektor STAIN Al-Fatah, menyebutkan bahwa Jafar adalah salah satu mahasiswanya dan juga ketua HTI Papua. Namun, Jafar yang bernama asli Sandhy, telah dikeluarkan dari STAIN Al-Fatah dan telah pindah ke Timika dan terakhir pindah ke Sorong pada tahun 2011. Dus, dia telah berkuliah di STAIN Sorong.

Dugaan penulis, Jafar ini juga yang mungkin menyebarkan HTI di Sorong. Temuan saya menunjukkan bahwa jumlah anggota HTI di Sorong lebih besar dari kota Jayapura, selain kantor HTI yang megah di sana. Mungkin saja selebaran yang meminta Banser NU dibubarkan adalah perbuatan anggota HTI Sorong, meskipun perlu dibuktikan lebih jauh.

Apa motivasi yang melatarbelakangi masuknya HTI di Papua? Jika dilihat dari populasi Muslim sebagai minoritas, dan juga sebagian besar Muslim sudah merupakan kantong pendukung ormas Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, LDII, dan ormas-ormas lain yang lebih kecil, maka Papua tampaknya bukan sebuah tempat yang subur untuk penyebarannya.

Selain itu, Papua juga dikenal sebagai satu wilayah yang penduduknya mayoritas adalah Kristen. Satu penjelasan adalah hadirnya HTI di Papua lebih berkaitan dengan prestise, nilai jual dan eksistensi daripada keinginan mendapatkan jumlah pengikut yang besar. 

Menurut Tony Wanggai, masuknya HTI di Papua memiliki nilai jual, bargaining positionyang tinggi di mata dunia, karena Papua menjadi “epicentrum“ ekonomi politik dunia. Hal itu terjadi, menurut Wanggai, karena di Papua ada bisnis internasional yang dikelola PT Freeport sejak 1967, di mana di situ ada tambang emas terbesar, emas, perak, tembaga dan sebagainya. Juga, di Papua Barat ada LNG Tangguh milik Inggris. Adanya aset negara asing tersebut, yang membuat konflik kepentingan negara-negara asing meruncing di Papua. 

HTI bertumbuh kembang pada 2005, yang menyasar kampus dan masjid. Belakangan, merangsek instansi pemerintahan dan kompleks perumahan. Pada hari Jumat masjid-masjid di kota Jayapura dan sekitarnya telah mengumumkan pengajian HTI kepada jemaah. Pada tahun yang sama, aktivis muda HTI telah menggunakan jaket-jaket bertuliskan HTI dan dipakai ke mana-mana. Sejak 2015 hingga tahun 2015, HTI leluasa bergerak di Tanah Papua. Tahun 2015 kolaborasi NU dan FKUB Papua telah mempersulit ruang gerak HTI (al-Makassary, 2016).

Paska pelarangan tahun 2017, HTI tetap bergerak dalam senyap. Ideologinya tidak layu. Buletin dakwah berganti nama dari Al-Islam menjadi Kaffah, pengajian dan halaqah terbatas masih berlangsung, meski tidak demonstratif. Para penceramah HTI masih aktif mengaum di mimbar-mimbar masjid, meski sudah tidak leluasa menyuarakan khilafah di jung khutbahnya. Sebagian pendukungnya telah menginfiltrasi berbagai isntansi pemerintahan, institusi pendidikan dan sektor swasta. Perempuan dan anak muda adalah anggota terbanyak dan ada upaya mengembangkan HTi untuk non-Muslim (Osman, 2018).

Perkembangan HTI di tanah Papua tampaknya terjadi karena pembiaran yang dilakukan oleh negara, termasuk militer Indonesia, sebelum akhirnya organisasi transnasional tersebut dilarang. Osman (2018) menulis bahwa di wilayah Papua, di mana terdapat sekelompok nasionalis Papua yang memperjuangkan self-determination, HTI, sebelum dibubarkan, merasa aman dalam menyebarkan pahamnya.

Bagi militer Indonesia, menurut Osman, “HTI’s ideal of guaranteeing that the Muslim world do not lose any of its territories is useful in ensuring that Papua remains part of Indonesia”. Karenanya, tidak mengagetkan, HTI dalam beberapa aksinya menyuarakan kecamannya terhadap kelompok yang ingin memisahkan diri dari Indonesia sebagai sebuah upaya Barat untuk menceraiberaikan Indonesia. Dengan cara ini, HTI dilihat pro NKRI dan bisa lebih diterima di Papua oleh umat Islam.

Metode penegakan khilafah HTI pada dasarnya melalui nir-kekerasan dan tidak ikut melalui jalur pemilu yang ditolaknya sebagai system kufur. Seperti halnya pandangan mereka terhadap Pancasila. Negara bangsa adalah, ”satu unit politik yang menjadi anathema bagi Isam”. Perjuangan mereka lebih pada reedukasi Muslim tentang Islam sejati di mana khilafah adalah hal utama yang hendak dicapai.

Negara Islam adalah prasayarat untuk tiba di sana, maka agenda separatisme tampaknya adalah musuh dari HTI yang terbaca dari beberapa bulletin mereka yang kencang mengecam separatisme Papua. 

Sorong, Papua Barat yang ikut memanas akibat demonstrasi yang merusak sebagian fasilitas publik, memiliki anggota dan simaptisan HTI yang cukup besar. Dalam selebaran yang berisi tujuh tuntutan kepada Pemerintah RI, salah satunya meminta Ormas Banser NU dibubarkan.

Banyak dugaan bahwa ini didesain oleh ormas garis keras, termasuk HTI. Yorrys Raweyai yang ikut menyebarkan selebaran ini telah meminta maaf, dan juga beberapa aktivis Papua melakukan hal yang sama. Hingga kini, setahu penulis, pembuat selebaran masih misterius, sehingga tudingan HTI di balik pembuat selebaran hanya dugaan semata. Boleh jadi selebaran tersebut dibuat pihak yang ingin memantik konflik horizontal.

Banser NU di tanah Papua adalah agen harmoni dan perdamaian. Kegiatan-kegiatan mereka positif, misalnya dalam mengamankan gereja pada malam natal, membantu korban bencana alam adalah bukti bahwa tidak ada justifikasi untuk melarang Banser di tanah Papua. Dengan kata lain, stigmatisasi terhadap Banser sebagai ormas yang mesti dibubarkan tidak beralasan. 

Berdasarkan uraian singkat di atas, tampaknya peran HTI dan Banser dalam kisruh Tanah Papua 2019 relatif kecil. Meskipun demikian, tidak dipungkiri, kehadiran dua ormas tersebut, dalam beberapa derajat, ikut mewarnai dinamika konflik politik yang dominan terjadi di Papua dan ke depan tidak boleh diabaikan dalam proses rekonsiliasi perdamaian yang holistik di Tanah Papua. Damai Papua Damai Indonesia.

Ridwan al-Makassary: pekerja perdamaian, co-Founder Lembaga Perdamaian Indonesia, yang sedang meneliti Islam Transnasional di Papua dengan tekanan pada Salafy Wahaby dan Hizbut Tahrir Indonesia, di University of Western Australia 

(Tim Liputan News\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar