Amandemen UUD 1945 Ada Udang Dibalik Sponsor, Siapa Dia?

Kamis, 22/08/2019 05:02 WIB
Bagaimana Kelanjutan GBHN Melalui Amandemen UUD 1945?

Bagaimana Kelanjutan GBHN Melalui Amandemen UUD 1945?

Jakarta, law-justice.co - Dalam waktu dekat ini direncanakan MPR  akan mengamandemen secara terbatas Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Termasuk didalamnya ingin menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Wacana yang sebenarnya sudah digulirkan sejak lama, namun hingga kini belum direalisasikan oleh MPR.

Padahal, pada periode MPR 2014-2019 sudah dibentuk panitia ad hoc terkait amandemen terbatas ini. Tetapi wacana itu belum juga terlaksana hingga saat akan berakhirnya masa jabatan MPR 2014-2019. Pada akhirnya MPR yang sekarang hanya bisa memberikan rekomendasi amandemen terbatas UUD 1945 untuk MPR periode selanjutnya.

Isu penghidupan GBHN  kembali mencuat saat PDIP dalam Kongres V di Bali merekomendasikan adanya amandemen terbatas dan mengembalikan fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Menurut Majalah Tempo, selain GBHN ada 4 hal  yang akan diamandemen, yaitu;

  • Menghidupkan lagi Garis-Garis Besar Haluan Negara
  • Mengembalikan lagi MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara
  • Jabatan Presiden dan Wakil Presiden hanya satu periode selama 8 tahun
  • Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR

Menimbulkan Pro -Kontra

Wacana amandemen terbatas UUD 1945 ini  telah menimbulkan pro kontra dari berbagai pihak. Mereka yang setuju amandemen seperti dinyatakan oleh Pengamat dan peneliti politik dari Indopolling Wempy Hadir, yang menilai tidak ada alasan partai politik menolak usulan mengembalikan kewenangan MPR RI dalam menetapkan GBHN. Ia berpendapat bahwa GBHN bukanlah urusan satu partai, melainkan urusan bagi keberlangsungan bangsa dan negara serta diperlukan sebagai kompas bagi pemerintah untuk melaksanakan kebijakan publik.

Selain itu, menurut dia, dengan adanya GBHN juga akan membantu presiden yang sedang bertugas maupun calon presiden di periode selanjutnya agar "stay on track" dalam menjalankan tugas dan wewenangnya untuk kemajuan bangsa.

Wempy  menilai usulan mengembalikan kewenangan MPR RI dalam menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) diperlukan sebagai kompas bagi pemerintah untuk melaksanakan kebijakan publik. Selain itu dengan adanya GBHN juga akan membantu presiden yang sedang bertugas maupun calon presiden di periode selanjutnya agar stay on track dalam menjalankan tugas dan wewenangnya untuk kemajuan bangsa.

.Menurutnya, saat ini pemerintah masih belum memiliki arah yang jelas mengenai target kesejahteraan masyarakat dapat dicapai secata merata, karena adanya perbedaan atau patahan antara satu kepemimpinan dengan kepemimpinan yang lain.

Seirama, Pengamat hukum tata negara dari Universitas Udayana Jimmy Usfunan menyebutkan terdapat beberapa masalah yang mengakibatkan perlu dihidupkannya kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Permasalahan pertama adalah pada saat ini Indonesia tidak memiliki perencanaan pembangunan nasional secara menyeluruh yang meliputi kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudisial serta pemerintah daerah.

Permasalahan lainnya adalah adanya pembangunan nasional selama ini dilakukan secara tidak berkelanjutan, dikarenakan pembuatan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sangat dimungkinkan berbeda dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) atau RPJMN sebelumnya.

Begitu juga di level daerah Provinsi maupun Kabupaten atau Kota dikatakan Jimmy juga tidak menutup kemungkinan terjadi pembangunan yang tidak sinkron."Karena keengganan dari pemimpin negara atau daerah, untuk menindaklanjuti program-program pembangunan sebelumnya," tambah Jimmy.Selain itu adanya perbedaan warna warni politik antara kepala pemerintahan, kepala daerah provinsi, dan kepala daerah kabupaten kota, menjadikan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dilakukan secara tidak sinkron dengan pemerintah pusat.

Sementara itu dikalangan partai politik sendiri rata rata menyetujui adanya rencana amandemen terbatas UUD 1945 ini. Sebagai contoh PDI Perjuangan menganggap penghidupan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam amandemen terbatas UUD 1945 bisa membawa kemajuan nasional.Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan, Indonesia adalah negara besar yang diisi pulau-pulau, yang harus dilihat sebagai satu kesatuan konsepsi pembangunan nasional.

"Haluan Negara berangkat dari penjabaran ideologi Pancasila, mengabdi pada tujuan bernegara, dan memuat hal yang pokok, berupa guiding principles, misalnya terkait politik pangan, energi, penguasaan teknologi, politik keuangan, politik pertahanan, kepemimpinan Indonesia di dunia internasional," kata Hasto  Selasa (13/8).

Di sisi lain, Ketua Umum Partai Hanura sekaligus Ketua DPD Oesman Sapta Odang (OSO) tak masalah jika kembali GBHN kembali dihidupkan lewat amandemen terbatas UUD 1945. Namun, dia mengingatkan supaya pembahasan GBHN sesuai kesepakatan pihak terkait."Ya itu boleh-boleh saja, menghidupkan kembali GBHN, siapa bilang gak boleh, tapi tentu harus sejalan dengan pemerintah, nah nanti gimana rundingan antara lembaga politik dengan pemerintah itu harus dibicarakan," kata OSO di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta beberapa waktu lalu.

Sejalan dengan Hanura, Partai besutan Prabowo Subianto, yakni Partai Gerindra juga setuju dengan pengadaan kembali GBHN. Hal itu untuk kepentingan arah negara yang lebih jelas. Sedangkan Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Kadir Karding menilai, amandemen terbatas UUD 1945 terlalu berisiko. Pasalnya, tidak tertutup kemungkinan pembahasan amandemen itu justru melebar kemana-mana."Problemnya hari ini adalah kita berada di wilayah politik. Amandemen ini bukan tanpa risiko, walaupun kita sepakati terbatas, tetapi itu bisa kemana saja," kata Karding.

Partai Golkar yang meminta wacana amandemen dikaji ulang."Melakukan amandemen bukan sesuatu yang tabu, hal yang lumrah selama itu bisa menuju kepada sesuatu yang lebih baik. Namun, mengingat yang mau kita amandemen adalah UUD 1945, maka tidak bisa gegabah dan terburu buru," kata Wasekjen Golkar Maman Abdurahman.

Adapun mereka yang kontra amandemen seperti disampaikan oleh   Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti. Ia tidak setuju GBHN dihidupkan kembali. Alasannya, pemberlakuan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sudah tidak direlevan dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku saat ini di Indonesia.

Menurut salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) itu, GBHN dulu karena merupakan mandat yang diberikan kepada presiden, ketika pimpinan eksekutif negara gagal menjalankannya terdapat konsekuensi bisa dimakzulkan oleh MPR. Dia mengambil contoh yang terjadi dengan Presiden Soekarno yang dijatuhkan oleh MPRS pada 1967 dan Gus Dur yang dimakzulkan oleh MPR pada 23 Juli 2001.

Namun, hal itu berubah setelah dilakukan amandemen undang-undang pascareformasi bahwa presiden tidak bisa dijatuhkan di tengah masa jabatannya kecuali melakukan tindakan pidana tertentu.Menurut Bivitri, amandemen konstitusi bukanlah hal tabu yang tidak boleh dilakukan, tapi harus dibuat dengan dasar apakah perubahan itu bermanfaat untuk rakyat atau tidak.

Sementara itu, pengamat politik Verri Junaedi keras menolak wacana amandemen terbatas UUD 1945. Terlebih, amandemen UUD `45 harus dilakukan hanya untuk menghidupkan kembali GBHN. Verri menjelaskan, ada sejumlah isu berkembang tentang amandemen UUD `45. Tak cuma GBHN, tapi juga ingin menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara serta pemilihan presiden kembali melalui MPR.

"Itu isu yang lagi marak, saya melihat bahwa sebenarnya urgensinya enggak ada. Karena sebenarnya sistem konstitusi kita sudah mengatur saat ini. Misalnya soal GBHN, kita sudah ada UU Perencanaan Pembangunan Nasional, itu arah pembangunan sudah diatur di situ. Bagaimana konsep pembangunan lima tahun ke depan sudah ada UU-nya sendiri," jelas Verri saat berbincang dengan merdeka.com, Selasa (13/8/2019).

Selanjutnya, isu ingin mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Menurut dia, ada sejarahnya kenapa aturan tersebut direvisi. Salah satunya, agar terjadi check and balances. "Kenapa MPR ditarik, tapi semua diposisikan setara supaya terjadi cek and balances. Eksekutif dan legislatif setara, agar antar lembaga negara bisa saling mengontrol, saling menguatkan. Kalau kemudian MPR diposisikan lembaga tertinggi kita kembali lagi seperti sistem lampau. Pada hal sudah terbukti model seperti itu tidak berjalan dengan baik," tambahnya.

Amanat Reformasi

Dalam dinamika hukum dan politik Indonesia, amandemen UUD 1945 adalah salah satu implementasi dari reformasi, sebuah semangat yang muncul pasca-tumbangnya kekuasaan Orde Baru, yang berkuasa selama tiga dekade lebih. Sejarah mencatat, sepanjang republik berdiri, proses amandemen UUD 1945 sudah dilaksanakan sebanyak empat kali.

Perubahan pertama terjadi pada 19 Oktober 1999 dan berhasil mengamandemen sembilan pasal. Beberapa bulan setelahnya, tepatnya 18 Agustus 2000, amandemen kembali dilakukan. Sebanyak 25 pasal diubah. Kemudian, pada 9 November 2001, 23 pasal diubah dalam amandemen. Terakhir, 10 Agustus 2002, proses amandemen turut mengubah 13 pasal, tiga pasal Aturan Peralihan, serta dua pasal Aturan Tambahan.

Secara garis besar bila dilihat dari segi substansi materinya, proses amandemen dapat dibagi ke dalam tiga kelompok: amandemen yang menghapus atau mencabut beberapa ketentuan; amandemen yang menambah ketentuan baru; serta amandemen yang memodifikasi ketentuan lama.

Setiap proses amandemen menghasilkan ketetapan yang berbeda-beda. Di fase pertama, misalnya, amandemen lebih berfokus untuk membatasi presiden agar tidak berkuasa dalam jangka waktu yang lama, sebagaimana yang terjadi di era Orde Baru.

Sementara di fase kedua, setidaknya ada tiga fokus yang dikerjakan: memberikan peran lebih kepada daerah melalui desentralisasi kekuasaan, menguatkan peran DPR sebagai lembaga legislatif, dan memperluas cakupan pasal-pasal yang berhubungan dengan jaminan HAM.

Selanjutnya, di fase ketiga, amandemen ditujukan untuk mengatur posisi lembaga negara. MPR, misalnya, tak lagi memegang peran untuk memilih presiden dan wakil presiden karena proses pemilihan diubah menjadi pemilihan secara langsung. Selain itu, amandemen juga mengakomodir kehadiran lembaga baru berwujud Mahkamah Konstitusi. Lalu di fase keempat, proses amandemen hanya meneruskan pembahasan di fase sebelumnya.

Tidak dapat dipungkiri perubahan UUD 1945 punya dampak hukum yang jelas, terutama dalam aspek ketatanegaraan. Perubahan tersebut terasa sampai saat ini dan ditujukan untuk menunjang kehidupan bernegara yang lebih demokratis.

Dengan amandemen UUD 1945, misalnya, MPR tak lagi berkedudukan sebagai lembaga negara tertinggi. Gantinya, kedaulatan tertinggi dipegang oleh rakyat (Pasal 1 ayat 2). Penghapusan sistem lembaga negara tertinggi, jelas Saldi, adalah “upaya logis untuk keluar dari perangkap design ketatanegaraan yang rancu dalam menciptakan mekanisme check and balances di antara lembaga-lembaga negara”.

Amandemen UUD 1945 juga turut menghapus sistem unikameral—digantikan oleh sistem bikameral. Dalam sistem tersebut, supremasi MPR ditekan. Amandemen UUD 1945 lebih menyediakan ruang untuk keterwakilan dari DPR dan DPD. DPR merepresentasikan rakyat, sementara DPD mewakili daerah.

Yang paling kentara, amandemen UUD 1945 telah mengubah proses pemilihan presiden dan wakilnya menjadi terbuka. Artinya, presiden dan wakilnya dipilih oleh rakyat secara langsung lewat mekanisme pemilu. Ini dibuat untuk mengindari pengalaman pahit selama Orde Baru ketika Soeharto berkuasa dalam waktu yang sangat lama. Imbasnya: pemerintahan berjalan secara otoriter. Dengan amandemen pula presiden bisa dimakzulkan bila terbukti melanggar ketentuan undang-undang.

Tak ketinggalan, proses perubahan UUD juga melahirkan lembaga kehakiman baru dalam wujud Mahkamah Konstitusi yang termaktub melalui Pasal 24 ayat 2 UUD 1945. Kehadiran MK melengkapi kedudukan lembaga hukum yang sebelumnya hanya dijalankan oleh Mahkamah Agung.

Ada Udang Dibalik Sponsor?

Diantara partai partai yang paling ngotot untuk adanya amandemen terbatas UUD 1945 tentu saja PDIP.  Sehingga keinginan PDIP ini dicurigai mengandung misi tertentu atau agenda terselubung yang ingin di capainya. Benarkah ?

Tapi agaknya kecurigaan ini bukan tanpa alasan karena agenda amandemen tersebut bisa berpotensi menjadi liar hingga mengembalikan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara seperti di era sebelum Reformasi.

Ngototnya PDIP untuk amandemen terbatas UUD 1945 dengan upaya mengembalikan posisi MPR sebagai lembaga tertinggi ini tentunya agak janggal. Sebab seperti kita ketahui  di masa Orde Baru PDIP termasuk partai yang dianaktirikan dan  dikerdilkan. Semestinya PDIP memperjuangkan semangat reformasi itu dengan menolak kembalinya MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan menjadikan kedaulatan tetap ada di tangan rakyat, bukan di tangan MPR.

Sejauh ini rencana mengaktifkan kembali GBHN memang datang dari PDIP. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dalam pidatonya di rapat kerja nasional partai pada Januari 2016 mengatakan partainya akan mengembalikan fungsi MPR menetapkan GBHN untuk mewujudkan Pola Pembangunan Semesta Berencana. Istilah ini muncul dari Ketetapan MPR Sementara Nomor II/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1961-1969.

Selain ide kembalinya GBHN, gagasan mengembalikan pemilihan presiden dan wakil presiden oleh MPR turut mengemuka. Meskipun gagasan itu tak tertuang dalam draft amandemen, dua politikus PDIP membenarkan partai banteng berkeinginan meniadakan pemilihan presiden secara langsung. Saat ini memang belum ada lobi politik untuk mengegolkan rencana tersebut.

Bisa jadi alasan PDI-P ngotot ingin mengamandemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945 dan menjadikan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pimpinan tertinggi, karena ada upaya untuk mengendalikan Presiden terpilih Jokowi. Sebab, menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi, mampu mengendalikan seluruh ketatanegaraan. Termasuk juga presiden harus bertanggung jawab untuk melaksanakan apa yang dikehendaki MPR melalui Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) .

Jadi bukan tidak mungkin PDIP ingin mengendalikan Presiden Jokowi, karena ketum partai Megawati dalam beberapa hal punya pandangan-pandangan tersendiri [berbeda dengan Jokowi], jadi digunakanlah MPR sebagai alat mengendalikan Presiden.Bahkan  tujuan diadakan amandemen UUD 1945 ini bukan hanya untuk kepentingan saat ini saja, tetapi juga jangka panjang. Yaitu ketika Presiden terpilih bukan lagi dari kader PDIP, sehingga mereka bisa tetap mengendalikannya.

Dengan dijadikannya GBHN sebagai landasan seluruh kegiatan kenegaraan, akan sangat bahaya bagi presiden. Sebab, akan ada dua pertanggungjawaban presiden kepada dua lembaga legislatif, yakni kepada DPR RI soal pelaksanaan UUD dan pelaksanaan GBHN kepada MPR. Ini merupakan upaya menegasikan sistem presidensial dan meletakkan lagi nuansa sistem parlementer dalam presiden kita dengan meletakan MPR sebagai lembaga tertinggi.

Dalam hal ini bahasan GBHN terlalu umum dan tak detail sehingga dikhawatirkan seorang Presiden bisa saja dituduh melakukan pelanggaran GBHN. Misalnya partai berkuasa yang merasa tersinggung, membawa perkara tersebut ke GBHN. Jika sekitar 50 persen lebih anggota DPR mengatakan presiden dinyatakan telah melanggar GBHN maka bisa saja presiden diserang oleh DPR dan MPR untuk kemudian dimakzulkan.

Rupanya Jokowi sendiri mencium bau tak sedap terkait dengan rencana amandemen terbatas UUD 1945 ini. Ia sepertinya menangkap gelagat tidak menguntungkan terkait dengan kursi kekuasaannya jika nanti MPR sepakat dikembalikan posisinya sebagai lembaga tertinggi Negara. Alhasil seperti yang dilansir Kompas.com, Presiden Joko Widodo menolak wacana pemilihan presiden dikembalikan ke Majelis Permusyawaratan Rakyat.."Saya ini produk pilihan langsung dari rakyat, masak saya mendukung pemilihan presiden oleh MPR," kata Jokowi saat bertemu pimpinan media massa di Istana Kepresidenan pada Rabu (14/8/2019).

Penolakan Jokowi ini adalah bentuk perlawanannya secara langsung dan frontal terhadap Partai pengusungnya, karena yang mewacanakan gagasan amandemen tersebut adalah PDI-P, itu artinya Jokowi tidak saja berhadapan dengan PDI-P, tapi juga secara langsung berhadapan dengan Megawati. Apakah dengan demikian sang petugas partai sudah mulai berani melawan pimpinan partai ? Atau sang boneka sudah mulai berani melawan dalangnya ?. Wallahua’lam.

(Ali Mustofa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar